A Proposal In A Sad Moment

292 37 4
                                    

"Kuulang sekali lagi, maukah kau menikah denganku?" ucap Sai dengan senyum hangatnya.

"Tidak. " jawab Ino dingin.

Sai masih tersenyum.

"Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak bisa. " ulang Ino sambil menangis.

Sai menyadari sebuah kejanggalan dalam tangisannya. Ia melihat ada sebuah senyuman yang benar-benar tipis yang muncul di sudut bibir Ino.

"Aku.. Aku tidak bisa menolakmu. Hiks.. Sai.. Aishiteru yo. Aku.. Aku mencintaimu. Hiks.. "

GYUT!!

Sebuah pelukan hangat mendekap tubuh kekar Sai. Sepasang tangan kecil melingkar di tubuhnya. Ino bisa merasakan tubuh Sai yang menegang tanda bahwa dia terkejut. Sambil menangis dia menenggelamkan wajahnya di dada bidang Sai. Sai tersenyum, lalu mengelus puncak kepala Ino. Perasaan yang berkecamuk di hati Ino kini mulai terbit lagi. Sedih, sakit, perih, bahagia, senang, tenang, dan segalanya seperti diaduk-aduk.

"Sai, aku membencimu. Hiks.. "

"Wah? Kenapa? " ucap Sai sambil menggoda Ino agar dia terhibur.

"Aku benci dirimu. Hiks.. Kau.. Hiks.. Berkata begitu saat, hiks.. Papa dan Mama tidak ada.. Hiks.. "

"Bukannya kau bilang kau mencintaiku, ya, Ino? "

"Hiks.. Iya. Tidak. Ahh, aku tidak tau.. Bagaimana cara aku meminta restu mereka? Hiks.. Hiks.. "

Ino terkekeh di sela-sela tangisannya. Melihat itu Sai mempererat pelukannya. Sebuah ide muncul di otak Sai, dengan berat hati, Sai mendorong Ino menjauh. Dia menatap Ino lekat-lekat sambil mengenggam erat pundaknya.

"Bisa atau tidak bisa. Sempat atau tidak sempat. Mungkin atau tidak mungkin. Aku harus mendapat restu kedua orang tuamu. " tegas Sai.

Ino memiringkan kepalanya 45° tanda bahwa ia merasa bingung.

"Ayo, kita kunjungi kedua orang tuamu di sana. "

"Aku tidak tau, Sai. Aku tidak rela kehilangan mereka. Tidak sanggup aku bertemu mereka. "

"Semulus-mulusnya sebuah jalan, lama kelamaan akan rusak juga. " sahut Sai sambil membelai lembut pipi Ino.

"Maksudmu? "

"Hm.. Sama dengan kehidupan kita. Semulus-mulusnya hidup kita, pasti ada satu lubang yang akan muncul. "

"Dan lubang itu adalah kesedihan, dan penderitaan. " kata Ino melanjutkan kata-kata Sai.

"Hn, kau betul. Dan aku, bersedia mengisi lubang di hatimu itu. " jawab Sai sambil mengangguk.

Keheningan menyelubungi mereka berdua. Ino mengerti perkataan Sai tersebut, tapi tidak tahu harus menjawab apa. Dengan perlahan Sai menggenggam tangan mungil Ino dan menuntun Ino menuju kamarnya. Sampai di kamarnya, Ino sangat terkejut melihat sebuket bunga lisianthusyang dipadu dengan bunga lili dari lembah serta bunga hydrangea duduk manis di kasur Ino. Semua bunga itu berwarna ungu dan putih, warna kesukaannya.

"Sejak kapan? "

"Hm, sebetulnya, sewaktu kau berdebat dengan Karin tadi, aku mempersiapkan semua ini. "

"Jadi, kau tidak menjaga ku? "

"Tidak. Aku menjagamu. Aku memperhatikanmu dari atas sini lewat jendela. " jawab Sai sambil menunjuk jendela yang dekat dengan tempat tadi Ino berdebat.

"Yah, tapi dibantu oleh bawahanku yang berjaga-jaga di semak-semak itu. " lanjut Sai sambil terkekeh.

"Dasar. "

Sambil berlutut, Sai mengambil sebuah kotak beludru ungu muda dari kantong celananya dan menyodorkannya ke hadapan Ino. Ketika ia mebuka kotak tersebut, tampaklah sebuah cincin yang sekelilingnya dihiasi oleh berlian putih. Dan terdapat sebuah batu cincin topaz yang menjadi inti cincin tersebut. Di dalam kotak itu juga ada sebuah surat yang terlipat rapi. Sai mengambil surat tersebut dan memberikannya kepada Ino. Ino menerima surat yang diberikan Sai itu lalu membukanya.

'Marry Me? '

Dalam sekejap, mata Ino mulai berkaca-kaca. Iya mengangguk berkali-kali tanpa berkata apa-apa. Dia hanya menangis bahagia. Sai mengambil cincin itu dan memakaikannya ke jari manis Ino.

"Baiklah, ayo kita mengunjungi kedua orang tuamu. "

"Tapi, dimana mereka sekarang? "

"Tadi Naruto mengirimkan pesan untukku. Orang tuamu sedang dimakamkan di Vienna. Pihak bandara sudah menanggung itu semua. "

Tangan Ino mengepal. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Hatinya bergejolak, dan air matanya berjatuhan mewakili perasaan yang sedang ia rasakan detik ini. Melihat itu hati Sai luluh, ia memeluk Ino kembali dan mengusap air matanya.

"Ayo, bersiap. Kita berangkat besok. "

"Hn. " Ino mengangguk.

Setelah berkata begitu, Ino duduk terdiam sambil terus menatap buket bunga yang diberikan Sai dengan tatapan kosong. Melihat itu, Sai merasa canggung dan bingung. Tiba-tiba di benaknya terlintas sebuah ide. Ia berjongkok dan menarik sebuah kotak dari bawah kasur Ino. Kotak itu berwarna hitam dengan motif bintang berwarna kuning terang. Di dalam kotak itu ada sebuah album foto yang pada sampulnya terdapat foto keluarga Ino.

"Aku tau kau masih bersedih. Tapi, mungkin dengan melihat ini, hatimu akan menjadi lebih baik. "

"Iya. "

"Hah, Ino. Kau harus belajar merelakan mereka. Iya, aku tau, kehilangan mereka adalah sebuah kejadian yang sangat mendadak. "

"Hn. "

"Aku juga tau bahwa susah untuk merelakan kepergian mereka. "

"Hn. "

"Tetapi, kau harus belajar untuk melupakan mereka. Aku yakin, di surga nanti, mereka tidak mau kau terus bersedih karena memikirkan mereka. Orang tuamu selalu menginginkan kau berbahagia. "

"…" tidak ada jawaban.

"Kalau kau merasa ada yang mengganjal di pikiranmu. Katakanlah dengan lantang di dalam hatimu, minta maaflah kepada orang tuamu kalau kau merasa ada salah. Kalau kau merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan. "

"…" tetap tidak ada jawaban. Ino terdiam entah memikirkan apa, tapi ekspresi wajahnya menghangat. Tangannya bergerak dan mengambil album foto yang diberikan Sai tadi. Dia membuka lembaran demi lembaran album itu.

"Aku merindukan mereka. "

-Bersambung-

Thin Line ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang