Ruang duduk Marquess of Hartington terasa begitu kaku dan menegangkan. Dahinya membentuk kerutan samar. Bibirnya terkatup rapat dengan helaan napas pelan yang keluar di setiap detiknya. Livia bagaikan hadir dalam prosesi pemakaman.
Dehaman Jordan membuatnya sedikit berjengit kaget karena kesunyian yang pekat sebelumnya.
"Jadi...," mulai Jordan.
"Bagaimana kau bisa berada di tempat penembakan itu terjadi?" sambung Elizabeth.
Pandangan Livia beralih pada Eliza. Kakaknya menatapnya dengan pengertian besar yang terpancar dari mata hijaunya. Eliza juga memberikan senyuman menenangkan yang menyemangati Livia. Kemudian, tatapannya berpindah pada Jordan yang sedang mengangkat salah satu alis gelapnya. Menandakan bahwa dia menunggu penjelasan Livia dengan sabar.
Matanya beralih pada sang dowager duchess. Helaan napas berat keluar dari bibirnya ketika Elizabeth menatapnya dengan tatapan menegur.
"Aku menyelinap," mulai Livia.
"Itu sesuatu yang pasti," potong Elizabeth dengan nada jengkel.
"Tenanglah, Ibu. Jangan memotong perkataannya," ujar Jordan.
Livia mengesah. Dirinya terbagi antara menjelaskan yang sejujurnya atau menutupi beberapa fakta. Benaknya terus berkecamuk untuk mengambil keputusan. Jika dirinya jujur, akan sangat memalukan karena semua orang akan tahu rasa penasarannya terhadap hubungan intim yang biasa dilakukan pria dan wanita.
"Well, aku menyelinap." Livia menatap ketiga orang di hadapannya ketika ia hanya mengulang kalimatnya. Ia memutuskan untuk menyembunyikan alasannya menyelinap dan menarik napas sebelum meneruskan, "Tubuhku membutuhkan istirahat sejenak setelah berjam-jam berdansa. Aku juga membutuhkan udara segar setelah lama berbagi udara dengan para tamu yang menyesaki ruangan pesta. Jadi aku memutuskan untuk berada di taman terjauh Lady Aylesford. Lalu, aku melihat bayangan pria di taman ituㅡ"
"Dan kau memutuskan untuk mengikutinya? Mengikuti rasa penasaranmu?" potong Elizabeth.
Jordan mengerang.
Eliza berseru, "Elizabeth, biarkan Livia menyelesaikan ceritanya."
Ringisan kecil tidak dapat ia tahan setelah Elizabeth memotong perkataannya dengan tajam. "Ya, aku mengikutinya. Kupikir, aku ... aku akan memergoki sebuah skandal."
"Sebuah pencapaian besar, bukan?" seru Elizabeth masih dengan nada mencemooh.
"Ya Tuhan, aku hanya ingin memenuhi rasa penasaranku! Lalu ketika pria itu berada di dekat pagar tanaman, suara letusan yang membuat telingaku berdenging terdengar! Aku meraba tubuhku sendiri untuk memastikan bukan aku yang tertembak ...."
Keterkejutan terlihat jelas pada raut muka ketiganya.
"Ya Tuhan," gumam Eliza setelah berhasil menguasi rasa terkejutnya.
"Kau baik-baik saja, bukan?" tanya Elizabeth dengan suara melunak. Kekhawatiran jelas terlihat di mata birunya.
"Aku yakin Livia baik-baik saja. Jika tidak, dia tidak mungkin duduk di sini untuk menceritakannya. Lanjutkan ceritamu," ujar Jordan.
Pria itu hanya terkejut sesaat sebelum akal sehatnya kembali menguasainya. Namun, gestur tubuhnya menjadi tegang dan waspada. Mimik wajahnya berubah sangat serius. Membuat Livia takjub sekaligus gemetar. Ia tidak pernah melihat Jordan berekspresi seperti ini.
"Ya, aku baik-baik saja. Pria yang tertembak itu berbalik dengan terhuyung. Tentu saja, dia sangat terkejut melihatku yang hanya beberapa meter di belakangnya." Livia berhenti sejenak dan bergidik ketika mengingat darah yang mengalir di bahu pria itu. "Dia memegang pundak kanannya yang tertembak. Kemudian dia mendekatiku yang masih terpaku karena penembakan yang terjadi. Juga karena ... karena darah yang mengalir di bahunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seducing You
Historical FictionRotherstone #2 Lady Livia Rotherstone tidak menyangka jika dirinya berada di waktu dan tempat yang salah. Ia ditangkap oleh salah satu anggota kepolisian Scotland Yard karena tuduhan pembunuhan. Ya Tuhan, melihat darah saja dirinya ingin pingsan. Ba...