Pagi itu aku disuruh Bi Irah pergi ke warung gede untuk membeli beberapa keperluan. Aku juga memang butuh beberapa barang sih, jadi setelah shalat subuh aku langsung siap-siap mengondisikan wajah lalu menata rambut dan pergi berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju ke pusat desa.
Keadaan gelap sekali, karena jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Hanya ada beberapa tiang lampu usang yang sedikit memberikan penerangan untuk dapat melihat keadaan sekitar. Kamu tahu kan rasanya jalan subuh-subuh seperti apa? Dingin sekali, suara ayam jantan berkokok terdengar dimana-mana. Memang tidak sedikit loh yang memelihara ayam di sini.
Langkahku kini sudah mendekati pusat desa. Yang harus aku lakukan selanjutnya adalah mencari bangunan warung itu. Bangunannya berbeda dari rumah-rumah warga. Warung gede ini memiliki bangunan yang paling bagus menurutku. Sudah memakai tembok lalu menyatu dengan rumah dua lantai. Sedikit susah sih mencarinya saat gelap seperti ini tapi akhirnya aku menemukannya.
Ada tiga mobil jeep yang terparkir di depan warung gede. Ketiga mobil itu dipenuhi barang bawaan dan beberapa orang nampaknya sedang mengangkuti barang bawaannya itu masuk ke dalam warung. Disampingnya ada seorang wanita yang sedang hamil besar terlihat seperti sedang berbicara atau mungkin mengatur orang-orang yang mengangkuti barang tadi.
Aku lalu pergi mendekati meja sayur. Memilih beberapa sayuran yang Bi Irah pesan. Wanita yang sedang hamil besar itu sekarang berada di dalam warung. Dia berdiri tepat di depanku dibelakang meja sayur.
"Beli apa Neng? Butuh apa saja?"
Wanita itu nampaknya tidak jauh umurnya denganku. Tangan wanita itu meraih kertas tulisanku yang berisi daftar belanjaan dan membantuku menyiapkan semua yang aku harus beli."Neng teh baru pindah ya di sini?"
"Saya keponakannya Bi Irah Teh, dari Jakarta."
"Ohh, Bi Irah ya? Bener kamu Neng ke sini subuh-subuh jadi kamu gak desek-desekkan ngantri sama ibu-ibu."
"Oh gitu Teh? Suka penuh ya?"
Aku gak heran sama sekali sih warung bakal penuh. Soalnya kan warung ini satu-satunya warung di desa ini. Kulihat sekeliling warung. Orang-orang tadi masih sibuk menurunkan barang dari mobil dan menatanya. Ada yang sedang menyapu tempat nongkrongnya juga. Tempat nongkrongnya luas loh bangku-bangkunya juga banyak seperti rumah makan gitu. Lalu ada TV yang agak besar dipajang di tempat yang semua orang dapat melihatnya.
Tanganku meraba-raba sayuran yang sudah tertata rapi di meja warung. Bingung nih, yang mana bayam yang mana kangkung yang mana sawi haduhhh warnanya hijau semua. Udah gitu yang mana jahe yang mana kunyit yang mana laja pusinggg dede. Memang aku dari dulu gak tau dan gak pernah peduli sama sayuran. Gak pernah berurusan sama masak memasak. Wanita hamil pemilik warung itu lalu berkata,
"Ah Neng mah, pusing yah? Udah duduk dulu di sana nonton tv nanti biar Teteh yang siapin semuanya."
Aku hanya bisa tersenyum lebar dan menuruti apa yang dia bilang. Kududuki salah satu bangku lalu kutatap layar tv yang pagi-pagi seperti ini sedang menyiarkan berita. Runyem sekali tetapi suara yang dihasilkan cukup jernih untuk didengar. Agak lama aku terdiam fokus mendengarkan mbak news anchor sampai akhirnya Teteh warung itu jalan mendekat dan ikut duduk disampingku.
"Nih belanjaan kamu!"
Teteh warung itu memberikan belanjaanku dengan senyum yang ramah sekali."Nama Saya Euis, Neng dateng kesini dari kapan?"
Aku lalu menjabat tangannya dan memberitahukan namaku. Selanjutnya kami ngobrol ngalor ngidul. Teh Euis ini sebenarnya asli orang Bandung. Suaminya Kang Barna lah yang asli orang Cigetih. Mereka berdua sempat merantau ke Jakarta tapi Teh Euis bilang nasibnya tidak mujur diperantauan. Uang yang mereka kumpulkan semakin lama semakin menipis. Akhirnya Kang Barna memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya Cigetih dan membuka usaha warung. Benar saja mereka berdua menjadi sukses. Sudah membangun rumah tembok dua lantai dan mempunyai tiga mobil jeep. Yaiyalah sukses, orang satu kampung bergantung sama dia hahahaha *celetukku dalam hati
Obrolan kami bukan ngalor ngidul lagi tapi sudah ngulon wetan sampai aku bertanya soal bayi yang dikandungnya itu.
"Ini udah 9 bulang kurang seminggu Sa."
"Nanti lahirannya diurus Bi Irah dong? Aku mau ikut ahh liat dede bayi."
Seketika raut wajah Teh Euis berubah. Seperti orang yang bingung mau menjawab apa. Dia lalu bilang kepadaku kalau Kang Barna suaminya lebih memilih membawa istrinya ke kota untuk melahirkan di rumah sakit. Lah gimana sih? Masa orang hamil besar dipaksa naik mobil lewat hutan yang jalannya gak karuan? Itukan jelas membahayakan kandungannya kalau menurut aku. Jelas jelas ada Bi Irah dukun beranak yang berpengalaman. Yah memang sih gak secanggih dan seluwes rumah sakit tapi kan jadi gak harus jauh jauh ke kota.
Setelah perbincangan kami selesai aku membayar belanjaanku dan pulang ke rumah. Di sana sudah ada Bi Irah yang menungguku.
"Kamu sudah ketemu sama Euis?"
"Teteh yang punya warung kan? Udah Bi."
Bi Irah lalu mengeluarkan sayur yang ia pesan dari kresek hitam dan berkata,
"Geulisnya si Euis? Ngan hanjakal salakina mah jalma teu baleg sok ingkar janji jelema nateh!"
(Cantik ya Euis? Tapi sayang suaminya itu orang gak bener suka ingkar janji orangnya!)Entah masalah apa yang ada diantara Kang Barna dan Bi Irah. Ekspresi Bi Irah terlihat seperti sangat jengkel saat berkata seperti itu. Mungkin masalah itulah yang membuat Kang Barna lebih memilih membawa istrinya melahirkan di kota.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]
HorrorAsa, seorang gadis yang berlibur ke rumah bibinya di desa Cigetih mendapati hal-hal aneh. Dimulai dari hilangnya Laila dan Agil teman barunya yang sedang menginap bersamanya malam itu dan munculnya ketiga sosok penari yang ternyata bersangkutan deng...