ANGGA POV
Sayang sekali rencanaku itu. Sudah dibuat capek-capek malah gagal total. Padahal aku juga ingin seperti Rani dan pacarnya yang romantis romantis gitu, eh tapi malah gak berhasil. Emang nasib deh.
Tapi ngomongin soal Rani, dia sedang apa ya saat ini? Apa dia sedang bersama pacarnya? Hmm.. penasaran.
Ah entahlah. Lagipula kenapa aku harus memikirkan dia? Ah! Sial. Enyahkanlah jauh-jauh soal Rani dari otakmu Angga! Yakali lu naksir dia. Kali aja sih. Ah! Sudahlah. Tapi.. dia sedang apa ya saat ini? Apa ku chat dia saja untuk memastikan.
Akhirnya tanganku bergerak mengambil ponsel dan mulai mengetik. Tapi eh-- aku tidak yakin. Berkali-kali aku menghapus kalimatnya dan mengganti dengan kalimat yang tepat. Tetap saja aku masih bingung ingin menuliskan apa. Hah! Membingungkan.
Tunggu! Soal rencana yang sempat gagal itu.. Kenapa tidak mengajak Rani saja? Daripada sia-sia dan jadi tak berfaedah sama sekali. Ah... ide yang bagus!
Aku pun bergegas mengambil kunci mobil dan pergi menuju rumah Rani, yang alamat rumahnya sempat kucuri diam-diam dari Iqbal melalui Randy waktu itu. Untungnya aku pintar.
●●●
Sesampainya aku langsung menuju pintu dan memencet bel. Sekarang yang kulakukan hanya menunggu sang empunya rumah membukakan pintu. Aku berharap semoga saja Rani sedang ada di rumah saat ini.
Beberapa saat kemudian pintu pun terbuka. Oh beruntungnya ternyata harapanku terkabul.
Rani membukakan pintu untukku, segera aku menyunggingkan senyumanku semanis-manisnya. Kulihat dia yang memakai tanktop putih itu sedikit tercengang begitu melihatku. Hmm wajar saja sih. Toh akunya yang tiada hujan tiada badai tanpa memberi tahu tiba-tiba saja datang ke rumahnya. Jelas saja itu membuatnya sedikit kaget.
Kulambaikan tangan agar dia sadar dari lamunan absurdnya itu.
"Hey? Gak di kasih masuk nih?" Tanyaku membuatnya sadar ia pun mengerjap.
"Eh- iya. Eemm.." bukannya menyuruh masuk dia malah gelagapan, peduli setan aku pun berjalan melaluinya dan masuk ke dalam rumahnya, dengan polosnya.
Biarkan sajalah Rani berekspetasi dengan imajinasinya dahulu, jadi tak apa lah jika aku langsung masuk. Toh tidak baik juga kan bila tamu dibiarkan melongo seperti orang bodoh di depan rumah?
Aku pun berjalan mendahuluinya sambil berceletuk. "Tutup noh mulut lo entar masuk tawon kan ngerepotin jadinya" ucapku tanpa memandanginya. Dia masih dibelakangku.
"Ih! Dasar!" Umpatnya aku pun tersenyum simpul mendengarnya.
"Sendirian lo?" Kali ini aku berbalik menghadapnya yang tadinya di belakang punggungku, dia hanya mengangguk acuh sambil berjalan mendekatiku.
"Iya. Adik gue lagi ke rumah temennya."
Aku tengah mengedarkan pandangan ke sekeliling rumahnya yang rapi dan sederhana itu. "Loh, pacar lo? Gak nemenin?"
Dia menggeleng. "Enggak."
Akupun mangut-mangut paham dan dalam hati aku senang, baguslah.
"Tau dari mana rumah gue?" Tanya Rani.
"Tau tau aja"
"Apasi, seriuus..?"
Aku malah mengedikkan bahu sambil membalikkan badan dan berjalan lurus ke depan sementara dia mengekor di belakang.
Aku terus berjalan, sok sok berlagak seperti seorang artistik yang sedang menilai-nilai isi rumahnya. Padahal sih aku tak begitu paham. Aku sendiri juga tak tau mau kemana arah kaki ini melangkah. Kaki ini hanya terus berjalan, biarkanlah dia, berjalan-jalan asalkan jalan-jalan yasudah.
"Eh! Mau kemana?!" Tiba-tiba dia menegurku membuat langkahku terhenti.
Aku gak tau mau kemana.
"Emm.. Dapur! Mau ke dapur!" Celetukku asal. Siapa tau kan dapurnya memang ada disana.
Lalu kemudian Rani tertawa. Tertawa untukku pastinya. "Dapur bukan disana, sayang. Tapi disebelah sana!" Ucapnya meledekku sambil menunjuk ke arah kiriku.
Krik
Krik
Krik
Ya tuhaan!! Angga sudah bikin malu ya tuhaan! Bunuh saja aku Rani bunuh... emang dasar malu-maluin. Refleks pipiku pun merona dan terkekeh pelan.
"He he. Maklum lah. Gue kan cuma tau alamat rumah lo doang, bukan isi-isi rumah lo. Jadi gak salah kan gue?" Dengan menggaruk tengkuk karena salah tingkah aku masih sempatnya mencari alibi. Memalukan.
Tapi kulihat ia tersenyum menahan tawa. Sangat manis. Senyum yang seakan-akan membuatku ingin memutlakkan dirinya menjadi milikku selama-lamanya. Senyum yang benar-benar indah dan membuatku teduh. Ah shit! Bicara apa aku ini? Sialan.
●●●
RANI POV
"Dapur bukan disana, sayang. Tapi disebelah sana!"
Shit! Entah bagaimana caranya kata 'sayang' itu bisa lolos begitu saja dari mulutku. Aku bahkan tidak kepikiran sama sekali, seolah-olah mulutku yang nakal ini memang sengaja ingin berkata 'sayang' pada Angga. Ah! Sial sial sial!!
Aku kemudian mencoba kembali santai, sesantai-santainya agar terlihat tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Kemudian aku mengikuti Angga yang bergerak menuju dapurku dan memperhatikan apa yang dia lakukan di dapur. Membuat kopi.
"Kapan pulang?" Celetukku asal. Emang dasar ini mulut.
"Eh? Baru nginjek dapur semenit, udah main usir-usir aja" jawabnya tanpa menoleh.
"Yakali kan pacar lo itu nanti marah atau.. cemburu? Gitu?" Aku menyandar pada dinding.
Angga malah tertawa. "Kenapa harus cemburu?"
"Yaa karna... karna pacarnya ngapel di rumah cewek lain kali cewek lu cemburu" aku wanti-wanti. Aku tetap harus sadar peranku disini bukanlah siapa-siapa, hanyalah sebatas peran pendukung. Tugasku disini hanyalah menjalankan sebuah skenario, itu saja, tidak lebih.
Namun aku takut melenceng dan mulai menaruh hati padanya.
Ah tidak! Tidak mungkin.
Angga malah tertawa lagi. "Ngapain gue ngapelin rumah orang? Lantai rumah gue aja males gue ngapelin malah lantai rumah orang gue ngapelin. Kan gak ada kerjaan namanya"
"Itu NGEPEL PEAK! NGEPEL bukan NGAPEL!"
Aktor tampan dengan jaket kulit itu masih saja bisa bercanda seperti itu padahal aku sudah mengintrogasinya dengan serius. Ah sudahlah. Terserah padanya saja itu juga tak begitu penting bagiku.
Aku pun kembali memandanginya yang sangat lihai dalam membuat kopi.
"Takut ketinggian?" Celetuknya tiba-tiba.
Aku mengernyit dan melongo. "Hah? Yaa enggaklah!" Sergahku cepat tapi aku tidak yakin. Apa aku takut ketinggian tidak ya?
"Pernah coba Sky Diving belum?"
Aku tidak tau atau lebih tepatnya lupa. Entahlah. Aku juga tidak ingat pernah mencobanya atau tidak sebelumnya. Tapi kurasa sih... tidak.
"Belum."
"Mau nyoba?" Tawarnya. Refleks aku pun tercengang lagi.
"Hm?"
"Gue udah booking. Hampir ketunda sih, tapi kalo lo mau, kan jadi gak sia-sia"
Aku mikir-mikir dulu. Namun kemudian kudengar suaranya berceletuk lagi.
"Ayo kita coba!"
Mataku agaknya membesar sanking kagetnya. Terlalu lebay memang tapi namanya juga refleks. Kembali ku telaah kata-katanya. Kita. Apa itu tandanya aku dan Angga saja? Jadi apakah Angga mengajakku jalan berdua dengannya? Benarkah?
Dan entah kenapa sumpah demi apapun aku rasanya sangat senang sekali dan bahagia sebahagianya. Namun, kurasa aku semakin mendekati zona terlarang sekarang.
●●●
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
If I'm Yours [SELESAI]
عاطفية"Sehebat apapun sandiwaramu, hatimu tetap tak akan bisa berbohong." Copyright©2017-All Rights Reserved