Eleven

1.1K 173 1
                                    

Kamu mengoyak isi tasmu. Lalu memberikan sekotak tisu untuk Chanyeol. Pria itu menyahutnya tanpa memandang ke arahmu. Kamu hanya bisa menahan senyum karena Chanyeol sepertinya malu sudah sekitar setengah jam ia menangis.

Kamu jadi paham, bahwa; sekuat apapun manusia, dia mempunyai sisi terlemahnya.

Wajah Chanyeol sudah memerah karena tangisan. Hidungnya bernasib sama dengan ingus yang sejak tadi ingin keluar. Ia menarik lembaran tisu dan membersihkan wajahnya. Matanya memandang kosong ke depan. Langit sudah menjadi gelap. Pohon-pohon yang berada di samping sungai meliuk-liuk tertepa angin. Begitupun juga dengan rambutnya.

Chanyeol memandang ke bawah, tangannya yang menggenggam tisu ia buka untuk menjatuhkannya ke arah sungai. Bibirnya mulai terbuka lagi. "Maaf," ucapnya.

Kamu menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. "Wae?" tanyamu.

"Seragammu basah karenaku."

"Tidak apa-apa," jawabmu.

Hening lagi. Chanyeol terdiam. Sementara kamu memikirkan pembicaraan apa yang dapat mengalihkan pikiran Chanyeol. Kamu sangat paham sekali saat ini Chanyeol pasti mengingat mendiang kakaknya. Kamu menatap wajah Chanyeol dari samping. Pria itu sangat tampan. Sungguh. Tapi perilakunya sangat menutupi hal itu. Meskipun Chanyeol mempunyai masa lalu yang benar-benar buruk, tapi tidak menutupi fakta bahwa dia tetaplah seorang pembunuh. Kamu juga heran kenapa Chanyeol harus menangis di hadapanmu. Pria ini, pasti sudah memendam rasa sesak terlalu lama. Dia mempunyai sebuah dendam yang teramat sangat.

"Jangan menatapku seperti itu!" Chanyeol berucap tanpa menoleh, membuatmu langsung salah tingkah dan menatap ke depan.

Kamu melirik ke arah Chanyeol sekilas, dia tidak merubah posisinya. Chanyeol juga sesekali melirikmu. Keadaan itu sungguh lucu sekali. Duduk di samping seorang pembunuh yang sudah mengancammu berkali-kali. Tapi dia juga yang menunjukkan sisi terlemahnya. Menangis di hadapanmu dan merasa malu sendiri pada akhirnya. Kamu jadi tertarik untuk membuatnya sedikit lebih membuka dirinya.

Suara penjual es krim tiba-tiba muncul dari ujung jalan sebelah kirimu. Kamu menerbitkan senyummu seraya berdiri setelah mendapatkan sebuah ide. Chanyeol yang melihat pergerakanmu menoleh penuh tanya. Ia melihatmu yang sedang berlari menjauh dari tempat. Matanya tidak lepas dari punggungmu yang perlahan mulai berhenti saat sudah berada di dekat pedagang es krim yang menggunakan motor matic-nya.

"Ahjussi, berikan aku dua es krim," pintamu sambil menunjukkan dua jarimu. Chanyeol yang melihat itu mulai mengerti. Ia kembali memandang ke depan dengan senyuman yang perlahan mulai tertarik. Hatinya terasa hangat. Entah kenapa. Seperti baru menyadari bahwa ada orang yang masih peduli padanya.

Setelah membayar pada penjualnya, kamu segera mengambil dua cup es krim dengan rasa berbeda. Kamu berjalan kembali ke tempat semula. Chanyeol masih merenung. Segera kamu duduk di sampingnya, sambil menyodorkannya satu cup es krim rasa vanilla.

"Aku tahu kau tidak suka cokelat, jadi aku membelikan itu. Apa kau suka vanilla?" tanyamu, sambil mengambil satu sendok es krim rasa cokelatmu.

Chanyeol memandang es krimnya yang sudah berada dalam genggamannya. "Aku menyukai apapun kecuali cokelat," katanya.

Kamu mengangguk. "Aku menyukai apapun yang tidak kau suka," ucapmu.

"Mwo?" Chanyeol memasukkan satu sendok es krim ke dalam mulutnya.

"Ya, aku menyukai cokelat, tapi kau tidak. Aku menyukai bersosialisasi dengan orang lain, tapi kau tidak. Aku suka tersenyum, tapi kau tidak. Aku suka tertawa, tapi kau tidak," jelasmu, diakhiri dengan tawa cekikikan.

Melihat itu, Chanyeol memalingkan wajahnya menyembunyikan senyumannya. Ia menendang kakimu yang menggantung di sampingnya, mengisyaratkan untuk jangan menggodanya. Kamu berusaha untuk berhenti tertawa dan fokus memakan es krimmu. Sesekali kamu melirik wajah Chanyeol yang terlihat memerah.

"Kau lucu," ucapmu masih dengan senyuman menahan tawa.

Chanyeol menoleh padamu dengan wajah dibuat seseram mungkin, tapi melihat wajahnya yang merona merah itu sangat menghancurkan sisi buruknya.

"Aku akan mencemburkanmu ke dalam sana jika terus menertawakanku!" katanya sambil menunjuk sungai.

Kamu tertawa sambil menggigit sendok es krim, berusaha untuk menghentikannya. Kamu melepas sendoknya. Lalu berkata, "Setelah melihatmu menangis, aku jadi tidak takut mendengar ancamanmu. Maaf."

"Sialan," umpatnya. Dia menundukkan kepala dengan senyum kecil yang terlihat sangat manis dari samping.

"Kau tampan jika tersenyum seperti itu," katamu jujur.

Chanyeol menoleh padamu dengan tatapan terkejut. "Terima kasih," ucapnya malu-malu. "Aku tahu wajahku memang tampan," lanjutnya.

Kamu terkejut mendengar ucapannya. Tidak disangka, pembunuh juga bisa percaya diri.

"Aku tidak menyangka atas jawabanmu itu," ujarmu sambil tertawa.

"Ngomong-ngomong terima kasih juga atas traktirannya," katanya.

Kamu mengibas tangan. "Itu bukan apa-apa," katamu. Kamu menggoyangkan kakimu sambil kembali memakan es krim. "Ngomong-ngomong..." ucapmu sambil memandang ke arah langit yang hitam kebiru-biruan. "Aku sangat menyukai permainan basketmu," lanjutmu lalu menoleh ke arahnya.

"Terima kasih," jawabnya singkat. "Ku kira kau lebih suka dengan Jongdae," lanjutnya.

Kamu terkekeh, "Siapa juga perempuan yang tidak menyukainya? Hanya saja, kupikir kau lebih menarik."

Wajah Chanyeol bersemu merah. Ia menggigit sendoknya dengan gemas tanpa mau menoleh ke arahmu. Kamu sendiri juga merasa tersentil oleh perilakunya yang saat ini sungguh menggemaskan.

"Uhm," gumammu seraya berpikir apakah pantas untuk mengatakan selanjutnya. Tapi bibirnya tergoda untuk mengatakannya. "Kenapa kau tiba-tiba baik padaku?" tanyamu akhirnya.

Chanyeol menoleh ke arahmu sekilas. Bahunya terangkat sedetik, "Aku tidak tahu."

Kamu mengangguk kepala paham. "Apa sekarang kita berteman?" tanyamu.

Chanyeol menoleh. Pandangan matanya terlihat sedang berpikir. Tapi akhirnya ia mencoba untuk berdiri tanpa mau menjawabnya lebih dulu. Kamu mendongakkan kepala dengan mata penuh tanda tanya, berharap ia menjawabmu terlebih dahulu.

"Dimana rumahmu?" tanyanya dengan wajah datar.

Perlahan, bibirmu tertarik. Kamu segera berdiri sambil menepuk pantat menghilangkan debu yang menempel. Kamu tersenyum ke arahnya.

"Ayo!" Kamu menarik tangannya dengan lembut menuju mobilnya.

***

"Disini rumahku," ucapmu sambil menunjuk sebuah rumah bertingkat setelah mobil Chanyeol berhenti.

Chanyeol hanya menatap sekilas rumah bertingkat milik keluargamu.

"Kau tidak mau mampir ke rumahku?"

"Tidak."

"Wae? Kita sekarang berteman," ucapmu.

Chanyeol melirikmu sekilas. Lihat, sikapnya memang selalu berubah-ubah. Kadang manis, tapi kadang juga bisa bersikap sadis.

"Siapa yang mau berteman denganmu?!" ujarnya.

"Mwo? Bukannya kau mengantarkanku ke rumah karena kita resmi berteman?" tanyamu.

"Ani. Aku hanya kasihan jika kau pulang sendiri."

Kamu tertawa mendengarnya, "Bukannya kau dulu melemparku di jalanan setelah membuat luka padaku?". Kamu menunjukkan bekas luka sayatan di tanganmu. Chanyeol hanya meliriknya sekilas. "Oke, jika memang kita tidak berteman," ucapmu sambil mengangguk. Lalu bersiap untuk membereskan barang-barangmu. "Aku masih tetap menjadi penjaga rahasia besarmu dan tidak boleh dibongkar sedikitpun."

"Ne."

Sebelum kamu keluar dari mobil, kamu menyempatkan untuk berkata. "Chanyeol-ssi, aku turut berduka dengan kejadian yang menimpah kakakmu. Uhm, tapi apa yang kau lakukan tetaplah sebuah kesalahan. Jika aku boleh meminta, tolong berhentilah." Chanyeol hanya diam saja. Kamu segera keluar dari mobil. Tapi tangan Chanyeol menahanmu. Tangannya menaruh sebuah ponselmu di telapak tanganmu. Kamu melenguh karena lupa mengambil ponselmu. "Terima kasih," ucapmu, sebelum akhirnya benar-benar keluar dari mobilnya.

"Aku bukan orang yang baik untuk bisa berteman denganmu," lirih Chanyeol di dalam keheningan mobilnya.

SightlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang