"Aku merindukan mereka. "
Sai menepuk pelan puncak kepala Ino.
"Mereka juga pasti merindukan dirimu, Ino. " ucap Sai.
Ino membaringkan tubuhnya di ranjang, masih sambil melihat foto-foto keluarganya. Dengan bercucuran air mata kesedihan, Ino tersenyum mengingat semua kenangan dengan kedua orang tuanya itu.
Dengan ayahnya, yang selalu bertengkar dan tidak pernah akur. Walaupun sebenarnya mereka berdua saling menyayangi.
Dengan ibunya yang selalu menasihatinya dan sabar dengan dirinya. Yang selalu membelanya kalau ayahnya sudah marah-marah tidak jelas.
Ia merenungkan perbuatan egoisnya yang selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Sebagaimana manjanya yang teramat sangat itu dihadapi kedua orang tuanya dengan sabar walau sudah sering ditegur dan dinasehati.INO'S POV
Dengan hadirnya Sai, aku jadi menyadari perbuatan burukku. Aku menyesal telah berbuat buruk kepada kedua orang tuaku. Tapi, semua itu terlambat. Aku kejam, aku dingin, aku egois, dan aku suka menentang kedua orang tuaku.
"Apakah mereka akan memaafkanku? "
"Tentu saja. Tidak ada orang tua yang tidak mau memaafkan anaknya. "
Kurasa ucapan Sai itu benar. Orang tua akan selalu memaafkan anaknya. Mau seberapa besar kesalahan anaknya.
Entah sudah berapa lama aku memperhatikan foto keluargaku. Mataku terasa berat dan tidak mampu menangis lagi. Nafasku menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Tanpa menunggu lama lagi, mataku terpejam dan album foto yang kupegang pun terjatuh. Kesadaranku hilang, aku pun tertidur.
SAI'S POV
Wah, dia tertidur. Butuh waktu yang lama untuk menenangkannya. Sekarang sudah pukul berapa ya? Aku melirik jam dinding putih di kamar Ino, dan jam itu menunjukkan pukul 11.00 malam.
"Aku harus cepat memesan tiket pesawat untuk besok. " gumamku.
Aku pergi keluar kamar Ino dan menuju laptop merk Luvaglio milikku. Setelah itu, aku memesan 2 tiket pesawat VVIP menuju Vienna untuk besok. Lalu, aku mematikan laptopku.
Oh ya, aku belum memperkenalkan diriku yang sebenarnya secara lengkap, ya?
Namaku Sai, umurku 23 tahun. Seangkatan dengan Ino tetapi lebih tua 1 tahun. Aku bekerja di Swiss sebagai salah satu pemilik perusahaan mobil terkenal di dunia. Kalau Ino yang bilang, pasti dia akan berkata bahwa aku 'lebih kaya darinya'. Tapi, aku tidak pernah berpikiran begitu.
Perusahaanku semakin hari semakin maju, jarang sekali mengalami penurunan. Orang tuaku juga memiliki perusahaan mereka masing-masing.
Aku selalu memikirkan Ino dari bangun tidur sampai ke dalam mimpiku juga. Dan aku meninggalkan Swiss dengan tujuan yang sangat jelas. Mengubah hidup Ino, setelah itu, menikah dengannya. Di Tokyo ini aku memiliki 1 villa dan 2 apartement. Aku tinggal di apartementku, lalu bekerja sebagai 'pelayan pribadinya ' demi mendekatkan diri dengan Ino.
Sekian dulu tentang diriku.
NORMAL POV
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Tidak ada suara, tidak ada cahaya di kediaman Ino. Semua sudah pergi ke dunia mimpi mereka masing-masing. Termasuk Sai. Setelah memesan dan mencetak tiket pesawat, ia menuju tempat tidurnya lalu tertidur.
TING!! TING!!
Suara alarm HP Ino membangunkan dirinya dari tidur lelapnya. Dan seperti biasa, ketika ia membuka matanya, wajah Sai sudah berada kurang lebih 3 inchi di depan wajahnya. Terbiasa dengan itu, Ino hanya mendorong wajah Sai pelan sambil memasang muka datar.
"Dasar, wajah jelek! " rutuk Ino.
'ARGHH!! Wajahnya ganteng sekali' batinnya.
Sai hanya tersenyum sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna putih dengan corak panda kecil. Ino membuka kotak tersebut dan menemukan 2 tiket pesawat VVIP. Tapi, bukannya senang, dia malah melempar kotak tersebut.
"Aku tidak butuh. Aku malas pergi. "
"Hah?? Aku tidak mengerti! "
"…"
"Kenapa kau berubah pikiran. "
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ino pergi ke kamar mandi dan mencuci setiap inchi tubuhnya. Selesai mandi, dia pergi ke kamar gantinya dan berganti pakaian.
"Dasar. Katanya tidak mau pergi. " gumam Sai sambil menhan tawanya yang hampir meledak.
Ino menggunakan sebuah rok selutut berwarna coklat dengan motif hati berwarna merah dengan kemeja tanpa lengan berwarna krem polos. Sederhana, tetapi membuat tubuh Ino terlihat sangat cantik. Setelah itu, Ino keluar menuju meja riasnya dan mendapati Sai sudah selesai mandi dan berpakaian rapi. Wangi khas tubuh Sai menyeruak memenuhi kamar Ino. Tetapi, Ino hanya memberi tatapan dingin padanya sambil memutar bola matanya. Ia memoles wajahnya dengan sedikit bedak dan menorehkan lip gloss bermerk Laneige pada bibirnya. Sangat sederhana.
'Cantik. ' pikir Sai.
Setelah berdandan, ia mengambil dompetnya dan mendahului Sai keluar kamarnya. Tapi belum beberapa langkah keluar dari kamarnya, Ino memutar tubuhnya 180° dan memasang muka dingin.
"Cepatlah! " ucapnya dengan nada sedikit lebih tinggi dari biasanya.
Sai terkejut. Ia tidak tau kenapa sikap Ino kembali berubah drastis. Dingin sekali, tapi, ia masih mencoba berpikir bahwa Ino masih trauma atas kejadian kemarin.
KREKK!!
Sai mengunci pintu rumah Ino dan memasuki mobil Maybach Exelero miliknya. Di dalam, Ino sudah duduk dengan manis sambil menatap nanar jendela mobil Sai. Sai mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan standar. Dalam diam, Sai sering mencuri-curi pandang pada Ino. Tapi, Ino tidak menunjukkan sebuah pergerakkan sama sekali. Dengan sabar, Sai masih tetap menyuguhkan sebuah senyuman.
Tanpa ia sadari, ada seorang pengemudi yang mabuk dan mengarah ke hadapan mereka. Mereka akan bertabrakan!!
TIN! TIN! TIN!!!
"SAI!!!! "
-Bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Thin Line ( Completed )
RomanceIno menyadari bahwa Sai mencintai dirinya. Dan dia pun mencintai Sai. Tapi, sayangnya, jarak antara cinta dan waktu kepergian Sai begitu tipis. Setipis garis. Semua itu telah sirna hanya dalam sekejap mata. Terasa begitu cepat, bagaikan sebuah mimpi...