Chapter XXX

92 6 2
                                    

Waktu menunjukan pukul 8, aku begitu lelah dan bosan hingga aku memutuskan lebih baik aku tidur sambil menunggu tengah malam. Aku merebahkan tubuhku diatas sofa, perapian di depanku memberikan kehangat ke seluruh tubuhku. Tidak lama, aku tertidur.

Kemudian, aku mulai bermimpi. Aku berdiri di pusat kota Marwolaeth, sendirian. Angin berhembus kencang dan langit menggelap, pertanda hujan sebentar lagi akan turun. Aku menyampirkan hoodie ku diatas kepala, sambil mendekap coat ku berjalan tanpa arah.

Sesekali mataku menatap langit dengan tetesan air yang perlahan jatuh diatas aspal. Mobil-mobil tergeletak begitu saja dengan sampah-sampah yang berterbangan tertiup angin.

Mataku menangkap sebuah cahaya lampu dari ujung jalan, terlihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dariku. Aku menunggu, untuk melihat siapa dibalik kemudi. Lalu pintu terbuka, dan Karl keluar dari dalam.

Aku menarik nafas, sambil menautkan senyum. Aku memanggil Karl, walau sepertinya dia tidak mendengarnya. Aku berlari kearahnya, sambil terus berteriak. Tapi dia tidak menoleh sedikit pun. Aku terus berlari, tapi entah kenapa semuanya terasa semakin jauh, dan Karl semakin lenyap dalam pandanganku.

Kemudian aku berhenti, menatap jalanan kosong didepanku, sedan tadi menghilang begitu juga dengan Karl. Angin berhembus lebih kencang mengantarkan salju turun dari langit, menyatu dengan hujan.

Lalu seketika, salju-salju itu dengan cepat menyelimuti semuanya, mobil-mobil menghilang dibalik salju, Marwolaeth berubah menjadi padang Salju yang luas. Bola mataku bergerak memperhatikan keadaan sekitar, lalu aku menemukan sebuah pagar tanpa bangunan.

Aku menautkan alisku, sambil berjalan mendekat seakan tempat ini sudah tidak asing lagi. Sebuah pintu menganga dari bawah kakiku, perlahan aku masuk, dan menemui diriku berada di lorong-lorong yang begitu panjang dan terang.

Sebuah pintu terbuka, kemudian aku melihat Cam yang berjalan keluar, aku berlari mendekatinya, lalu dia berbalik dan langkahku terhenti. Matanya merah semerah darah, tatapannya kosong, dia seperti robot.

Cam hanya memandangku tanpa mengucapkan sepatah katapun, kemudian aku memutuskan untuk berjalan mundur karena aku tahu ada yang tidak beres. Aku berlari hendak kembali, dan Cam mengikutiku.

Kakiku seakan berhenti bergerak ketika mendapati bayangan Owen yang berdiri tidak jauh dariku.

“ Marceline… pergi Marceline… pergi…”

Suaranya menggema didalam lorong, pandanganku mulai berbayang. Aku menoleh ke arah tangga tempat aku datang tadi, tapi yang kudapati bukan barisan tangga, melainkan bercak darah pekat yang berceceran dan Lewinsky yang tergeletak tidak berdaya diatas lantai.

Mataku seakan memerah, lampu di lorong-lorong berkedap-kedip. Aku ketakutan, dan aku tidak tahu aku sedang berada dimana. Aku melangkah mundur, walau aku sebenarnya tidak tahu harus keluar kemana.

Aku berbalik dan menemukan mata Cam yang menatap lurus kearahku. Dia tersenyum, kemudian aku melihat taringnya yang berdarah. Aku kembali menoleh kearah Lewinsky dan menemukan sebuah goresan darah di lehernya.

Aku hendak berlari, tapi Cam mencengkram tanganku, menarik leherku dan menggigitku. Kemudian, aku tidak melihat apa-apa lagi.

“ Marceline? Marceline…. Bangun!!!”

Aku membuka mataku perlahan, mendapati Harry yang duduk didepanku.

“sudah jam 12…” gumamnya

Aku duduk, dan mengucek mataku. Menoleh kearah jam dinding yang sudah menunjukan pukul 12. Harry menarik tanganku, memaksaku untuk bangkit walau sebenarnya aku sangat mengantuk.

Marwolaeth CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang