Chapter XXIII

38 4 0
                                    

Aku mencoba melihat dimana tadi Karl terjatuh. Mataku mendapatkan sebuah cekungan yang cukup besar dengan salju-salju diatasnya. Aku mencoba melihat keseliling untuk menemukan Karl, tapi nihil. Diam-diam aku mengkhawatirkannya walau aku yakin dia pasti sudah berlari, dan aku percaya dia selamat.

Aku mencoba untuk terus mempertahankan diriku, berbekal dua bilah pisau di tanganku. Melayangkan keduanya secara bersamaan dikepala Zombie-zombie itu. Banyak yang tumbang, tapi banyak juga yang bergerak mendekat.

Aku memutuskan aku tidak punya pilihan, aku meluncur dari atas bukit sambil berlari menjauh. Beberapa kali aku menoleh kebelakang melihat mereka yang masih mengejarku.

“demi tuhan siapapun tolonglah aku!” pekikku dalam hati

Pikiranku tidak menentu begitu juga dengan langkah kakiku. Jumlah mereka terlalu banyak, aku sendirian dengan hanya bersenjatakan dua  pisau. Aku berdoa dalam hati agar tuhan melindungiku. Lalu aku sadar aku tidak bisa terus berlari dan menghindar, aku harus kembali menghadapi mereka.

Aku kembali menghentikan langkahku, kembali berbalik dan menerobos kerumunan para Zombie dengan pisauku. Aku terlalu besemangat, hingga aku tidak memperhatikan salju licin dibawah kakiku. Aku terpeleset dan terjatuh sedangkan para Zombie berada diatasku hendak menikamku.

Aku melesatkan pisauku ke wajah mereka, berguling untuk menghindari cakaran yang bisa menginfeksiku. Aku berdiri, mengambil langkah mundur, aku tidak mau menyerah, aku sudah berjanji pada Karl untuk tetap bertahan hidup. Dan aku cukup yakin kalau aku kuat untuk menghadapi semua ini.

Aku tersudutkan diantara pepohonan, dan mayat-mayat hidup yang berjalan semakin mendekat. Mereka melingkariku, dan seketika aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku menengok keatas pohon, dan menemukan beberapa dari mereka yang merangkak perlahan diatasku.

Mereka semakin mendekat, dan aku tidak punya pilihan apapun. Dalam hati aku menyesal dan meminta maaf pada Karl kalau seandainya aku tidak bisa menepati janjiku padanya. Aku terdiam, peluh turun perlahan dari dahiku, aku mengepalkan tanganku sambil berdoa, menutup mataku.

Lalu aku mendengar suara, seperti langkah kaki dalam jumlah yang banyak. Hatiku semakin sesak mendengarnya. Kemudian langkah-langkah itu seakan terhenti, dan aku mendengar suara beberapa orang yang bersahutan.

Ada orang lain… ada seseorang

Aku berharap itu Marceline dan yang lain agar mereka dapat membantuku, setidaknya aku tidak sendirian.

DOOORRR DOORR!!!

Aku membuka mataku, dan seketika asap tebal menyelimutiku, baunya begitu buruk sehingga aku sesak nafas. Terdengar suara baku tembak yang melayang kearahku, menancapkan peluru kedalam kepala-kepala Zombie yang berdiri didepanku.

Rentetan peluru terus bergema, satu persatu mulai tumbang, hingga aku tidak bisa melihat satupun yang berdiri tegak. Aku terbatuk karena asap yang mengepul, aku sulit bernafas dan aku merasa seperti orang yang terserang asma.

Aku tersungkur dibawah pohon, seakan aku tidak memiliki kekuatan bahkan untuk berdiri apalagi berlari. Perlahan, asap mulai menipis lalu terlihat segerombolan orang berpakaian loreng dengan perisai dan senapan.

Mereka menatapku, lalu mendekat sambil melepaskan helm mereka.

“kau tak apa?” tanya seorang lelaki bermata biru menyala

Aku hanya bisa melayangkan pandanganku pada matanya, hanya bisa tersenyum sambil terbatuk-batuk. Rasanya sangat sulit untukku mengeluarkan suara. Mereka tidak lagi bertanya. Mereka membopongku, membantuku berjalan.

Kakiku gemeteran, nafasku sesak, rasanya sulit dipercaya aku masih bisa hidup.

Sebuah mobil kijang berwarna hitam muncul dari balik hutan. Mereka membuka bagasinya dan menidurkanku diatas sebuah kasur. Mataku sayup-sayup melihat beberapa orang disampingku menatapku. Wajah mereka terlihat tidak asing.

“Harry… apa yang terjadi?”

Aku tidak bisa melihat siapa orang yang berbicara, tapi dari suaranya aku bisa menebak itu Marceline.

“siapa mereka? Kenapa kalian bisa ada disini?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya

Seseorang menarik selimut, dan mengelap keringatku

“Jangan dipikirkan dulu, sebaiknya kau tidur”

“ Tidak, aku ingin tahu”

Mereka semua terdiam, lalu seseorang memakaikanku masker oksigen, perlahan aku bisa bernafas lebih baik.

“Ketika kami berlari, kami mendengar suara tembakan menggema dimana-mana. Lalu kami berlari mengikuti suara tembakan. Dan menemukan orang-orang berpakaian loreng dengan senapan, dan granat. Mereka ini kesatuan tentara yang bertugas mengamankan kota-kota dari serangan Zombie dan membantu mengevakuasi beberapa orang yang selamat”

Suara tembakan? Aku bertanya-tanya kenapa tadi aku tidak mendengarnya… Perlahan, aku membuka mataku, dan semuanya terlihat sedikit lebih jelas sekarang

“mereka manusia?” bisikku

“ Bukan… kebetulan mereka ini mutant, tapi sepertinya mereka belum menyadarinya. Aku menemukan beberapa yang Lycan dan sisanya kebanyakan Oracle… tidak ada Vampire” ujar Rick

Sangat mengejutkan bagiku ketika mengetahui banyak mutant yang bekerja sebagai tentara. Tapi hal itu juga membuatku bisa bernafas lega, setidaknya ada sebuah lembaga besar yang resmi diluar Tent Veradeningren dengan persenjataan modern dan canggih. Aku juga yakin mereka punya suplai obat-obatan dan cukup makanan.

“Harry, dimana Karl?” tanya Marceline

Aku menatap kemata Marceline, bingung dengan apa yang akan aku katakan. Matanya terlihat berkaca-kaca ketika dia memandangku, aku tidak bisa memastikan Karl masih hidup, dan aku bahkan tidak tahu dia ada dimana.

“dia selamat, aku…”

Aku menghentikan kalimatku, dan Marceline memegang erat tanganku.

“bagaimana kau tahu dia selamat?” tanyanya

Aku menoleh ke semuanya, yang sudah terlihat pasrah sambil menundukkan kepala mereka.

“aku menyuruhnya berlari menjauh sedangkan aku menghalau para Zombie,… lalu sepertinya dia terpeleset kebawah bukit, dan… sepertinya dia berlari…”

“Harry, langit sangat gelap, Karl tidak membawa senter dan satu-satunya senjata miliknya hanya samurainya…”

“i-iya, itu cukup kan? Maksudku…”

“dan Zombie diluar sana entah berapa jumlahnya, kau ini bodoh atau apa!?”

Marceline membentakku dan aku tidak sanggup menatap wajahnya. Aku bisa mendengarnya menangis. Aku tidak bermaksud melukai Karl hal seperti itu tidak pernah terlintas dalam kepalaku. Aku melakukan semuanya agar dia selamat. Tapi bodohnya aku tidak memikirkan apa yang baru saja dikatakan Marceline.

Kami semua terdiam, aku merasa bersalah. Marceline benar, bagaimana kalau Karl mati? Dan siapa yang tahu dia ada dimana sekarang? Sendirian didalam hutan tanpa penerangan dan perlindungan.

“kita bisa cari lagi besok, usahakan jangan pernah memencar, sudah cukup kita kehilangan Cam dan sekarang Karl, jangan biarkan ada lagi yang hilang” ujar Owen

Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, rasa bersalah dan kekhawatiran menghantuiku. Dimanakah gadis yang aku cintai?

Marwolaeth CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang