Bangunan megah itu memiliki ruang raksasa ditengahnya. Terdapat tangga lebar menuju ke lantai dua. Tangga itu berada di balik altar. Kosong, tidak ada barang. Hanya tersisa dua kursi kayu dengan ukiran tinggi di altar menyerupai tahta. Apa mungkin ini kerajaan? Ah, mana mungkin. Mungkin dua kursi itu hanyalah tempat duduk biasa untuk si tuan dan nyonya rumah.
Ada beberapa benda yang ditaruh di depan kedua kursi itu. Itu ternyata nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Kami semua mendekat ke altar itu. Mang Japra mengobrak-abrik 'seserahan' yang menurutku memang itu adalah sesajen yang dipersiapkan oleh Kang Barna.
"Maneh ngan mere nasi hungkul hah? Teu cukup!"
(Kamu hanya memberi nasi saja hah? Gak cukup!)"Subarna maneh geus kaliwatan! Maneh kudu tanggungjawab!"
(Subarna kamu sudah kelewatan! Kamu harus tanggungjawab!)Aku malah lupa mengenai Teh Euis yang seharusnya tidak diabaikan. Bahkan seharusnya kita tidak boleh kesini tanpa Bi Irah. Aku lalu memotong pembicaraan mereka dan mengingatkan mengenai Teh Euis yang sekarang sedang melahirkan dibantu Bi Irah. Mendengar omonganku Kang Barna tanggah dari tunduknya. Memelototiku, rahangnya gemetaran. Kesalnya membludak saat ia berteriak ke arahku
"ANJING! BAYI AING ETA! ULAH! ULAH! KURANG AJAR SIA!"
(Anjing! Bayi saya itu! Jangan! Jangan! Kurang ajar kamu!)Kang Barna lepas kendali. Tangannya hampir merampas kerah bajuku. Entah apa yang dia maksud tapi melihatnya berteriak kepadaku sudah sangat membuatku takut. Air mata mengalir di pipi ini. Maksudku hanya ingin membantu, apa aku salah memanggil Bi Irah?
Kang Raksa dengan cepatnya membawaku keluar dari villa itu. Dia mengantarku keluar gerbang sampai ke jalan setapak menuju jembatan bambu.
"Pulang Sa! Sebentar lagi kami menyusul! Harus dibereskan dulu masalah ini, Asa tau kan jalan pulang dari sini? Cepat keburu malem!"
Kang Raksa meninggalkanku tepat di depan jembatan bambu. Seterusnya ia berlari kembali ke arah villa.
Tak terasa langit sudah berwarna semu jingga. Kulangkahkan kakiku diatas bambu-bambu yang menghantarkanku ke bukit persawahan. Bangkai ayam hitam itu masih tergeletak disitu.
Busuk.
Kulewati dengan langkah yang bergegas. Ada beberapa petani yang tampaknya sedang menaiki pematang sawah menuju desa untuk pulang. Aku memanggil ibu petani itu. Bermaksud agar kami dapat berjalan bersama pulang menuju desa.
"IBU! IBU!"
Badannya berbalik ke belakang. Ia memandangiku. Tidak berekspresi. Lalu berbalik lagi dan melanjutkan jalannya. Aneh.
Langkahku semakin kupercepat sampai aku terjatuh di penghujung jembatan. Saat ku lihat kebelakang. Mustahil, Ayam hitam itu kini sudah berdiri. Berdiri diam menghadap ke arahku.
Langit benar-benar sudah berwarna jingga pekat.
Perlahan ayam hitam itu meninggi, berubah menjadi sosok wanita.
Rambutnya panjang terurai sampai ke bambu-bambu itu. Mukanya samar.
Kukedipkan mataku berkali-kali.
Tangan wanita itu bergerak. Kukunya panjang sekali. Gerakannya melambai, seperti menyuruhku untuk mendekat.
Ini nyata. Langit berwarna jingga pekat dan wanita itu masih melambai-lambai. Kakiku mulai melemas. Tanganku mulai bergetar. Semua terasa dingin. Aku tak sanggup lagi melihat ini.
Kali ini bibirnya terlihat melengkung tersenyum ke arahku. Kakinya mulai melangkah maju. Mendekat,
Mendekat,
Ke arah sini,
Ke arahku,
...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]
HorrorAsa, seorang gadis yang berlibur ke rumah bibinya di desa Cigetih mendapati hal-hal aneh. Dimulai dari hilangnya Laila dan Agil teman barunya yang sedang menginap bersamanya malam itu dan munculnya ketiga sosok penari yang ternyata bersangkutan deng...