Epilog

419 14 0
                                    

SYIFA POV

Sudah tiga tahun berlalu. Kini aku tengah menikmati akhir masa lajangku di bawah hujan salju. Di benua eropa, lebih tepatnya di Bern, ibukota swiss.

Namun sepertinya ini adalah hari terakhirku di swiss. Karena sebentar lagi, aku akan kembali ke indonesia.

Aku juga sudah merindukannya.

"Heeeyy!!!" Kataku girang.

Aku menghubungi Rani via aplikasi skype kala berada di taksi menuju bandara.

"Heeyy!! Syifa!! I really miss you, honey!" Sahut Rani sama girangnya di balik layar.

Aku bisa melihat betapa berubahnya Rani sekarang. Penampilannya semakin cantik.

"Aku lebih." Kataku sambil senyum. "Jadi gimana? Apa kabar?"

"Baik. Dan aku yakin kamu juga pasti baik."

"Ya. Sekiranya begitulah."

"Kamu lagi dimana?"

"Ini— lagi otw bandara.  Aku mau balik ke Indonesia!" Aku sangat antusias memberi tahunya.

Raut wajahnya juga antusias mendengarnya. Seolah ikut bahagia.

"Eeeet—! Kamu nya kapan Rani??? Udah tiga tahun loh kamu bersemayam di columbia. Masih gak mau balik juga?" Aku mengerucutkan bibir. Cemberut.

Kali aja Rani langsung kepingin pulang gegara aku.

Namun ia malah terkekeh.

"Iya, iya. Lagian aku juga udah nyusun skripsi kok! Tinggal nunggu sidang aja."

"Bagus deh. Kalo bisa cepet ya! Jadi kamu bisa datang ke acara pernikahan aku."

Raut wajah Rani seketika kaget.

"Hah? kamu mau nikah???"

Aku terkekeh geli dan tersenyum manja. Lalu menunjukan jari jemariku ke arah kamera. Untuk memperlihatkan Rani cincin yang terpasang di jari manisku.

"Oh my god! You're serious! Who is he Syif? Siapa dia yang udah berhasil ngedapetin hati kamu?"

Entah kenapa aku senang sekali melihat Rani yang begitu kaget. Dia sangat penasaran sekali.

"Emm.. apa Angga?" Tebaknya asal.

Ingin ku tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha.. Rani, Rani. I know. Aku tau kamu pasti masih belum bisa move on kan?"

"Syifa! Ih nyebelin."

"No. Bukan Angga. Tapi Nichole. Aktor juga."

"Masih belum kapok sama aktor?"

"Apaan sih? Janji aku gak bakalan ngulangin kesalahan yang sama lagi."

Kini giliran Rani yang tertawa.

"Ya. Kita harus bisa belajar memulai lagi, Syif. Kita harus belajar menuai semuanya dari awal, merangkai cerita yang baru. Gak mungkin kan kita terus kejebak masa lalu terus?"

"Iya. Kamu benar. Terus soal Angga, kamu udah lupain dia?"

Rani tertawa simpul. "Ngelupain orang itu perkara yang gampang. Tapi kenangan bersama orang itu. Yang bikin kita susah lupa."

Aku tersenyum. Kadang Rani suka bicara yang bijak. Aku benar-benar ingin dia datang di acara pernikahanku.

Ah ternyata bandara sudah sampai. Tak terasa aku sudah banyak bicara dengan dia. Jadi lupa waktu.

"Ya udah Ran. Aku hubungi lain waktu lagi ya? Udah nyampe bandara. Bye!!!"

***

"Earphone-ku mana ya?"

Aku terus berkutat dengan ransel bawaanku sambil menyusuri lorong. Menuju pesawat keberangkatanku.

"Jatuh." Gumam seseorang.

Aku berhenti bergerak. Dan menoleh ke belakang pundak.

Seseorang yang menunduk dan membungkuk tengah mengambilkan earphone-ku yang ternyata terjatuh di belakangku.

Seseorang itu bangun dan memberikan earphone-ku itu padaku.

"Iqbaal!!" Pekikku antusias.

Aku benar-benar tak menyangka akan keberadaannya.

"Kamu disini juga! Sungguh aku gak nyangka!"

Iqbal terkekeh.

"Sedang jalan-jalan?"

Iqbal malah tertawa simpul. "Emm... mungkin bisa dibilang— bulan madu."

Spontan aku berjengit kaget. "Hah?"

Kemudian seorang wanita yang cukup cantik datang menyusul di belakang. Awalnya aku tak mengenal siapa dia.

"Sayang, kayaknya power bank aku beneran ketinggalan deh." Kata wanita itu.

Dan aku baru mudeng bahwa wanita itu adalah istrinya Iqbal. ISTRINYA IQBAL? apa Rani udah tau?

Aku pun keheranan sambil bertanya-tanya dengan bahasa isyarat kepada iqbal. Iqbal langsung peka.

"Dia ini catalia, istriku." Jelasnya padaku. "Dan ini Syifa, temanku." Jelasnya pada Catalia.

Dan kami pun berjabat tangan untuk saling berkenalan.

Sambil berjalan, kami kembali berbincang-bincang.

"Apa Rani.. udah.. tau?" Tanyaku hati-hati dengan volume kecil.

Iqbal mengangguk. "Dia bilang, mungkin itu udah jadi keputusan takdir. Dan aku bahagia ngeliat kamu bahagia. Katanya." Iqbal seolah bicara bahwa dia itu Rani.

Aku lalu meratapi kata-kata Iqbal. Mungkin itu benar.

"Lagipula, sekarang kita udah memulai hidup yang baru. Kejebak terus sama masa lalu itu hal yang menyakitkan bukan?" Ia menoleh menatapku.

Kulirik catalia melingkarkan tangannya di lengan Iqbal. Lalu merangkul lengan Iqbal sembari menyandarkan kepala di bahunya manja.

Aku tersenyum simpul. "Iya. Kamu benar."

"Kamu gimana?" Tanyanya. Kali ini aku tersenyum riang sambil menunjukan raut wajahku yang begitu kentara.

"Aku akan menikah bulan depan." Dan kami terus berbincang hingga naik ke pesawat dengan raut wajah menyenangkan.

Karena skenario buatan belum tentu menuju akhir yang bahagia.

END

If I'm Yours [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang