Chapter XXV

45 3 0
                                    

Aku membuka mataku, rasa dingin perlahan menerawang menembus kedalam kulitku. Aku mencoba menggerakan tangan dan kakiku ketika mendapati tubuhku yang tertimbun dengan gumpalan salju. Tepat diatas kepalaku, sebuah lubang yang diselimuti salju berdiameter sekitar 2 meter terlihat menganga dan membiaskan cahaya bulan hingga kedalam.

Aku mencoba untuk bangkit mengeluarkan tubuhku dari gumpalan salju yang berat ini. Perlahan tapi pasti aku mulai bisa merasakan tangan dan kakiku mencuat dari permukaan salju. Aku berdiri, kemudian mataku menalar kekanan dan kekiri mencoba mencari tahu dimana aku sedang berada.

Didalam sini terlalu gelap, dan aku tidak memilik senter. Sepertinya aku jatuh kedalam sebuah lubang yang cukup dalam. Aku mencoba menerawang lebih jauh dan menemukan sepertinya lubang ini membentuk lorong. Cahaya bulan memantulkan sesuatu dari balik salju, aku mendekat dan menemukan Samuraiku yang tertimbun. Aku menoleh keatas, memperkirakan apakah aku sanggup memanjat keluar dari sini? Tapi nampaknya aku terjatuh cukup dalam. Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang berat diikuti suara yang terdengar seperti gerangan.

Aku merunduk, kembali bersembunyi. Aku menyelimuti sebagian tubuhku dengan salju agar Zombie yang mendekat tidak dapat menemukanku. Aku memperkirakan kedalaman lubang ini ada 5 meter, dan sepertinya Zombie-Zombie itu tidak cukup nekat untuk masuk dan mencari tahu. Aku mengintip dari balik salju, terlihat beberapa Zombie sedang melintas tepat diatasku.

Aku menahan nafasku ketika salah satu dari mereka terlihat berhenti dan seakan mengendus sambil menerawang ke sepenjuru hutan. Aku memasukkan kepalaku kedalam, mencoba untuk tetap tenang. Dari celah-celah salju, aku bisa melihat matanya yang menatap lurus kearahku.

Zombie itu hanya menatapku, aku semakin menahan nafasku hingga dadaku terasa sesak. Menunggu apa yang hendak Zombie itu lakukan, kemudian tidak lama, dia pergi.

Aku menghembuskan nafas lega,  berfikir kendati gelap setidaknya aku aman disini. Mungkin aku akan keluar ketika matahari sudah terbit. Aku berdiri, kemudian berjalan menghindari lubang yang menganga diatas kepalaku agar Zombie-Zombie itu tidak menemukanku.

Mataku melayangkan pandangan pada jalan didepanku. Aku memutar otak, Dengan apa aku bisa melihat jelas ketika aku tidak membawa senter maupun pemantik api?. Aku berfikir ada baiknya aku menunggu disini tanpa harus merasa penasaran dengan jalan diujung sana. Tapi entah kenapa, perasaanku mengatakan kalau aku harus terus berjalan. Di satu sisi, pikiranku berdebat kalau aku harus menunggu hingga semburat matahari muncul.

Aku diam sesaat, lalu memutuskan kalau aku lebih mempercayai instingku ketimbang logika ku. Perlahan, aku berjalan menjauhi tempat aku terjatuh sambil meraba dinding-dinding di kanan-kiri ku.

Aku terus meraba sambil berjalan lurus, hingga aku menyadari sedari tadi aku tidak menemukan ujung dari lubang ini. Aku tidak salah lagi, ini sebuah lorong. Tapi menuju kemana?

Perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Udara dari luar perlahan masuk, membisikkan dinginnya pada bulu romaku. Rasa takut seakan menggerogotiku. Aku tidak pernah merasakan rasa takut seperti ini sebelumnya. Aku tidak pernah percaya pada mahluk yang Marceline sebut hantu atau apapun itu. Tapi setelah melihat semua hal aneh yang terjadi, aku menyimpulkan kalau hal itu mungkin saja benar adanya.

Aku menarik nafas, mencoba menghentikkan otak bodohku yang terus memikirkan hal-hal aneh. Menurutku menemukan hantu di tempat gelap seperti ini setidaknya tidak seburuk menemukan Zombie yang siap membunuhmu.

Aku menghentikkan langkahku ketika sepatuku merasakan sesuatu dari bawah. Aku berjongkok sambil meraba permukaan tanah, mencari benda apa yang tadi aku injak. Aku berfikir mungkin batu atau kerikil, tapi rasanya begitu janggal karena benda itu seakan berbunyi ketika aku menginjaknya.

Marwolaeth CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang