"Asa, kamu pulang saja yah ke Jakarta?"
Aku tidak tahu apakah itu sebuah pertanyaan atau perintah yang jelas lagi-lagi aku dibingungkan untuk pulang atau tidak. Ada sedikit kemauan untuk pulang. Tapi penyebab hilangnya Laila dan Agil adalah aku. Mereka masih hilang mana mungkin aku pulang sekarang.
"Engga Bi, Asa ingin membantu."
"Jangan terlalu dipaksakan Sa, kalau memang Asa niat pulang, boleh."
Begitu ucap Bi Irah sambil membereskan jamu-jamunya. Dua hari ini aku sudah berani tinggal di rumah bersama Bi Irah. Laila dan Agil masih belum ditemukan. Jenazah Teh Euis sudah disemayamkan keesokan harinya. Malang sekali bayi laki-lakinya, tidak akan bertemu sang ibu. Ayahnya hanya terpaku, diam seharian. Bayi itu diurus oleh Eem pegawai mendiang Teh Euis yang setia sedangkan warungnya diurus oleh beberapa pegawai lelaki.
"Hari ini Bibi mau ke daerah sana." Tangan Bi Irah menunjuk ke arah sawah. Itu menandakan dia akan pergi menuju daerah sebrang. Menuju villa putih itu.
"Kamu temani Kinasih di rumahnya."
Ah. Lagi-lagi aku harus bingung. Rasa bersalah ini masih belum hilang. Ingat, adiknya hilang dan penyebabnya adalah aku.
"Bi, Asa ikut saja ke sana."
"Berani kamu?"
"Lagipula ada Bibi, gak apa-apa Bi."
Seperti biasa, Mang Japra, Mang Dadang, Mang Ujang, Kang Raksa, dan Pak Rusli yang akan menemani Bi Irah. Ekspedisi kali ini aku ikut. Siang ini kami akan kesana.
Bi Irah dan aku tidak perlu membawa apapun, kami cukup membawa diri saja.
Saat semua sudah berkumpul berangkatlah kami ke daerah sebrang itu. Suasana desa berbeda dengan saat pertama kali aku datang. Siang, rindang, tapi sepi menyeruak dimana-mana. Orang-orang hanya beraktivitas di sekitar rumahnya saja.
"Bi, kita sekarang ke sana untuk apa?"
"Cari Laila sama Agil."
Mendengar itu aku hanya mencoba untuk diam. Pasalnya masuk akal tidak mencari orang hilang ke sana? Kenapa bisa sampai ada di sana? Mungkinkah ketiga penari itu menyembunyikan mereka di sana?
Kami semua jalan menyusuri jalan setapak. Melewati saung gede dan sumur itu. Ada beberapa orang yang sedang mengambil air di sana.
"Bi, naha eta aya nu nyandak cai didinya?"
(Bi, kenapa itu ada yang mengambil air disitu?) Kang Raksa bertanya karena biasanya sumur itu tidak dipakai oleh warga.Kami berhenti di saung gede. Bi Irah lalu mendatangi orang-orang yang sedang mengantri mengambil air. Ia berbincang-bincang sebentar lalu kembali menghampiri kami.
"Sumur mereka kering, airnya keruh." Jelas Bi Irah.
"Maenya? Arurang kudu geura kaditu ieumah."
(Masa? Kita harus cepat ke villa kalau seperti ini) Tegas Mang DadangNah mendengar perkataan itu aku langsung menyadari masalah sumur kering juga ternyata ada sangkut pautnya dengan villa itu. Tapi apa yah?
Akhirnya kami bertujuh melanjutkan perjalanan kami menuju bukit persawahan. Ada orangtua Kinasih di saung pematang sawah itu. Salah satu dari kami menyapanya, Bi Popon hanya tersenyum. Aneh, tidak seperti seorang ibu yang sedang kehilangan anaknya. Aku juga merasa tidak beres dengan sikap Mang Japra yang sama sekali terlihat tidak khawatir dengan nasib anaknya Laila. Iya dia memang sedang berusaha mencari sekarang, tapi kedua orangtua Laila maupun Agil tidak menampakan kesedihannya. Mereka hanya seperti biasanya saja.
Setelah turun dari bukit persawahan akhirnya kami menghadap ke jembatan bambu lebar itu. Bambu kuning, yang tanpa disengaja merupakan gerbang menuju villa itu. Dan kamu tau?
Bangkai ayam hitam itu masih di sana. Busuk.
"Bungkus eta hayamna."
(Bungkus itu ayamnya) Perintah Bi Irah.Kemudian dibungkuslah bangkai ayam itu oleh Mang Ujang menggunakan kain hitam yang diberikan Bi Irah. Kami lewati jembatan itu, dan terus jalan ke dalam hutan hingga ke pagar villa.
"Asa, kamu yakin mau masuk ke dalam?" tanya Kang Raksa kepadaku.
Aku benar-benar yakin. Aku mau melihat villa itu lagi. Aku mau menyelesaikan masalah ini dengan sepenuhnya aku ketahui. Banyak sekali pertanyaan di otakku ini. Hanya saja, tidak benar kalau memang harus aku paksa tanyakan semua kepada Bi Irah. Mengenai kejadian perempuan hitam yang menampakan wajahnya pun aku tidak memberitahu kepada Bi Irah. Aku hanya ingin tahu langkah apa yang selanjutnya kami lakukan tanpa aku membuat suasana semakin keruh.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]
HorrorAsa, seorang gadis yang berlibur ke rumah bibinya di desa Cigetih mendapati hal-hal aneh. Dimulai dari hilangnya Laila dan Agil teman barunya yang sedang menginap bersamanya malam itu dan munculnya ketiga sosok penari yang ternyata bersangkutan deng...