6 [HILANG]

3.9K 257 3
                                    

Apa benar yang kulihat tadi? Melihat wajah penari itu bukanlah hal yang mudah dilupakan. Sampai sekarang nafasku masih tersengal-sengal. Badanku lemas. Suara-suara bising di dapur dan teriakkan Laila tidak terdengar lagi.

"Kin! Kin! Adik kamu gimana?"

Kinasih hanya bisa menangis, menggelengkan kepala di dalam ringkukannya. Sulit rasanya untuk tenang. Tangan kiriku masih dicengkram Kinasih sedangkan yang kanan masih bergetar.

Kutatap sekeliling sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka jendela kamar. Kinasih masih mencengkram satu tanganku sehingga untuk berjalan menuju jendela aku harus sedikit menggusur Kinasih. Kubuka jendela dan berteriak meminta tolong tapi hasilnya nihil. Butuh banyak tenaga untuk melepaskan tangan Kinasih yang mencengkramku.

"Jangan pergi ih jaaangann, Abi sieun! Abi sieun ih!" (Jangan pergi ih jaaangann, Aku takut! Aku takut ih!)

"Keluar lewat jendela cepet! Keluar!"

Aku menggusur Kinasih yang akhirnya mau keluar lewat jendela. Perlahan-lahan tubuhnya keluar. Matanya menutup rapat, air mata masih mengalir di pipinya, tangannya kembali mencengkram tanganku. Setelah kami berdua keluar, kami berjalan dengan cepat ke arah jalan setapak dan segera berbelok menuju gubuk tetangga. Mataku tak berani melihat kesekeliling, aku hanya menunduk, memperhatikan jalan berbatu yang beberapa kali kami tak sengaja menendang salah satu batunya.

"Tolooonggg! Tolooonggg!"

Setiap kali aku berteriak minta tolong, Kinasih semakin menggenggam tanganku mendekatkan tubuhnya kepadaku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan dua orang bapak-bapak yang sepertinya sedang berjalan pulang dari warung gede. Ternyata itu adalah ayah dari Laila.

"Kunaon Asih? Aya naon?" (Kenapa Asih? Ada apa?)

Ayah Laila terlihat panik melihat Kinasih yang malah semakin pucat.

"Agil Mang! Jeung Laila.. Lailaa.." (Agil Mang! Dengan Laila.. Lailaa..)

Belum berhenti Kinasih berbicara, Ayah Laila langsung melangkahkan kakinya menuju rumah Bi Irah sedangkan Kinasih dituntun oleh bapak yang satunya menuju ke warung gede untuk ditenangkan. Ayah Laila dan Aku berjalan kembali ke rumah. Dia bertanya mengenai apa yang terjadi, lalu aku menjawab menjelaskan tentang suara bising di dapur sampai ke sosok penari itu.

Saat aku menceritakan sosok penari itu, Ayah Laila terlihat serius menanggapi. Mungkin kalau orang lain yang mendengar penjelasanku, mereka tidak akan percaya.

Saat sudah sampai di depan pekarangan rumah Bi Irah Ayah Laila menghentikan langkahnya, dia juga menahanku untuk mendekat. Tangannya menunjuk ke arah jendela yang sempat aku lewati untuk keluar.

Astaga.

Ada tiga sosok perempuan itu. Para penari itu. Para penari yang kulihat dalam mimpiku sekarang jelas terlihat. Kukedipkan mataku terus menerus tetapi ketiga wanita itu masih berjajar berdiri tepat di depan jendela kamar yang tadi aku pakai keluar.

"Eta nu nari teh? Tiluan?" (Itu yang nari? Tigaan?)

"Bi Irah dimana Bi Irah?"
Mata Ayah Laila tidak berpaling sedikitpun dari ketiga wanita itu.

"Bi Irah lagi pergi Mang! Tadi p-pagi ada yang m-mau melahirkan."
Aku tak kuasa berbicara. Asli. Badanku benar-benar lemas melihat ketiga wanita itu menyeringai dan menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Yaudah sekarangmah kamu Mamang (Mang/Mamang=Paman) antar ke warung gede dulu, nanti masalah Laila sama Agilmah Mamang cari bantuan."

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _

PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang