I Can't Smile. My Heart Is Already Broken

265 35 16
                                    

Ino mengambil sebuah map yang Naruto berikan. Dia membaca dengan teliti setiap detailnya.

"A-APAAA??!! "

Ino terbelalak kaget melihat data-data yang berada di map yang barusan Naruto berikan.

"Ini.. Ini adalah foto kedua orang tuaku. Ba-bagaimana bisa!? "

"Pihak bandara memberitahuku bahwa pesawat mengalami kecelakaan 2 jam yang lalu. Tepat pukul 11.00 . Kata mereka, penyebab dari kecelakaan itu adalah badai petir yang dahsyat di dekat Vienna. " jelas Naruto.

Tatapan Ino kosong. Matanya tidak bercahaya lagi, rahangnya mengeras dan tanganmu mengepal.

"Jangan bohong Naruto. " ucap Ino dengan tawa sendu.

"BAGAIMANA BISA KAU TAHU TENTANG
INI!? JAWAB AKU!! " teriak Ino histeris. Ia menarik dan mencengkram kerah baju Naruto.

"Te.. Tenang Ino. Hinata, istriku baru pulang dari Luksemburg. Aku menjemputnya di bandara. Dan tidak sengaja aku mendengar berita tentang kecelakaan pesawat. Aku penasaran tentang itu, makanya aku bertanya dan mencari informasi. "

Cengkraman tangan Ino mulai mengendur. Ia menunduk dan mengambil map yang sempat ia jatuhkan. Lalu, ia menatap kedua foto orang tuanya itu dalam diam.

"Eh.. Uhm.. Ino. "

"DIAM! " bentak Ino.

"Ah, iya. Aku tidak bisa berkata apa-apa, ataupun berbuat apa-apa. Aku hanya bisa mengucapkan turut berduka cita, ya. Dan kau harus tau, di sekelilingmu masih ada banyak orang yang menyanyangimu. Jadi janganlah bersed-"

"DIAM!! DIAM!! DIAM!! "

Belum selesai Naruto berbicara Ino langsung menutup pintu rumahnya dengan kasar.

"-dih." lanjut Naruto. Dia menghela napas panjang. Naruto mengerti perasaan Ino, ditinggal oleh kedua orang tua secara mendadak membuat perasaan Ino remuk redam. Merasa Ino memerlukan ruang sendiri, Naruto pergi meninggalkan rumah Ino yang megah dan memasuki mobil sport 'Chevrolet 'miliknya.

"Bagaimana? " terdengar suara yang sangat imut ketika Naruto memasuki mobilnya.

"Dia terlihat begitu syok. "

"Dan membanting pintu rumah? "

"Iya, bagaimana kau bisa tahu, Hinata? "

"Aku sahabatnya dari dulu, aku tahu bagaimana prilakunya. " jawab Hinata sambil terkekeh.

Naruto tersenyum lalu mencium pipi kanan Hinata sekilas. Setelah itu, Ia melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Ino.

Ino bersandar pada pintu rumahnya. Tatapan matanya sendu, seperti kehilangan alasan untuk hidup. Perlahan, badannya merosot ke bawah. Ia duduk meringkuk sambil memeluk kakinya sendiri. Matanya bengkak, tidak kuat menahan air mata yang akan meledak beberapa saat lagi. Dan di situlah tiba-tiba Sai datang, berdiri di hadapan Ino. Tapi, Ino terlalu malas mengangkat kepalanya untuk memandang wajah Sai.

"Apa ini mimpi? " gumamnya nyaris tidak terdengar.

"..."

"Jawab aku! Apa ini mimpi? " tanya Ino lagi dengan suara serak.

"..." tidak ada yang menjawab.

"Sai.. Hiks.. Kau bertanya tentang hadiah yang sangat kuinginkan untuk ulang tahunku, bukan? "

"Iya. "

"Hiks.. Hiks. Aku~" Ino tidak melanjutkan kata-katanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap Sai lekat-lekat. Matanya masih dihujani oleh air mata yang tidak berhenti terjatuh.

"Aku ingin kau mengembalikkan kedua orang tuaku. " lanjut Ino dengan penekanan di setiap kata.

Sai tersentak. Ia tidak tau harus berbuat apa. Lidahnya terlalu kaku untuk mengucapkan satu huruf pun. Ino tersenyum. Tetapi, bukan keceriaan atau kebahagiaan yang tersirat di senyumannya itu melainkan sebuah kesedihan dan kesengsaraan yang teramat dalam.

"Aku ingin kedua orang tuaku. Aku ingin, segala hal yang terjadi hari ini hanya sebuah mimpi. "

Setelah berkata begitu, Ino berdiri lalu bersandar kembali di pintu masuk rumahnya. Ia menutupi wajah cantiknya dengan punggung tangannya. Ia berteriak histeris dengan diiringi oleh tangisan yang menjadi-jadi.

GYUT!!

Sepasang tangan yang kekar melingkar di tubuh Ino. Kehangatan dengan cepat menyelubungi hati Ino yang dingin. Ino sangat ingin memberontak, tetapi, kenapa dia merasa nyaman? Ia bersandar di dada bidang seorang pria yang lebih tinggi darinya dan sedang memeluknya itu. Tiba-tiba, tangisan Ino berhenti.

"Kenapa berhenti? Lepaskan. Lepaskan bebanmu. Kau tak perlu malu." ucap Sai sambil mempererat pelukannya.

Sai mengusap punggung Ino untuk menenangkannya. Ino menarik napas pelan dan melanjutkan isak tangisnya. Sudah beberapa menit mereka berada di posisi seperti itu. Dengan enggan, Ino mendorong Sai menjauh dan mengusap matanya dengan kasar.

"Mengapa kau memelukku? "

"..."

"Tolong, jawablah aku, Sai. Aku membutuhkan jawaban." ucap Ino dengan nada menuntut.

"Apa kau masih tidak mengingatku? "

Ino terdiam. Dia menatap wajah Sai sambil mengingat-ingat. Tapi, tetap tidak mendapatkan jawaban siapa Sai sebenarnya.

"Hahhh.. Kau sama seperti kita TK dulu, pelupa dan cengeng. "

Ino memandang Sai dengan tatapan bingung.

"Baka! Aku sedih sekali kau melupakan sahabatmu sendiri. " ucap Sai sambil berpura-pura cemberut.

Tangan Sai bergerak ke atas dan membelai pipi mulus Ino. Menghapus air mata yang masih berjatuhan dari matanya.

"Menangislah kalau itu membuatmu lega. Lepaskan semua beban yang ada di benakmu itu. Aku.. "

"Kau, apa? " tanya Ino sambil terisak.

"Aku selalu di sampingmu, aku.. Menyayangimu. Tidak, aku mencintaimu. Yamanaka Ino."

Seperti disambar oleh petir, tubuh ino menegang ketika mengingat kejadian semasa TK nya.

'Sai, aku.. Aku mengingat dirimu. Tapi, hatiku terlalu sakit untuk tersenyum.' pikir Ino. Ia menunduk dan mengepalkan tangannya.

Sekali lagi Sai menarik tubuh mungil Ino itu ke dalam pelukannya. Dari pelukannya, Ino dapat merasakan sesuatu yang bergejolak dalam hatinya sendiri.

"Ino, maukah kau menjadi kekasihku? Ah, tidak, apakah kau mau menikah denganku? "

"A.. Apa? " tanya Ino lagi, padahal dia sudah mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Sai.

"Kuulang sekali lagi, maukah kau menikah denganku?" ucap Sai dengan senyum hangatnya.

"Tidak. " jawab Ino dingin.

-Bersambung-

Thin Line ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang