SIDE STORY
Aku, CempakaMusnah sudah semua pencapaian. Hari itu semua berhasil direnggutnya. Keluargaku, mati ditangan si brengsek itu.
Maafkan aku ayah,
Karena penyesalan akan selalu berada di akhir. Dinasti yang sudah kami bangun runtuh berserakan. Semua harta kami dibawa pergi oleh si keparat. Jaka. Pemuda yang telah melenyapkan nyawa kedua orangtuaku.Aku masih ingat semasa aku kecil. Malam itu kediamanku tiba-tiba menjadi riuh. Ramai. Banyak sekali orang berlalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Aku dan kedua saudari dan saudaraku duduk diruangan paling tengah ditemani Bi Amah yang saat itu terlihat sangat cemas. Beberapa pembantu mengemas barang-barang kami semua. Ayahku berbeda dari yang lainnya. Ia hanya sekali keluar dari kamarnya menanyai kami dan berkata kalau semuanya akan baik-baik saja.
Saat itu kulihat ibu sudah mengenakan pakaian adat tarinya dan sedang berjalan mondar-mandir mengatur beberapa pesuruh ayahku. Entah apa yang ia katakan tetapi orang-orang terus berdatangan ke kediamanku. Di luar ada beberapa ibu dengan anaknya yang berkerumun dan pesuruh-pesuruh ayahku yang siap dengan kujang dan tombaknya.
Barisan cahaya itu terlihat dari atas bukit kediamanku ini. Cahaya-cahaya api yang berasal dari obor itu berjejer menaiki bukit dan turun menuju jembatan yang mengarah langsung ke kediamanku. Aku mendengar orang-orang itu berteriak memberitahu kami di sini kalau pasukan orang barat itu akan datang.
Aku ditarik dari tempatku waktu itu, begitupun adik-adikku. Kami dibawa menuju kamar atas yang ditempati ayah dan ibuku. Katanya kami akan melaksanakan upacara malam ini. Aku dan adik-adikku tidak diperkenankan melakukan apa-apa. Beberapa kerabat keluarga kami ternyata sudah berada di dalam. Mereka semua mengenakan kebaya dan pakaian berwarna hitam. Mang Kasim dan anak buahnya juga sudah berada di dalam dengan gong dan gamelannya. Ia yang biasa mengiringi Ibuku menari dengan degungnya.
“Nyai Karna sareng Nyai Darisah tos dongkap.”
(Nyai Karna dan Nyai Darisah sudah sampai.)Kulihat di ambang pintu Bi Amah mengantarkan kedua Nyai ini masuk ke dalam kamar. Kedua Nyai ini adalah adik dari ibuku. Nyai Karna dan Nyai Darisah sama seperti ibuku, mereka sudah memakai pakaian adat tari dengan selendang yang tergantung di leher mereka. Salah satu dari mereka membawa bayi yang tertidur dan menyerahkannya pada ayahku. Anak siapa itu? Setahuku kedua bibiku ini belum mempunyai anak.
Semua orang sudah siap dengan upacara ini. Posisi ayahku adalah yang paling terdepan menghadap ke arah cermin raksasa yang tergantung di kamar itu. Lalu di belakang ayahku sudah berdiri Ibu dan kedua Nyai itu. Sisanya duduk bersimpuh melingkar di tepi-tepi ruangan.
Waktu itu malam sudah mencapai puncaknya. Alunan gong dan gamelan di mulai perlahan-lahan dengan sinden yang menyanyi dan diikuti oleh gerakan tari ibu dan kedua nyai. Ayahku terlihat mengucapkan sesuatu dengan kedua telapak tangannya ia satukan seperti sedang menyembah ke arah cermin raksasa itu. Mereka semua yang duduk diruangan ini mengikuti apa yang ayah lakukan. Mereka menyembah ke arah cermin itu. Aku tidak mengerti dengan semua ini. Ayahku yang seperti itu, Ibu dan kedua bibiku yang menari di belakangnya. Ini semua untuk apa? Yang seharusnya kita lakukan adalah berjuang melawan prajurit orang barat itu bukannya melakukan hal-hal seperti ini.
Semakin lama aku tidak dapat melihat keindahan dalam tarian ibu dan kedua adiknya itu. Alunan gong dan suara sinden semakin terdengar cepat dan tak karuan. Rasanya ngeri bila kuingat-ingat kejadian ini. Tiba-tiba terdengar suara senapan dari luar kediamanku. Aku yakin pasti orang-orang barat itu sudah mencapai desa dan sedang menuju kemari. Suara senapan itu semakin terdengar membabi buta dengan jeritan-jeritan orang-orang desa yang membuatku semakin takut.
Dadaku berdebar-debar. Tarian ini, tarian yang sedang kulihat ini tidak pernah Ibu ajarkan kepadaku. Mereka meloncati satu sama lain dengan gerakan yang menakutkan. Adikku yang terkecil menangis. Ia sepertinya takut melihat ini semua tetapi kerabat kami menyuruh kami untuk menunduk saja jangan menangis dan jangan melihat apapun. Suara senapan itu kini terdengar lebih dekat dibarengi orang-orang barat itu berteriak dengan bahasa mereka. Suara degung pun tak sudi kalah kerasnya hingga menutupi suara-suara prajurit yang terdengar sudah memasuki kediamanku.
Ayahku semakin berteriak mengucapkan mantranya. Itu membuat kami berempat takut sekali. Ketiga adikku menutup mata mereka dan menunduk hanya aku yang sesekali mencuri pandang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sambil meneriakan mantra, ayahku mengambil bayi yang tertidur itu. Bayi itu tampaknya bangun dan menangis mendengar teriakan ayah dan alunan gong yang sangat keras dengan suara nyanyiannya. Keringat dingin mengalir deras di tubuhku. Apa yang akan mereka lakukan dengan bayi itu? Ayahku meletakan bayi yang sedang menangis itu di antara ibu dan kedua nyai yang masih menari.
Betapa terkejutnya aku saat itu. Ini semua perbuatan setan. Ibu dan kedua nyai menghantamkan golok ke arah bayi itu dengan gerakan tarian yang mengerikan. Tangisan bayi itu semakin menjadi-jadi memecah suara riuh senapan, degung, dan teriakan ayahku. Darah berhamburan mengalir dari badannya. Setiap kali ketiga wanita itu menghunuskan senjatanya pada bayi itu, aku berteriak karena tidak tahan melihat semua ini. Tetapi tawa mereka semua melenyapkan suara teriakanku dan adik-adikku. Mereka semua tertawa kegirangan. Hingga akhirnya tangan bayi itu tidak bergerak-gerak sama sekali dan matanya yang terpejam tak terbuka lagi.
Suara prajurit-prajurit itu tak henti-hentinya meneriaki kami. Terdengar suara barang-barang dibanting dan akhirnya salah satu dari mereka menemukan pintu kamar ini. Mereka memukul-mukul memaksa kami untuk membukanya. Ayahku lalu membungkus mayat bayi itu dengan kain putih yang kemudian warnanya menjadi merah karena darah yang mengalir. Bungkusan itu dibawanya ke depan cermin raksasa. Ia lalu membacakan mantra seraya mengangkat mayat bayi itu. Ketiga wanita itu kini berhenti dari tariannya dan duduk mengikuti apa yang ayah lakukan. Ketika alunan gong itu mulai melemah dan suara gedoran pintu semakin menjadi-jadi, keluar sesosok makhluk besar dari cermin raksasa itu. Aku tidak terlalu jelas melihatnya. Semua hitam, matanya merah dengan kedua tanduk di kepalanya. Makhluk itu mengambil bungkusan mayat bayi itu dengan darah yang masih menetes-netes dari tangan ayahku dan kemudian lenyap.
Gedoran pintu itu kini tak terdengar lagi. Kami semua beranjak dari tempat kami dan keluar dari ruangan itu.
Prajurit-prajurit itu kini tergeletak berlumuruan darah di kediamanku. Cabikan-cabikan terlihat di tubuh mereka. Prajurit itu mati karena upacara yang kami lakukan.
Karena makhluk dari dalam cermin itu.
Kami begitu sakti, berkuasa tetapi semua musnah karena kecerobohanku. Rasa cinta itu yang aku telan mentah-mentah telah memperdayaiku dan menusukku dari belakang.
Darah kami masih mengalir di tempat ini,
Semua harus dibayar dengan sesuai.
_________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
PENYEMBAH SETAN [COMPLETED]
HorrorAsa, seorang gadis yang berlibur ke rumah bibinya di desa Cigetih mendapati hal-hal aneh. Dimulai dari hilangnya Laila dan Agil teman barunya yang sedang menginap bersamanya malam itu dan munculnya ketiga sosok penari yang ternyata bersangkutan deng...