Ponsel Rio
© MsLoonyanna╰•♥♡♥•╮
Setelah melewati fase-fase galau dan merana, akhirnya Rio dapat bangkit untuk menyongsong hari yang tak begitu cerah di keesokan harinya—well, menurutnya.
Cowok itu berangkat ke sekolah dengan lemas, meski sebenarnya sudah menghabiskan dua porsi nasi goreng sebagai jatah sarapan. Ia galau dan butuh asupan lebih, begitu katanya pada ibu dan ayahnya. Rio tahu betul bahwa kedua orang tuanya tak akan tega membiarkannya seperti ini, tetapi tetap saja ia tak akan mendapatkan ponsel baru dalam waktu dekat.
Dari perkataan ayahnya semalam (hasil dari menguping), Rio dapat menebak jika orang tuanya hendak memberinya sedikit pelajaran. Setelah kemarin ia bertapa di dalam kamar, Rio pun jadi sadar bahwa selama ini tampaknya ia memang terlalu sibuk dengan ponsel dan dunia mayanya hingga kadang bahkan mengabaikan keberadaan kedua orang tuanya saking seriusnya ia dengan urusan di dalam benda pipih nan mungil tersebut. Untuk itu, Rio tak akan merengek-rengek meminta ponsel baru di hari ulang tahunnya besok. Biarlah hari esok menjadi bitter seventeen untuknya, karena sweet seventeen sudah terlalu mainstream.
"Huh, oke. Gue, kan, limited edition. Bitter seventeen kayaknya gak apa-apa. At least, gue masih bisa ketemu bidadari gue di sekolah."
Rio sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga ia bahkan tak menyadari jika palang pembatas di depan kompleks perumahannya masih tertutup. Dengan kayuhan sepeda yang berkecepatan cukup tinggi, ia pun tanpa sengaja menerobos palang itu dan seketika mengumpat keras.
"PANDA!" Iya, karena anjing sudah terlalu mainstream.
"Siapa, sih, orang goblok yang naro palang di sini?! Perasaan dari kemarin-kemarin gak ada, deh!"
"Mas Rio gak apa-apa? Aduh, Mas. Jalan itu pake mata, dong." Sesosok laki-laki bertubuh baksem datang menghampiri.
"Eh, Pak Udin. Jalan itu pake kaki, tahu gak? Lagian, sejak kapan, sih, nih palang di sini?" Rio sibuk mendumel, memegangi keningnya yang ia rasa berhasil mencetak telur puyuh—benjol.
"Yeee, si Mas. Biasanya juga lewat sini, 'kan," ujar Pak Udin, si satpam kompleks yang memang sudah mengenal Rio sejak lama.
"Kan lagi galau, jadi gak konsen!" Cowok itu berseru jengkel.
"Mana saya tahu, kan, kalau situ lagi galau?"
"Huh! Diem, deh, Pak. Mood saya lagi jelek, nih."
Mendengar itu, Pak Udin hanya bisa menghela napas. Udah biasa, anak muda emang selalu galau berkepanjangan, pikirnya.
"Ya sudah, lain kali hati-hati. Jangan melamun," saran si satpam selagi Rio membenahi diri serta sepedanya.
"Iya, iya, makasih. Rio pergi dulu, kelamaan di sini bikin Rio tambah kezeeeel dan galau. Daaah, Pak Udin. Lain kali palangnya disuruh sopan, ya!"
Pak Udin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, habis akal. Sementara Rio yang sudah hilang di belokan kompleks perumahan tiba-tiba saja harus kembali mengumpat kesal.
"DUGONG! DASAR KERTAS LAKNAT!" Ia berteriak penuh emosi ke arah selembar kertas berdosa (lagi, karena 'tak berdosa' sudah terlalu mainstream) yang terbang tertiup angin dan menempel telak di wajahnya sehingga ia kembali terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Ya, karena ia tenggelam dalam lautan luka dal—
"Demi Merlin! Gue harus ikut lomba ini!" Aneh bin ajaib. Wajah masam Rio seketika berubah ceria setelah membaca selebaran yang sempat mencelakainya beberapa saat lalu itu.
"New handphoneee, I'm comiiiing!"
.
.
.
Bersambung ....----
Seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak, ya!:) See ya!
.
.
Salam,
MsLoonyanna💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponsel Rio
Short Story[SHORT STORY • Humor, Teenfiction, Mystery, a little bit of Supernatural and Horror] Rio Indonesia, cowok kekinian Indonesia yang tak bisa hidup tanpa ponselnya. Sayangnya, ponselnya justru "bisa hidup" tanpa Rio. ──❧───❧─────❦─────❧───❧── Ponsel...