Zahra Zulhijayanti Muhitha

5.7K 121 8
                                    

          Nama ku Zahra Zulhijayanti Muhitha, biasa dipanggil Muhi. Sekarang aku sudah menjadi bidan desa di daerah terpencil di Pulau Kalimantan. Walaupun aku asli dari Kalimantan, tapi ini kali pertama aku menginjakkan kaki ku di desa ini. Hidup sendiri jauh dari orang tua ku namun ku coba untuk membulatkan tekad agar aku bisa menjadi seperti apa yang diharapkan orang tua ku. Desa ku berjarak tempuh 2 jam dari Puskesmas kami. Jalan ke desa ku masih belum pengerasan bahkan belum di aspal. Kebetulan ini musim panas jadi jalanan yang kami lewati tidak licin.

Dalam perjalanan ke desa ku..pemandangan sangatlah indah, kami melewati gunung juga jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang air nya begitu jernih dengan hamparan batu yang terlihat di bawah nya.
Ku pejamkan mata ku dan ku rasakan nikmat Tuhan yang telah memberikan alam yang indah ini. Subhanallah..ucapku dalam hati".

Cukup lama diperjalanan, akhirnya kami sampai juga di desa ku.
"Bismillahirrahmanirrahim.." ku awali langkah pertama ku saat aku turun dari mobil pusling diantar oleh Kepala Puskesmas ku dan salah seorang perawat di Puskesmas kami.
Aku terpaku menatap polindes di depan mata ku.
"Ini kah polindes tempat tinggal ku" aku bergumam pelan. Ternyata perkataan ku didengar juga oleh Kepala Puskesmas kami..Beliau tersenyum mendengar seraya berkata "Ayo,, silakan masuk, ini tempat kerja sekaligus rumah mu, semoga kamu kerasan tinggal disini,,ya syukur - syukur kamu bisa menjadi penduduk pribumi sini menikah dengan pemuda desa ini"
Aku terkejut mendengar nya,,ada rasa entah bagaimana aku bisa melukiskan nya,,aku masih saja belum bisa melupakan dia. Dia yang selalu ada dalam tiap doa ku. Dia yang akupun tak tau siapa nama nya. Dia yang selalu membuat hati ku bergetar hebat saat aku teringat bertemu dengannya di depan Ka'bah 5 tahun lalu.

"Hei,,Bidan Muhi..kok melamun"
Suara itu tiba-tiba menghentikan lamunanku. Aku sudah hafal suara nya walaupun aku baru di tempat kerja ini. Itu suara Said Ali. Dia termasuk cowok diatas standar rata-rata kalau menurut teman-teman ku di Puskes. Tingginy kira-kira 170cm, termasuk cowok berkulit putih. Asli anak pedalaman pegunungan meratus disini, kebetulan rumah nya di desa yang bersebelahan desa dengan desa ku.

"Eh..iya.." jawab ku
"Kenapa??" cecar nya
sambil mengeluarkan senyum mautnya.
"Eng...enggak kok..enggak papa" jawab ku asal dan langsung mengalihkan pandangan mata ku setelah beberapa saat manik mata kami saling bertemu.
"Masukkan aja dulu barang-barang mu ke dalam, setelah ini kita ke balai desa untuk acara penyerahanmu" lanjut Kepala Puskesmas ku.
Aku mengangguk dan langsung menuju polindes ku diiringi oleh Said. Dia yang bersedia membantu ku membawakan barang-barangku. Ku raih kunci dalam saku ku, ku buka pintu dan ku ucap bismillah..semoga kerja ku nantinya bernilai ibadah..amiin.

------------------------------------------------------
Di balai desa

Aku duduk di depan bersama Kepala Puskesmas dan Kepala desa. Ternyata banyak juga yang hadir dsini. Aku tak berani menatap satu per satu orang yang ada di ruangan ini, sesekali aku menyapukan pandangan ku ke semua sudut ruangan ini.
Disini aku dikenalkan dengan tokoh masyarakat desa ini juga kader posyandu serta sebagian penduduk yang ada disini.

"Terima kasih Bapak Kepala Desa,, kami titipkan Bu bidan di desa ini. Besar harapan kami agar masyarakat desa ini dapat menerima, menjaga dan melindungi Bu bidan sehingga pelayanan kesehatan disini menjadi lebih optimal khususnya dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak". Ucap Kepala Puskesmas.
" Insyaallah..kami akan menerima Ibu bidan dengan senang hati dan akan menjaga serta melindungi seperti melindungi anak dan adik kami sendiri,, iya kan bapak-bapak ibu-ibu" kata Pa Halim selaku Kepala Desa..
Mereka semua mnyambutku dengan baik. Semoga kehangatan ini tidak berakhir sampai di sini.

Setelah 1 jam akhirnya acara itu selesai juga. Kepala Puskesmas dan Said pamit untuk pulang.
Said menggoda ku "bidan Muhi,,kalo takut sendirian di polindes, aku siap menemani mu"
Aku membelalakkan mata ku dan langsung ku keluarkan jurus tampang cemberut tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku merasa malu terhadap Kepala Puskesmas kami yang tertawa terbahak mendengar kata-kata Said.

"Duh..bidan Muhi kalo pasang muka cemberut makin cantik aja, rasanya aku tidak mau pergi dari sini" ujar Said sambil terkekeh geli
"Udah sana kalo mau pulang,,kasian tuh Bapak Kapus udah nungguin" jawabku datar

Mereka pun pergi meninggalkan ku, tinggal lah aku seorang diri di polindes. Ku amati tiap bagian dari polindes yang sudah permanen ini, terdapat 1 ruang praktek dengan 1 tempat tidur, meja kerja dan kursi serta lemari untuk alat dan obat-obatan emergensi untuk ibu dan anak. Ku ambil tas bidan kit, ku letakkan di rak ke 3 yaitu rak terbawah pada lemari. Ku ambil tas hitam yang berisi obat- obatan, ku  keluarkan dan ku tata rapi pada rak pertama dan kedua.  Di rumah dinas ini juga ada 2 kamar tidur.dapur dan kamar mandi. Di sini sudah disediakan lumayan lengkap fasilitas perabotan rumah tangga seperti tempat tidur, lemari pakaian, tv juga kulkas. Hanya saja listrik belum masuk di desa ini. Bahkan signal hp pun belum masuk. Sungguh ujian yang berat menurutku karena aku sudah terbiasa dengan penerangan alias listrik. Akupun tak bisa mendengar suara orang-orang yang aku sayang khususnya ayah dan ibu. Desa ini memang tertinggal jauh dalam semua segi, baik itu segi pembangunan, pendidikan maupun kesehatan.

Tetes - tetes bening akhir nya membasahi pipiku..
"Sabar Muhi..sabar..badai pasti berlalu, ini tantangan untuk mu, semua kan indah pada akhirnya" aku menguatkan diri ku sendiri.
"Aku tidak boleh kalah dengan ujian ini,nikmati, syukuri, niatkan ibadah dan menolong sesama insyaallah kau kan bahagia Muhi.." lanjutku.

Aku dan kamu dalam doa (complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang