Aku berlari secepat mungkin menyusul ibu petani yang sempat aku lihat. Kedua kakiku terus berlari tapi aku tidak merasakannya. Keringat dingin membuat badanku tak nyaman. Apa yang aku lihat tadi? Wanita berkebaya hitam. Rambutnya panjang.
Senja sudah berada di pelabuhannya. Langit mulai gelap. Ibu petani tadi menghilang entah kemana dan aku masih berlari sendiri melewati lapangan, saung gede, dan sumur yang menyerupai monumen itu hingga akhirnya badanku mulai kuat saat aku melihat keramaian di warung gede.
Tak basa-basi aku lewati kerumunan ibu-ibu di depan warung. Kumasuki bagian rumah Teh Euis dan mendekat menuju kamarnya. Pegawai perempuannya sedang membantu Bi Irah. Sedangkan pegawai lelakinya terlihat kesal ada yang khawatir mungkin memikirkan bagaimana bisa perintah Kang Barna tidak dilaksanakan.
Jeritan demi jeritan terus terdengar. Tidak terlewat satu pun olehku sampai akhirnya jeritan Teh Euis tidak lagi kudengar. Gantinya adalah tangisan sang jabang bayi yang baru dilahirkan.
Tubuhnya masih mengangkang. Aku ingat jelas, mulutnya menganga. Diam, mematung. Jabang bayi yang ia keluarkan masih menangis-nangis ditangan Bi Irah. Merah mewarnai kasurnya yang tak sempat diberi alas. Tubuh itu tidak bergerak lagi. Mulutnya sampai sekarang masih menganga. Kasihan sekali, bayi itu tidak akan mengenal ibunya.
Kain putih dibuat menutupi tubuh Teh Euis sampai ke wajahnya. Kasihan Kang Barna sudah ditimpa masalah, anaknya dilahirkan tetapi istrinya dipulangkan. Iya, Teh Euis meninggal dunia dalam sakitnya melahirkan. Tubuhnya tak kuat menahan beban sakit sedangkan anaknya harus tetap dikeluarkan.
"Bi, yang lain masih di villa itu." Aku menjelaskan ceritanya dari jembatan itu, Kang Barna, villa putih, hingga ke ayam hitam kepada Bi Irah.
"Gusti! Bener? Udah malem gini? Si Barna emang keterlaluan."
Bi Irah dengan cepatnya memberitahukan perawatan pertama si jabang bayi ke pegawai perempuan sedangkan jenazah teh Euis diurus oleh ibu-ibu yang berkerumun di luar.
"Ayo Sa! Urang susul Mang Japra!" ajak Bi Irah sambil membawa senter yang ia ambil dari warung.
Saat kami berjalan ke arah jalan setapak ternyata Mang Japra dan yang lainnya termasuk Kang Barna sedang berjalan ke arah sini. Kang Barna tampak letih dengan berbagai luka di muka.
Bi Irah kemudian berjalan mendekat menuju mereka. Ia berbicara sesuatu kepada Kang Barna. Mendengar ucapan Bi Irah, Kang Barna jatuh terduduk di tanah. Tangannya mengepal, kepalanya hanya tunduk. Ia mulai menangis. Menangis sejadi-jadinya. Istrinya mungkin sudah ia jadikan tumbal secara tak sengaja.
Yang kutangkap sampai saat ini, Kang Barna sudah melakukan perjanjian dengan setan. Mungkin sesajen yang ia berikan tidak cukup sehingga ketiga penari itu mendatangi desa. Tidak cukup dengan hilangnya Laila dan Agil ternyata nyawa Teh Euis juga direnggut. Aku tidak yakin, ini hanya sekedar terkaan.
Benar-benar liburanku ini tidak terduga. Kalau memang aku ingin pulang ke Jakarta rasanya akan seperti kabur dari masalah. Itu tidak bertanggung jawab. Sudahlah, semua ini harus aku hadapi.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]
KorkuAsa, seorang gadis yang berlibur ke rumah bibinya di desa Cigetih mendapati hal-hal aneh. Dimulai dari hilangnya Laila dan Agil teman barunya yang sedang menginap bersamanya malam itu dan munculnya ketiga sosok penari yang ternyata bersangkutan deng...