7 [KACAU]

3.9K 268 6
                                    

Semalaman kami menenangkan diri di Warung Gede. Teh Euis yang sepertinya belum tidur malah tidak bisa tidur karena kedatangan kami. Ada sekitar lima orang bapak-bapak yang sedang bergadang pada saat itu. Ayah Laila yang kemudian aku ketahui panggilannya Mang Japra bilang kalau sebaiknya sekarang Kinasih dan Aku diam di Warung Gede. Rasanya tidak enak kalau malam-malam harus mengganggu Teh Euis yang sedang hamil besar. Teh Euis memaksa kami untuk menenangkan diri di kamar yang telah disediakan di bagian rumahnya tapi Kinasih menolak keras tawaran itu. Ia masih trauma dengan apa yang terjadi tadi, ia tidak mau masuk ke dalam rumah. Kinasih memanglah orang yang penakut sekali.

Akhirnya Teh Euis menyuruh pegawainya untuk menggelar karpet dan kasur di tempat nongkrong warungnya. Teh Euis juga memberikan kami selimut dan menyediakan kami air hangat.

Lima orang bapak-bapak itu bersama Teh Euis menanyai kami tentang apa yang terjadi. Apa yang membuat Kinasih seperti itu. Angin malam yang cukup sering datangnya menuntunku menjelaskan tentang ketiga penari itu. Mereka datang tiba-tiba. Kujelaskan dari awal sampai akhir. Sampai aku terakhir melihat ketiga penari itu muncul di jendela.

"Berarti sekarang Laila sama Agil teh masih di rumah Bi Irah?" Tanya salah satu bapak-bapak.

Aku hanya bertukar pandang dengan Ayah Laila yang baru-baru ini aku ketahui namanya adalah Mang Japra.

Mendengar akhir ceritaku seperti itu bapak-bapak tadi lalu berunding dengan Mang Japra tentang apa yang akan dilakukan. Seserius itu masalah ini? Teh Euis yang daritadi mengusap-usap Kinasih terlihat ngeri mendengar ceritaku.

Malam sudah mencapai puncaknya tetapi kami belum bisa tidur. Rasanya diam di luar sini hanya membuat mataku terjaga. TV yang dipampang sengaja dinyalakan untuk membuat keadaan ramai.

Mang Japra dan dua bapak-bapak memutuskan untuk kembali ke rumah Bi Irah untuk melihat Laila dan Agil. Satu bapak-bapak pergi untuk memberitahukan masalah ini kepada orangtua Kinasih. Tersisa kami berenam. Aku, Kinasih, Teh Euis, Eem pegawainya, dan dua bapak-bapak.

"Teh, sendirian di rumah? Kang Barna suami Teteh kemana?"

"Iya lagi pergi gatau Teteh juga kemana ituteh perginya."

Kulihat ketiga mobil jeep miliknya masih lengkap terparkir di depan rumah. Otomatis aku tahu kalau Kang Barna tidak pergi ke luar desa. Disinilah rasa penasaranku muncul. Coba dipikir, Kang Barna itu mau apa malam-malam seperti ini pergi? Ada perlu apa? Kemana? Apa pantas seorang suami meninggalkan istrinya yang tengah hamil besar sendiri malam-malam begini?

Setelah beberapa waktu, akhirnya Ibu Kinasih dan ayahnya datang. Sama seperti orang-orang tadi mereka awalnya bingung dan bertanya tentang apa yang terjadi. Mau tidak mau aku jelaskan lagi. Saat aku sedang bercerita, ekspresi mereka berbeda dengan bapak-bapak tadi. Di saat mereka terlihat takut atau tidak percaya, Ayah dan Ibu Kinasih berbeda. Mereka lebih terlihat fokus mendengarkan apa yang aku ceritakan. Terutama saat aku bercerita mengenai ketiga penari itu. Mereka benar-benar menyimak.

"Laila jeung Agilmah teu aya diditu." (Laila dan Agil tidak ada di sana.)

Pernyataan Mang Japra yang kembali dari rumah Bi Irah membuat suasana menjadi hening seketika. Kinasih mulai menangis mendengar adik bungsunya hilang. Ayahnya terlihat gusar lalu berusaha untuk merundingkan kembali masalah ini dengan Mang Japra dan bapak-bapak lainnya. Ibu Kinasih terlihat tegar, air mata mengalir di pipinya tetapi raut mukanya sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang bersedih.

"Ieumah kudu ku Irah, kudu nungguan Irah balik."
(Ini harus dengan Irah, harus nunggu Irah pulang.)

Hanya itulah yang dikatakan Bi Popon yang mana dia adalah Ibu dari Kinasih. Tapi apa yang bisa dilakukan Bi Irah? Apakah Bi Irah mampu mengatasi masalah seperti ini? Ia hanya seorang dukun beranak dengan jamu-jamunya yang ia racik. Apa mungkin Bi Irah mengetahui tentang ketiga penari itu?

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _

PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang