•2• Perpisahan Sementara

2.6K 387 68
                                    

Ponsel Rio
© MsLoonyanna

╰•♥♡♥•╮


"Ah, gue gak bisa bayangin hidup gue tanpa hape! Demi hidung Voldemort yang gak pernah tumbuh, gue bener-bener gak bisa hidup tanpa hape!"

"RIO INDONESIA!"

"EH, PAHA AYAM, AYAM! EH, MAKSUD SAYA PAHAMID!" Rio berteriak latah tanpa bisa ia cegah. Dengan segera, kedua tangannya meraih bibir untuk ia tangkup agar lekas berhenti mengoceh hal yang tidak-tidak.

"Maaf, Pak Hamid. Saya ... saya keceplosan, Pak," akunya kemudian, refleks menyelipkan ponselnya ke dalam laci.

Bisa mampus gue kalau sampe ketahuan. Amit-amit, deh, hape gue disita. Mimpi buruk!

"Kenapa kamu teriak-teriak dalam kelas saya?!"

"Nah lho, Pak? Ini kan kelas XI IPA 4? Bapak gimana, sih? Ya kali, Pak, Bapak balik lagi jadi anak SMA terus ngaku-ngaku ini kel—ehehehehehe, aduh, sekali lagi maaf, Pak. Ceplosnya suer gak bisa ditahan."

Dan begitulah orang-orang mengenalnya, Rio Indonesia—cowok ganteng, tapi latah, plus ceplas-ceplos ucapannya. Ah, dunia memang adil.

"Maju kamu sini!"

"Ngapain, Pak?"

"Gak usah banyak tanya, sini kamu cepet!"

Dengan misuh-misuh, akhirnya Rio bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya ditekuk berlipat-lipat, tak senang dengan ide apa pun yang tengah dipikirkan Pak Hamid untuknya sekarang.

"Kamu baca cerpen ini keras-keras di depan teman-teman kamu. Habis itu jangan lupa kasihtahu ide pokoknya ke kita semua."

Untung guru, kalau bukan ... hm.

"Ngapain bibir kamu komat-kamit gitu? Kamu gak suka?"

"Iihh, nggak kok, Pak. Fitnah, nih. Lagian, siapa yang komat-kamit coba? Orang saya mulai baca cerpennya, kok," sangkal Rio, menahan untuk tidak memutar bola matanya.

"Ngawur kamu! Orang cerpennya aja belum saya kasihtahu yang mana!"

Oh, iya! Mati, deh, gue. Bego bener dah ini mulut kagak mikir. Eh, tapi kan yang mikir otak, bukan mulut? Ah, terserah, deh.

"Hehehe, maaf, Pak." Rio menunduk, menyembunyikan bibirnya yang kembali monyong-monyong karena mendumel. Sialnya, ternyata Pak Hamid melihat itu.

"Kamu keluar dari kelas saya! Sekarang! Minggu depan baru masuk!"

"Hah?! Bapak serius?!"

"Bukan, saya Hamid."

"_"

Gelak tawa teman-teman Rio sontak membahana mengisi sepenjuru ruangan yang sebelumnya senyap itu.

Untung guru, kalau bukan ... hm (2).

Dengan segenap rasa dongkol, akhirnya cowok berkulit kuning langsat itu kembali berjalan ke arah mejanya berada, berniat mengambil ponselnya di dalam laci. Namun ....

"Eits, kamu mau ke mana?! Langsung keluar sana, gak usah pamit sama bangkumu segala!"

Rio menghela napas pasrah sebelum kembali memutar tumitnya untuk keluar dari kelas. Sebenarnya ia sama sekali tak masalah jika harus dihukum seperti ini. Sebaliknya, ia justru senang karena bisa menghabiskan waktu lebih banyak di kantin, tapi ... ia merasa hampa dan merasa bahwa ia akan terlihat sangat bodoh tanpa ponsel di genggamannya.

Ah, baru juga beberapa menit, rasanya udah kangen aja sama hape gue. Semoga aja gak ketahuan sama Pak Hamid kalau gue sembunyiin Raisa di kolong meja. Huh, nasib, nasib.
.
.
.
Bersambung...

-----

Thanks for reading:) you guys may drop a vote/comment if you liked it.
.
.
Salam,
MsLoonyanna

Ponsel RioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang