Kepergok Randi

219 8 0
                                    

ANGGA POV

"Menurut lo... tampang gue ini gak jelas ya?" Tanyaku pada Rani, ia menoleh.

"Iya. Absurd banget." Kekehnya.

Aku mendecak. "Jujur banget lo." Kataku menggeleng.

Ia menyengir. "Emm.. gak juga sih sebenernya. Lo itu punya mata, punya hidung, punya mulut dan gue masih bisa lihat tampang lo dengan jelas. Lagian mata gue belum rabun kali." Jelasnya lagi. Aku pun terkekeh

"Emang siapa yang bilang?"

"Gak kok, gak ada. Cuman gue ngaca aja gitu."

Ia mangut-mangut paham dengan mulut membulat dua jari, serta mengeluarkan bunyi ooh panjang.

Kemudian ia berceletuk. "Terkadang, seseorang selalu merasa dirinya itu gak sempurna. Padahal nyatanya, tuhan itu udah nyiptain manusia dengan sesempurna mungkin. Yaa kadang emang selalu ada sih yang namanya kekurangan dan kelebihan." Ia memandangku sejenak.

"Pada dasarnya batin manusia itu emang selalu sering membandingkan. Tiap kali kita lihat orang lain lalu membandingkan diri kita sendiri, itu yang bikin kita merasa bahwa diri kita itu kurang. Padahal sih enggak juga. Tergantung."

Aku memandanginya, refleks wajahku terlukis sebuah senyuman. Entah kenapa aku makin tertarik dengan gadis ini.

"Kok gue jijik ya dengernya," cibirku. Refleks ia pun memukulku sambil memanyunkan bibir kesal.

Aku menikmati ekspresi wajahnya itu. Tiba-tiba muncul ide di otakku. Aku pun meraih tangan Rani dan menggenggamnya.

"Ikut kuy!" Setelah itu aku menarik tangannya, untuk kemudian membawanya berlari menuju toko kaset.

●●●

RANDI POV

Suasana hati yang cerah di hari yang cerah. Memang seharusnya begitu, bukan?

Gue dan Iqbal sedang berada di perjalanan menuju Cafe Serena. Iqbal menyetir, sementara gue merokok sambil bersiul ria. Mantap jiwa...

Iqbal baru aja balik dari luar kota. Bukan baru sih, udah lama jugak, masa bodoh deh. Gue niatan nemenin Iqbal, yah sebenernya gue punya tujuan lain, biasanya di cafe tempat manggung Iqbal ngenyediain minuman gratis, boleh juga kan?

Gue menghembuskan asap rokok ke luar jendela. "Lo manggung biasanya dapet gaji berapa sih?" Tanya gue kepo.

Iqbal terkekeh. "Yaah.. emang gak seberapa sih. Tapi lumayanlah.."

"Lumayan buat beli vodka, rokok, ganja?" Ceplos gue asal.

Ia malah tertawa. "Yang kayak begituan mulu di otak lo." Tawanya meledek gua. "Yaah.. begitulah.."

"Iya juga kan?" Desak gue menggoda, gue merasa sok tau abis sekarang.

Ia tertawa lagi. "Diam lo jeng!" Yah, pada akhirnya gue merasa peduli amat. Jadi, gue merokok lagi.

Gue menghembuskan gumpalan asap rokok keluar kaca. Gue memandang keluar kaca, hanya untuk iseng-iseng aja. Namun, mata gue gak sengaja menangkap sesuatu saat mobil yang kita kendarai berlalu. Yang langsung membuat mataku membelalak sanking gak yakinnya.

Dan gue baru yakin 100% kalo penglihatan gue itu benar. Disana, di balik kaca di dalam sebuah toko kaset, gue menangkap dua orang yang cukup gue kenal berdiri disana.

Sesuatu yang bikin gue terperanjat gak menyangka.

Tangan Rani dan Angga berpegangan dengan erat di jauh sana. Seolah tidak ingin saling melepaskan. Apa yang baru aja terjadi ini?

Sumpah! Ini benar-benar gila! Di luar dugaan!

Rani dan Angga...?

"Woy Ran!"

Hah? Gue hampir aja gagal fokus. Itu Iqbal manggil gue apa Rani ya? Apa dia ngeliat Rani tadi sama...

"Lo manggil gue?" Tanya gue polos ke Iqbal. Iqbal mendelik.

"Ya iyalah. Siapa lagi kalo bukan lo? Yang ada di mobil gue kan cuma lo. Yakali gue manggil cewek gue Rani, orangnya kan gaada."

Oke. Gue baru paham sekarang. Iqbal gak ngeliat. Baguslah. Lagipula paling yang barusan gue liat tadi cuma gak sengaja doang. Mana mungkin kan mereka.. ah! Bodoh amat.

Intinya Iqbal gak tau. Ya bagus.

●●●

IQBAL POV

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan yang cukup laju. Maklum lah, cita-citaku dulu sempat menjadi seorang pembalap, tapi gak kewujud. Gakpapalah. Penting kan sudah jadi anak band, ye kan?

Baiklah, kembali pada topik awal. Di sebelahku ada Randi sedang merokok ria. Aku dan Randi sedang menuju cafe Serena karena bandku akan tampil disana untuk mengisi acara. Lumayanlah buat nambah isi dompet.

Aku menyetir dengan serius. Ini menyangkut dengan jalanan, jadi aku harus hati-hati.

"Bal!" Panggil Randi. Aku berdeham mengiyakan.

"Bagi rokok lu! Stok gue udah kosong." Pinta Randi.

Aku mengingat-ngingat dimana letak ku taruh rokokku tadi. Tapi sepertinya ada di dalam lemari nakas.

"Tuh noh! Di laci!" Ucapku memberi tahu Randi. Tangan Randi langsung beraksi mencari. Namun ternyata tak ketemu.

"Mana? Gak ada."

Aku mengingat-ingat. Tapi kurasa memang disitu. Aku pun celingak-celinguk mencarinya.

"Perasaan di situ." Tangan sebelahku langsung bergerak. Mencari-cari di penjuru area.

"Eh Bal hati-hati Bal." Ujar Randy.

Tanganku terus merogoh laci, sambil sesekali melihat ke jalan. Sepertinya benda itu ada di pojok paling dalam. Aku pun merogoh laci mobil hingga ke bagian dalam dan terus fokus mencari lebih dalam, hingga,

"Eh BAL! LAMPU MERAAH!!"

NYIIIITT... BRUK!

Sial! Aku dan Randi berakhir melongo dengan sempurna. Tertohok dengan pemandangan yang sedang terjadi saat ini.

***

Bersambung...

If I'm Yours [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang