Baru saja kami akan melangkah balik ke warung ternyata bapak-bapak yang melewati jembatan bambu itu adalah Kang Barna. Kami dengan sergap menuruni pematang sawah dan menghampiri Kang Barna yang nampaknya menyadari kedatangan kami. Saat aku mau membuka mulut memberitahukan keadaan istrinya, Mang Japra malah duluan bertanya kepadanya.
"Maneh timana Subarna? Eta hayam jeung naon?"
(Kamu darimana Subarna? Itu ayam buat apa?)Suara Mang Japra terlalu tegas kukira. Sekarang Kang Barna malah terlihat seperti orang ketakutan. Jelas-jelas yang digenggamnya adalah bangkai ayam hitam yang sudah disembelih.
"Timana maneh Barna! Sapeupeuting eweuh di imah!"
(Darimana kamu Barna! Semalaman tidak ada di rumah!)Mang Ujang dan Mang Dadang mulai mendesak Kang Barna yang sekarang malah terlihat mundur.
"Kadieukeun eta keresek!"
(Kesinikan itu kresek!)Mang Japra langsung merebut kresek hitam besar yang dibawanya. Melihat isinya semua geleng-geleng kepala. Aku tidak tahu apa isinya tapi terlihat dari luar sepertinya kresek hitam besar itu berisi air.
"BRENGSEK SIA!"
(Brengsek Kamu!)"MANEH MUNJUNG JEUNG SETAN HAH!"
(Kamu melakukan pesugihan dengan setan hah?)Kalau kamu lihat secara langsung Mang Japra terlihat sangat marah begitu pun yang lain. Teriakan-teriakan dilayangkan mereka ke Kang Barna seakan-akan semua masalah yang terjadi kemarin adalah salah Kang Barna. Kang Barna hanya bisa diam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lima lawan satu, jelas yang satu kalah.
"DIEU SIAH! NGILU JEUNG AING!"
(Sini kamu! Ikut dengan saya!)Digenggamnya kaos Kang Barna oleh Mang Ujang lalu diseret secara kasar menuju ke sebrang jembatan. Kami semua tidak jadi pulang ke warung gede. Kang Barna masih diseret. Ia menolak sekuat mungkin, bangkai ayam yang ia genggam dilepasnya di tengah-tengah jembatan bambu itu.
"Ampun Kang! Ampun!" Teriak Kang Barna.
"TANGGUNG JAWAB SIA! LAIN AMPUN AMPUN!"
(Tanggung jawab kamu! Bukannya minta ampun!)Dadaku semakin berdebar setiap mendengar gertakan Mang Japra dengan yang lainnya. Kang Barna masih dipaksa ikut menuju daerah sebrang. Aku tidak percaya dengan "binatang buas" yang dijadikan alasan itu, buktinya Kang Barna sehat selamat kembali dari sana. Hanya ada satu jalan setelah jembatan bambu yang lebar itu. Jalan setapak yang agak besar mengarah masuk ke dalam hutan. Pohon-pohon menjulang tinggi. Jalan setapak yang kami lewati sangat bersih, tidak berlumpur. Aku menemukan beberapa patung seperti tugu. Jadi patungnya kembar berada di sisi kanan kiri jalan. Ketemukan patung seperti itu mungkin sekitar tiga kali. Saat sudah agak dalam menyusuri jalan ini, terlihat bangunan besar dibalik pepohonan. Bangunan besar itu berwarna putih. Begitu besar, megah dengan arsitektur yang rapih seperti villa jaman dulu.
Apa yang aku temukan ini harta karun? Warisan budaya? Tidak logis menurutku ada kediaman semegah ini di tengah-tengah hutan. Semua tampak sempurna hanya saja beberapa bagian sudah dimakan waktu, bagian kanan bangunan itu sudah dirambati tanaman liar. Meskipun bangunan itu dihalangi benteng yang tinggi kami masih dapat melihatnya.
Sampailah kami di depan gerbangnya. Mataku tak berhenti menjelajahi yang kulihat saat ini. Benar-benar menakjubkan. Lagi, di tengah hutan seperti ini ada bangunan besar yang indah. Mang Japra membuka pagarnya yang ternyata tidak terkunci.
"DIMANA SIA BARNA NUNDA NA?"
(Dimana kamu Barna menaruhnya?)"Nunda naon Kang?"
(Menaruh apa Kang?)Aku juga tidak mengerti mengenai apa yang ditanyakan Mang Japra.
"DIMANA HAH?"
"Dimana naonna Kang?"
(Dimana apanya Kang?)Pukulan demi pukulan dilayangkan Mang Ujang dan Mang Dadang kepada Kang Barna yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Ia pura-pura tidak tahu.
Dia masih saja bertanya "Menyimpan apa Kang?" atau malah bilang "Saya tidak tahu apa yang Akang maksud". Meski Kang Barna sudah babak belur pun mereka tidak akan berhenti sampai mendapat jawaban.
"Ampun Kang! Ampun! Di Jero Kang! Aya di Jero!"
(Ampun Kang! Ampun! Di dalam Kang! Ada di dalam!)Mereka semua lalu bergegas mendekati pintu masuk bangunan besar ini. Jarak dari gerbang menuju ke pintu masuk agak luas. Melihat halamannya sangat luas ada empat pohon beringin yang tertanam di depan bangunan bagian kiri. Daun-daun kering berserakan menutupi tanah yang ternyata bukan tanah melainkan blok.
Pikiranku mulai bertanya-tanya. Sejak kapan bangunan ini ada? Mengingat di desa semua rumah hanya terbuat dari kayu. Akses desa dengan daerah luar sangat jauh. Jadi untuk mendapatkan material bangunan sangatlah sulit. Sedangkan bangunan besar ini sangat megah dua lantai dengan pilar-pilar raksasa. Butuh berapa puluh orang untuk membangun bangunan ini? Ah siapa yah pemiliknya? Mungkin bukan orang biasa yang memiliki bangunan seperti ini.
Kang Barna yang sudah babak belur dengan pasrah menunjukkan tempat ia menyimpan benda apapun itu. Aku tidak tahu apa yang ditanyakan, apa yang disimpannya. Mang Ujang dan Mang Ajip mendobrak pintu masuk yang besar sekali. Lagi-lagi pintu itu tidak terkunci.
Suasana di dalam tidak dapat kujelaskan.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]
HorrorAsa, seorang gadis yang berlibur ke rumah bibinya di desa Cigetih mendapati hal-hal aneh. Dimulai dari hilangnya Laila dan Agil teman barunya yang sedang menginap bersamanya malam itu dan munculnya ketiga sosok penari yang ternyata bersangkutan deng...