Bonus Chapter

99 0 0
                                    

Hari ini matahari bersinar begitu terang, menyenangkan rasanya bisa kembali tidur di dalam kamar asrama. Aku bangkit dari atas tempat tidurku, menatap matahari pagi dari balik kaca balkon ku yang pecah.
Beberapa siswa maupun guru yang kemarin berubah menjadi Zombie mulai bangun dalam keadaan bingung. Mereka begitu terkejut melihat Alburgue yang porak-poranda.
Dinding-dinding dipenuhi bercak-bercak darah berwarna hitam. Bau amis dimana-mana, kaca-kaca pecah. Pintu depan rusak, beberapa barang hilang begitu juga dengan mobil-mobil.
Hari ini, aku bangun sendiri di kamar asramaku, kemarin sore Cam memutuskan untuk pergi bersama Lewinsky mengunjungi kakeknya yang mungkin akan begitu terkejut ketika bangun di atas gundukan salju dengan Edelweis diatasnya.
Sedangkan Marceline, merasa mungkin dia butuh sedikit hiburan, dan bantuan untuk melupakan Owen. Jadi dia pergi bersama Rick, kembali ke Tent Veradeningren, belajar cara menembak maupun menggunakan panah.
Walau setelah dipikir-pikir, mungkin kami tidak begitu membutuhkannya lagi sekarang. Aku bergegas mandi, merendam tubuhku didalam air panas yang sudah lama tidak aku rasakan, sejak kegilaan ini terjadi, aku mandi dengan air es.
Aku mencuci rambutku dan untuk kali ini aku diam-diam meminjam Hairdryer milik Cam. Mengeringkan rambutku dan menyisirnya rapih, Aku mengubrak-abrik lemariku tapi sejauh mataku memandang... Plaid T-shirt, Plaid T-shirts are everywhere.
Jadi dengan lancangnya aku membuka lemari Marceline dan Cam, meminjam Sweater cream Chloe milik Marceline dan melapisinya dengan Coat coklat Burberry milik Cam.
Tidak lupa aku meminjam Sneakers boat miliknya, dan menyemprotkan sedikit parfum Cam. Aku merasa tidak enak dengan mereka jadi aku mengirim pesan minta izin untuk meminjam dan mereka hanya bilang "okay..."
Aku membuka pintuku, kemudian secara mengejutkan Harry sudah muncul di depan pintu seraya tersenyum. Ia terlihat mengesankan... well memang dia selalu terlihat begitu kan? Dia tampil dengan baju kotak-kotak yang dilapisi Coat hitam. Aku sedikit menyesal kenapa tadi aku tidak pakai baju kotak-kotak agar kami serasi.
" Hai... sudah nunggu lama ya?" tanyaku pada Harry
Harry memasukkan kedua tangannya kedalam Coatnya kemudian ia tersenyum.
"gak kok... baru" ujarnya sambil menoleh pada jam tangannya
Aku hanya tersenyum, memperhatikan pipi Harry yang memerah ketika memandangku dari atas kebawah.
"Kamu cantik deh..." pujinya
Wajahku memerah, Harry mengelus pipiku dan aku jadi semakin salah tingkah.
" uhm... jadi kan?" tanyaku memecah ketegangan
Harry tersenyum "jadi kok..."
"uhm... yaudah..." senyumku
Aku keluar kemudian mengunci pintu asramaku, Harry menggengam tanganku sambil berjalan keluar dengan santai sedangkan yang lain berteriak panik ketika menemukan barang-barang mereka yang rusak maupun hilang.
Di lantai satu, kami melihat Mr.Broke berteriak-teriak, protes kalau mobilnya hilang dan seseorang baru saja memukul kepalanya. Tapi tidak ada yang mempedulikannya karena semua orang terlihat sama bingungnya.
Aku menoleh kearah Harry, tertawa ketika mengingat kalau dialah yang mencuri mobil Mr.Broke, dan akulah yang memukulnya. Hari ini Harry akan mengajakku ke Azzureville untuk menemui ibunya sekaligus memperkenalkanku. Sebenarnya aku belum siap bertemu ibunya, maksudku... kan belum ada satu minggu kami jadian.
Kemarin aku masih sempat mengambil Masserati yang aku curi walau aku berjanji akan mengembalikannya setelah keadaan membaik. Setidaknya tidak ada polisi yang bertugas kan? Dan siapa yang peduli dengan remaja tanpa SIM yang mengendarai Masserati curian?
Aku dan Harry melaju menuju Azzureville, Harry yang mengendarai mobil sedangkan aku duduk disampingnya. Sepanjang perjalanan aku terus bernyanyi dan terkadang dia juga ikut bernyanyi, hanya memberi efek instrumen. Kami berdua tertawa lepas, bercanda, tidak ada pembicaraan mengenai Moluculer, tidak ada Zombie, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Harry membuka atap Masserati dan aku membuka kunciranku merasakan angin dan salju yang membelai rambutku. Berteriak seperti orang aneh, melepas semua kegembiraanku. Aku berdiri mengangkat kedua tanganku seperti adegan Sam di Perks of Being A Wallflower.
Harry tertawa, kemudian aku kembali duduk ketika aku hampir kehilangan keseimbanganku.
" baru naik Masserati ya?" ejek Harry
Aku tertawa " jangan salah... kemarin ini aku yang bawa..."
30 menit kemudian, aku sampai di Azzureville. Nampaknya, Azzureville sudah kembali memancarkan keindahannya. Orang-orang mulai memasuki rumah mereka, walau beberapa ada yang masih terlihat kebingungan. Aku turun dan langsung menuju rumah Harry, seperti yang kami harapkan... ibunya berada disana, tersenyum memandang Harry yang tiba-tiba masuk. Mereka berdua berpelukan dan Harry sempat menangis mengingat beberapa hari yang lalu ia berfikir ia kehilangan ibunya.
Harry memperkenalkan ibunya padaku, wajahnya cantik dan ia terlihat muda walau umurnya hampir berkepala lima. Sore itu kami habiskan untuk minum teh dan berbicara panjang lebar. Tapi Harry tidak mengusik apapun mengenai apa yang terjadi.
Marwolaeth begitu berantakan hingga pemerintah memutuskan untuk memberi libur sebulan penuh untuk memperbaiki semua sarana yang hancur sambil menelan apa yang sebenarnya terjadi. Ekonomi berantakan, saham anjlok, tapi setidaknya Marwolaeth tidak seburuk sebelumnya.
Selama sebulan itu, aku membantu Harry dengan Vaksinnya, membantu menyempurnakannya dan mematenkannya. Pada hari dimana ia harus melakukan presentasi aku membantu mempersiapkannya, semalaman ia tidak bisa tidur dan aku harus menemaninya di kamarnya walau ujung-ujungya aku juga tertidur.
Diluar ruang presentasi, aku menunggu berjam-jam lamanya, hatiku tidak bisa tenang karena jika Harry gagal, aku tahu akan seberapa hancur perasaannya. Tidak lama Harry keluar dari ruang rapat dengan wajah cemberut, dia terlihat begitu terpukul.
Harry duduk disebelahku sambil menghembuskan nafasnya dan aku hanya bisa memandangnya iba.
"mungkin bisa kita coba lagi nanti..." bujukku
Harry memandangku sambil menautkan alisnya
"mencoba apa?" tanyanya
Aku bingung harus merespon apa, dan dengan gugup akhirnya aku harus mengatakannya.
" mereka mungkin menolakmu sekarang tapi..."
"menolak?" tanya Harry kebingungan
Aku kembali menatapnya kebingungan, Harry tersenyum jahil kemudian ia tertawa.
"diterima kok..."
"I-Iya!? Kok... mukanya sedih begitu? " tanyaku terkejut
"di dalam panas banget, AC nya gak nyala..." ujarnya seraya tertawa
Harry berdiri, kemudian ia menarik tanganku, memelukku dan mencium pipiku.
"Thank you... so much..." bisiknya
Aku memeluknya erat, ikut bahagia dengan apa yang ia raih.
" Well... we should celebrate it!!!" ujarnya girang
Aku tertawa kemudian ia mendekapku sambil berjalan menuju Asrama. Malam itu Harry mengajakku makan malam... di Café Alburgue, jangan bayangkan candle light dinner karena Harry bukan tipe cowok yang seperti itu.
Ditengah-tengah makan malam, Harry tiba-tiba mencetuskan ide bagaimana kalau semua makanan ini dibungkus dan kami makan di kamarku. Aku bertanya kenapa dan dia bilang...
"Café punya waktu tutup, tapi kamarmu kan tidak..." ujarnya
Aku tidak tahu apa maksudnya tapi aku sepakat membungkus makanan yang tinggal setengah dan membawanya ke kamarku. Semalaman itu kami makan sambil menggelar tikar diatas lantai kamarku.
Aku duduk dibawah sofa memandang jendela ku yang di lakban oleh Harry ketika ia mencoba membenarkannya, sampai sekarang aku selalu tertawa menatap kaca tersebut.
Dari jendela, terlihat bintang-bintang bertaburan diatas ditemani dengan satu Hamburger ( Punya aku setengah, punya Harry setengah, kalau digabung jadi satu ) dan dua Soft drink.
Selesai makan kami berdua duduk di sofa membicarakan apapun sampai larut malam. Terkadang Harry iseng memainkan rambutku, memelukku atau memotong pembicaraanku dengan ciumannya.
Jam dua pagi... dia baru kembali kekamarnya, dan esok hari kami sama-sama bangun jam 12 siang.
Dua minggu aku lalui bersama Harry, awalnya ini semua terasa menyenangkan, semuanya terasa sempurna... tapi entah kenapa lama-kelamaan aku merasa Harry mulai berubah.
Harry selalu mengirimi aku pesan selamat pagi setiap harinya, awalnya aku senang karena ia begitu perhatian, tapi seiring waktu aku jadi risih juga dengan pesannya. Selain itu, dia juga sering mengirimi aku hadiah, begitu sering hingga aku sampai lupa barang apa saja yang pernah ia berikan.
Pernah sekali dia datang ke kamarku, membawa paper bag berwarna merah jambu, kemudian ia memberikannya padaku. Ketika aku membukanya, ternyata isinya parfum Katy Perry seperti punya Cam. Aku bertanya-tanya kenapa dia memberiku parfum yang sama persis dengan punya Cam. Katanya dia pikir aku menyukai parfum itu karena aku selalu memakainya jadi ia belikan.
Ia juga memberiku album Mylo Xyloto dan album-album Coldplay lainnya, aku tidak enak mengatakan kalau sebenarnya aku sudah punya semuanya, jadi aku hanya menyimpannya. Suatu hari, aku pulang dan tiba-tiba saja diatas kasurku duduk Teddy Bear putih berlogo Manchester United. Di lehernya terlingkar kartu ucapan yang penuh berisi puisi yang tidak aku mengerti dari Harry.
Selain itu, Harry juga seakan menghendaki kalau setiap hari kami harus bertemu, dia sering tiba-tiba datang mengajakku makan ketika aku sedang berkumpul dengan teman-temanku. Di saat seperti itu aku tidak bisa menolak.
Bukan hanya itu, ketika mengantri makanan prasmanan di Café, beberapa cowok menyapaku, dan kami mulai membicarakan tentang bola yang sudah entah apa kabarnya, aku saja tidak yakin stadium mereka masih ada.
Ditengah-tengah perbincangan, Harry berdeham dan menarik tanganku seraya menatap cowok-cowok itu sinis.
"uhm... Karl... kau sekarang sama Harry? Sejak kapan?"
Harry terus menarik tanganku untuk pergi, dan aku jadi semakin tidak enak dengan teman-teman cowokku.
"uhm... iya, sudah cukup lama, aku pergi dulu ya..." ujarku sambil meninggalkan mereka yang kebingungan
Aku dan Harry duduk dimeja Café, aku membuka bungkus makan siangku sambil mengintip Harry yang terlihat tidak senang dengan apa yang baru aku lakukan.
"uhm.. Harr?" ujarku sambil menggenggam tangannya
"iya???" tanyanya sambil terus mencoba membuka bungkus makan siangnya
" Kamu kenapa sih?" tanyaku
Harry mengangkat kepalanya, menatapku dengan wajah yang tidak menyenangkan sambil menoleh kearah teman-teman cowokku dengan ekor matanya.
" Karl aku minta maaf tapi aku gak suka..." ujarnya
Aku memandangnya kebingungan
"gak suka... kenapa?"
"ya.. kamu kan punya aku..." sergahnya
"ya mereka kan cuman temen Harr... sama aja kayak Lewinsky, Rick, Raymond..."
"mereka kan sudah punya pacar masing-masing, crush masing-masing jadi aku gak usah khawatir..." ujarnya
" Raymond gak punya deh kayaknya..."
"Yaudah! berarti jauhin Vampire itu..." ujarnya sambil merobek paksa bungkus makan siangnya, seketika French fries nya mendadak jatuh berhamburan.
Harry mendengus kesal, aku hanya bisa menatapnya sambil membantunya memunguti French Fries nya. Aku dan Harry makan dengan keheningan, suasana menjadi sedikit menegang, aku menolehkan pandanganku pada Cleaning Service yang masih sibuk membersihkan langit dan lantai-lantai yang masih menyisakkan bercak-bercak hitam.
Setelah makan, Harry mengantarku menuju asrama, kemudian ia mulai berbicara seakan aku baik-baik saja. Aku tidak banyak merespon, terkadang hanya aku balas dengan "oh... iya?" "uhm...begitu ya..."
Dan aku rasa Harry mulai menyadari hal tersebut tapi dia berusaha untuk bersabar menghadapiku yang cukup keras kepala. Kami berhenti di depan gedung asrama, dia mengatakan tidak bisa mengantarku sampai ke kamar karena dia punya urusan dengan teman-temannya, jadi dia hanya bisa mengantarku sampai sini.
"uhm... yaudah deh..." ujarku setengah hati
" Ehm... iya maaf ya, gak bisa sampai dalam, tapi malam ini jadi kan?" tanyanya
Aku mengerutkan keningku tidak mengerti
"Malam ini? Memang malam ini ada apa?" tanyaku kebingungan
Harry menatapku dengan wajah kecewa, aku jadi semakin merasa bersalah
"sebenarnya gak ada apa-apa sih, tapi... kita kan bisa... ya... ngapain kek...?"
Aku menautkan alisku terkejut, selama beberapa minggu ini aku selalu menghabiskan pagi, siang, sore maupun malam dengan Harry dan terkadang aku berfikir aku kekurangan tidur.
" Iya uhm... see you tonight..." ujarnya
Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum palsu, kemudian Harry mencondongkan wajahnya seperti ia akan menciumku, tapi aku mendorong hidungnya menjauh.
" Har... kayaknya kita sudah sepakat masalah... gak ada ciuman di tempat umum..." ujarku sambil memperhatikan keadaan sekitar yang mulai memandangi aku dan Harry
Harry menarik kembali wajahnya, kembali memasang ekspresi kekecewaan.
" iya uhm... okay..."
"okay..."
Harry menarikku dan mencium pipiku, kemudian ia berbalik pergi meninggalkanku.
Aku menghembuskan nafas lega karena ia sudah pergi, aku berbalik dan memandang mata beberapa orang yang tertawa memandangku. Aku merasa tidak nyaman jadi aku memutuskan untuk kembali masuk ke kamar.
Aku melempar tas ku keatas tempat tidur, melompat menghempaskan tubuhku diatas kasur yang rasanya sudah sangat lama tidak aku tempati. Beberapa malam terakhir aku habiskan bersama Harry, berbicara ngalar-ngidur sampai larut malam, dan terkadang kami ketiduran diatas sofa.
Pernah suatu malam, tiba-tiba telefon berdering, ketika aku mengangkatnya Harry tiba-tiba mengatakan kalau dia sudah ada di depan pintu kamarku, dengan mataku yang sudah berat terkadang aku terpaksa membukakannya.
Aku mencoba mengatakan padanya kalau aku mengantuk dan aku butuh tidur, perlahan mencoba mengusirnya. Tapi sepertinya, Harry salah mengartikannya, ia malah menarik kursi di samping tempat tidurku, kemudian ia menyuruhku naik keatas kasur. Harry menarik selimut kemudian ia mulai membahas Biologi dari yang sederhana sampai yang tidak aku mengerti.
Aku tidak tahu apa maksudnya, mungkin dia mencoba membuatku tertidur dengan 'Bedtime Story' nya, iya aku akui itu membantu walau sebenarnya aku juga bisa tidur tanpa itu. Tapi terkadang Harry bertanya "kau mengerti kan?" dan itu terkadang membangunkanku kembali hanya untuk menjawab menjawab "iya kok"
Pernah sesekali aku begitu bodoh dan menjawab " aku belum mengerti..." dan ia kembali menjelaskannya sampai aku benar-benar tertidur. Dan ketika aku bangun, aku sudah menemukan kepalanya yang tertidur didekatku, dan paginya dia protes masalah tulang belakangnya yang terasa sakit karena dia tertidur diatas kursi.
Aku menghabiskan siang itu untuk tidur, dan malamnya ketika aku sedang asyik nonton TV sambil ngemil, aku mendengar Harry mengetuk pintu kamarku.
"UGHKKK...." Desahku sambil berdiri untuk membuka pintu
Aku memasang senyum palsu ketika Harry muncul dari balik pintu sambil membawa beberapa DVD dan makanan ditangannya.
" Wow... you're really... nice..." ujarku
" iya aku bawa setelah aku pikir kalau kau mungkin bosan jadi aku bawakan DVD dan Pancake hangat..." sindirnya seraya masuk
" heeh... heeh..."
Harry memberikan DVD ditangannya seraya mencium pipiku, aku melihatnya... drama korea... heeh... interesting... dia tidak sedang berfikir untuk menghabiskan tissue untuk menangis kan?
Harry berdiri di dekat sofa di depan TV sambil meletakkan Pancake nya kemudian ia tersenyum kearahku yang masih berdiri di ambang pintu.
" uhm... mau nonton yang mana?" tanyanya sambil duduk diatas sofa
Aku menghela nafasku sambil memandangi beberapa DVD ditanganku, awalnya aku berfikir kalau seandainya ini film action mungkin aku mau nonton. Aku mendengus, menarik nafas dalam, seraya berjalan dan tersenyum kearah Harry sambil menyodorkan DVD ke tangannya.
"sebenarnya... aku sedang tidak merasa... ingin menonton DVD sekarang..."
Harry memandangku kebingungan kemudian ia menoleh pada Pancake nya
"iya... kalau begitu kita bisa makan kan?" ujarnya sambil tersenyum
Aku menatapnya dengan tatapan serius, perlahan senyumnya memudar dan itu membuatku merasa sedikit buruk.
" aku tidak lapar sekarang... maaf..." ujarku dengan suara merendah sambil menatap matanya
" jadi???" tanyanya kebingungan sambil mencoba mempertahankan senyumnya
Aku memasang raut lelah di wajahku, bingung bagaimana cara memberitahunya, tapi aku berfikir kalau aku harus mengatakan padanya.
" Aku minta maaf Harr... tapi aku sedang tidak ingin kau tahu... aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa malam ini..." ujarku seraya menatap matanya
Harry menatapku dan mengangguk pelan, aku rasa dia mengerti
" kau sakit?" ujarnya sambil mengadahkan tangannya pada dahiku
" no..." geramku mencoba menahan amarah seraya menurunkan tangannya
"so...?"
Aku menarik nafas, kembali memandang matanya yang masih terlihat kebingungan
" Kau tahu Harr... aku tidak tahu bagaimana untuk mengatakannya tapi... entahlah kau tahu..."
Harry memandangku dengan tatapan memelas, seketika aku tidak bisa berkata-kata, aku merasa kasihan padanya tapi aku bertekad untuk mengatakannya.
" Aku tidak tahu harus mengatakan apa, kau begitu baik maksudku, kau menelfonku setiap harinya mengatakan kalau kau mencintaiku dan merindukanku walau faktanya kita bertemu setiap hari mungkin 24 jam lamanya..."
Harry mengangguk pelan
"aku menghargai pesan selamat pagi mu, semua hadiah yang sering kau kirimkan, aku menghargai parfum Katy Perry yang kau berikan padaku hanya karena aku sering meminjam parfum tersebut dari Cam, aku hargai Mylo Xyloto darimu walau aku sudah memilikinya, Teddy Bear Manchester United dan semua hadiah yang aku saja tidak ingat apalagi. Aku senang kau mau menyisihkan waktumu berjam-jam bersamaku, mengajakku makan di Café atau menghabiskan hampir setiap malam bersamaku, 'Biology before asleep' mu yang berhasil membuatku mengantuk berat , aku menghargai semuanya!!!"
Harry terus mengangguk sambil memandangku, kemudian aku menyadari matanya dan mataku sama-sama berkaca-kaca, aku rasa aku terlalu bersemangat. Harry tersenyum walau aku yakin dia tersakiti dengan ucapanku, tapi aku belum selesai.
" Aku menghargai semuanya Har... tapi aku minta maaf, aku juga punya privacy dan aku butuh tidur karena beberapa malam terakhir aku tidak bisa tidur karena aku menghabiskannya bersamamu. Dan jangan habiskan uangmu untukku... simpan saja..." ujarku dengan suara melemah
Harry memandangku dengan mata berkaca-kaca, tapi dia tidak menangis. Ketika aku memandang wajahnya, entah kenapa perasaan bersalah itu muncul, ada sesuatu yang mengganjal dihatiku dan penyesalan.
Kemudian mungkin aku berfikir untuk... sedikit memperbaiki keadaan. Dan dengan bodohnya aku memutuskan untuk menuruti keinginannya untuk malam ini saja.
" Ehm... tadi kau bawa Full House ya... uhm... nonton yang ini aja gimana?" tanyaku sambil mengambil DVD full house ditangannya
Harry tidak meresponku, dia terus memandang lantai, aku jadi semakin merasa bersalah.
"Harr...?" tanyaku sambil menatapnya
Harry tidak memandangku balik, dadaku sesak tapi aku mencoba untuk tidak menangis. Aku menarik tubuhku, naik keatas pangkuannya, mendekatkan hidungku pada hidungnya, memandang matanya walau ia tidak ingin memandangku, dan perlahan aku menciumnya, tapi baru satu kecupan Harry perlahan mendorongku.
" Aku minta maaf Karl... tapi... tidak malam ini..." ujarnya seraya menurunkanku dari pangkuannya dan beranjak dari sofa.
Aku berdiri, menarik tangannya yang hendak keluar dari kamarku.
"Aku...aku minta maaf, aku hanya ingin mengatakan kalau memang itu apa adanya..." ujarku dengan mata berkaca-kaca
Harry menutup pintu kamarku, kemudian ia menatapku lurus masih dengan senyumnya tapi wajahnya terlihat badmood.
" Kau tahu Karl... kapan terakhir kali kau mengatakan kau mencintaiku?" tanyanya
Aku terkejut mendengar pertanyaannya, kemudian aku mulai berfikir, dan aku mulai menyadari kesalahanku selama ini.
"TIDAK PERNAH KARL!!! Kau tidak pernah mengatakannya bahkan sekali pun... kau tidak pernah mengirimi aku pesan yang mengatakan 'Harry... aku mencintaimu...' atau kata yang terucap langsung... tidak pernah!!"
Air mata mulai mengaliri pipiku, aku tidak berani memandang wajah Harry yang untuk pertamakalinya dia terlihat marah padaku.
" Sedangkan aku? Aku mengatakan itu setiap harinya... setiap pagi, setiap aku bertemu denganmu, aku melakukan semuanya untuk membuatmu melihat kalau aku memang benar-benar merasakannya, dan aku akui aku memang sedikit iri jika kau bicara dengan cowok lain..."
Harry menarik tanganku, dan aku memberanikan diri memandangnya
" selama ini... aku mempertanyakan apakah kau merasakannya juga... tapi aku rasa... aku salah..." ujarnya
Harry melepas tanganku dan ia berjalan keluar dari pintuku
" Aku mencintaimu..." bisikku dari balik pintu
Tapi dia sudah menutup pintunya dan aku tidak yakin dia mendengarnya. Aku kembali melempar tubuhku keatas tempat tidur, mematikan TV ku dan tidak menyentuh pancake maupun DVD yang dibawa Harry. Aku tidak bisa tidur semalaman, aku terus menangis sambil memandangi fotoku dan Harry yang terpampang diatas meja.
Sesekali aku mengusapinya dan mengulang semua yang terjadi, dan tanpa aku sadari aku tertidur.
Keesokan harinya aku bangun tanpa menemukan satu pesan pun dari Harry, dan entah kenapa pagi itu terasa hambar, aku mandi, kemudian keluar dan tidak melakukan apapun selain jalan-jalan di taman Alburgue, sesekali aku melihat Harry yang berjalan sendiri sambil menendangi salju dibawah kakinya.
Sialnya, kami berpapasan saat hendak membeli Crepes, aku masih ingat waktu Harry menawakan aku Crepes Cranberry... disinal tempatnya. Aku tidak memandang wajahnya dan hanya mengucapkan "hai" begitu juga dengannya.
Aku berusaha menjaga jarak dengannya, dan mencoba membuat diriku terlihat baik-baik saja. Beberapa temanku melewatiku dan bertanya-tanya dimana Harry, tapi aku hanya bilang dia sibuk walau faktanya, mereka melihatnya duduk sendirian di kursi taman.
Pada jam makan siang, aku masuk kedalam Café, mengantri untuk makanan, selagi menunggu aku menoleh dan melihat Harry duduk sendiri sambil mengunyah buburnya. Aku terus memandangnya hingga ia menoleh kearahku, aku tersenyum tapi ia membuang wajahnya, kembali makan.
Aku menelan ludahku, menelan batu dalam hatiku. Makan siangku siap dan aku membawanya keluar, memutuskan akan aku habiskan sendirian di taman.
Tapi ketika aku duduk di kursi taman, tempat dimana Harry dan aku biasa duduk, aku tidak menyentuh makan siangku sama sekali. Pikiranku berkecamuk karena aku merasa kesepian, Marceline dan Cam baru akan pulang minggu depan, dan selama itulah mungkin aku akan...sendirian.
Aku berdiri sambil membawa makan siangku yang masih rapih terbungkus, aku memutuskan kalau aku harus menemui Harry, mengatakan padanya kalau aku benar mencintainya.
Aku berjalan tergesa-gesa menuju kamarnya, mengetuk pintunya tapi bukan Harry yang membukanya.
"uhm... iya???" tanya temannya yang tidak aku kenal
" Uhm...aku cari Harry..." ujarku
Temannya memandangku sambil mengunyah kentang gorengnya, memandangku dari atas kebawah kemudian ia tersenyum sambil mengedipkan matanya. Aku bergidik jijik
" Hai Har!!!" teriaknya
"Iya????" ujar suara yang muncul dari dalam
" Ada cewek Cina tinggi nyariin...!"
"Bilang aku gak ada!"
Aku terkejut mendengar respon Harry, pertama itu terdengar awkward dan kedua... aku jadi semakin sedih karena sepertinya dia tidak ingin bertemu denganku.
" dia bilang dia tidak ada..." ujar temannya
Aku hanya tersenyum jengkel
"you looks pretty..." godanya
Aku memalingkan wajahku dan mendorong cowok itu menghindar, aku menerobos masuk dan terkejut menemukan Harry yang baru keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk.
"KARL!???" teriaknya
Wajahku memerah, kemudian aku berlari keluar, selagi temannya menutup pintunya.
Aku menghembuskan nafas di depan pintu kamarnya, mungkin inilah kenapa aku tidak pernah ingin masuk kamar cowok. Teman Harry membuka sedikit pintunya, ia memanggilku.
"kata Harry tunggu se..."
"aku sudah selesai..." ujar Harry yang langsung mendorong temannya masuk, ia keluar dan berdiri di depanku.
" Hai..." ujarku dengan wajah merah
" Hai..." jawab Harry dingin dengan ekspresi wajah datar
Kami berdua diam sesaat, kemudian aku memberanikan diri berbicara.
"Harr...aku minta maaf..." ujarku pelan
Harry memalingkan wajahnya sambil menghembuskan nafasnya, ia tersenyum menatap lantai kemudian ia kembali memandangku.
" Aku minta maaf Karl... tapi..." Harry menggeleng, aku mengerti maksudnya
" Aku tahu aku salah, tapi aku hanya ingin kau tahu kalau..." tanyaku
BRUKKK
Harry membanting pintunya sebelum aku selelsai berbicara, meninggalkanku yang masih sesak nafas diluar. Aku berlari keluar dari asrama laki-laki, berlari sambil menangis kedalam kamarku. Aku membanting pintu kamarku, dan menangis sepuasnya sepanjang malam.
Aku memandangi foto-fotoku dan Harry, mengingat semua yang telah aku dan dia lalui, sebelum Zombie, ketika Zombie datang, aku masih ingat setiap perkataannya padaku saat itu, saat dia mengajakku ke api unggun, ciuman pertama kami, aku ingat ketika dia mencoba melindungiku.
Aku menghabiskan beberapa hari kedepan, hanya menangis, memandangi sisa-sisa kenanganku dengan Harry. Lalu aku memutuskan, aku akan membuang semua ini.
Aku menyempatkan diri menemui Raymond yang ternyata sekarang dia memutuskan untuk keluar dari guanya. Keluarga Vampire itu ternyata kaya karena mereka menyimpan banyak emas, mereka membeli rumah di Real Estate dan Meggie merangkap menjadi pengusaha di bidang Fashion.
Seharian itu, aku berbincang dengan Raymond, menumpahkan kekecewaanku, kesedihanku, dan rasa kesepianku tanpa Harry. Dan entah kenapa Raymond sedikit enggan dan dia terlihat bosan dengan topic yang aku bicarakan.
" Kau tahu Karl... mungkin kau harus cari cowok lain..." ujarnya seraya memandangi langit dari balkon kamarnya
" siapa?" tanyaku bingung
" saranku jangan lihat terlalu jauh..." ujarnya sambil berbalik menatapku
"maksudmu?"
Raymond memandang mataku, ada sesuatu di baliknya tapi aku tidak berani menebak apa artinya.
Raymond berdeham, ia menggenggam kedua tanganku, dan seketika aku gemeteran.
" Kalau kau terlalu... fokus dengan apa yang dibelakangmu, kau tidak akan bisa melihat apa yang berdiri di depanmu..." bisiknya
Aku menatap Raymond tidak percaya, mungkinkah dia mencoba mengatakan kalau ia mencintaiku? Raymond menatap lurus mataku, ia menarikku dan menciumku, aku tidak bisa menolak ciumannya walau rasanya aku ingin menangis. Taring-taringnya menyentuh lidahku, kemudian aku mendorongnya ketika bibirku mulai berdarah.
Aku menangis, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, kemudian ia menyapu air mataku.
"aku minta maaf Ray... tapi aku masih..."
"mencintai Harry?" tanyanya
Aku mengangguk pelan, ia memelukku dengan jubahnya, tubuhnya begitu wangi. Baunya seperti parfum maskulin, kemudian ia berbisik.
"tidak apa Karl... aku menunggumu, bahkan jika harus seabad lagi..."
" kalau kau terus fokus dengan apa dibelakangmu, kau tidak akan pernah bisa melihat apa yang ada di depanmu..." bisikku
Sore itu, aku pulang dengan hati yang lebih hancur. Sudah cukup aku menyakiti Harry dan sekarang aku baru saja mematahkan hati Raymond.
Pulangnya, aku langsung mengambil kardus dan memasukkan semua pemberian Harry kedalam kardus, melempar foto-fotoku dengannya kelantai. Aku melempar telefon genggamku, memandang kacaku yang pecah dan kembali mengingat saat ketika aku dan Harry tertawa melakbani kaca tersebut.
Aku kembali merebahkan tubuhku diatas kasur, mendadak aku merindukan semuanya. Aku merindukan pelukannya, ciumannya, suaranya, pesan paginya, telefonnya. Aku merindukan malam-malam yang biasa aku habisi dengannya. Bagaimana dia memainkan rambutku, dengan sopannya memotong pembicaraanku dengan ciumannya.
Faktanya, aku merindukannya, aku memainkan ulang lagu yang biasa aku nyanyikan dengannya... lagu yang dulu kami sebut...Our Song... and now its gone...
Aku tidak bisa meminta diriku berhenti menangis, ternyata putus rasanya menyakitkan. Aku merebahkan kepalaku diatas bantal, kemudian seseorang mengetuk pintuku.
Aku membuka pintu kamarku, dan kembali menemukan Harry yang tersenyum di balik pintu, dia mengenakan pakaian yang sama persis ketika aku dan dia bertemu untuk membahas proyek kami.
Aku tidak bisa berkata-kata ketika melihat wajahnya, air mataku mengalir begitu saja sedangkan ia hanya tersenyum disana seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Hai..." sapanya ramah
"Hai..." sapaku datar
"boleh masuk?" tanyanya
Aku mengangguk pelan sambil mengusap air mataku "boleh kok..."
Harry masuk, aku berjalan sambil menendangi frame fotoku dengannya dilantai
" Kok tumben berantakan..." ujarnya sambil mengambil foto aku dan dia yang baru aku tendang
"iya... mau buangin sampah..." sindirku
Harry memandangku dengan wajah cemberut seraya meletakkan frame tersebut kembali keatas mejaku. Harry menatapku, kemudian ia berjalan mendekatiku, mengusap air mataku tapi aku menepis tangannya.
"kok nangis?" tanyanya
"gak ada yang nangis..."
" itu nangis..." ejeknya
"gak..."
"iya..." ujarnya sambil tertawa
Harry terus mencoba mengusapi pipiku tapi aku terus menepis tangannya, hingga aku lelah dan membiarkannya melakukannya. Aku membuang wajahku dari Harry, tapi aku tahu matanya masih memandangku.
Ia menyentuh kedua pipiku mendekatkan hidungnya ke hidungku seperti yang biasa ia lakukan. Air mataku perlahan turun, aku menggenggam tangannya yang ia letakkan diatas pipiku.
" Aku minta maaf... aku kesepian tanpamu...aku gak pernah berfikir bisa ... selesai secepat ini..." bisikku sambil terisak
" selesai? Maksudnya?"
Aku membuka mataku dan memandangnya
" iya... putus kan?" tanyaku
Harry memandangku kebingungan "putus? Sejak kapan?" tanyanya
Aku kembali menatap Harry, ikut bingung
"pas kamu bilang di depan pintu..."ujarku
Harry mengerutkan keningnya kemudian tertawa
" ya ampun...aku gak pernah bilang putus kan?" ujarnya
Aku hanya memandangnya yang tersenyum kearahku, aku tertawa kecil tidak mempercayai apa yang ia katakan.
"Aku cuman... kasih ruang, katanya...butuh privacy..." sindirnya
Aku menggeleng pelan, sambil melingkari lehernya mendekatkan mataku padanya, memandang mata coklatnya yang aku rindukan.
" aku gak butuh lagi... aku kangen kamu..." bisikku
Aku mendekati Harry dan menciumnya sampai aku merasa aku tidak ingin melepasnya, aku menggenggamnya erat dan tanpa aku sadari, aku jatuh keatas sofa.
" Aku hanya ingin kau tahu kalau selama ini aku mencintaimu..." bisikku

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Marwolaeth CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang