Tubrukan

221 9 0
                                    

IQBAL POV

Aku tersentak saat Randi berteriak. Aku buru-buru mengerem mobil mendadak karena katanya lampu sedang merah.

Namun, ternyata mobilku berhenti setelah menubruk- sedikit-mobil seseorang.

Bisa mampus aku!

"Bal! Gimana nih Bal? Gimana nih? Gue gak ikutan ya gue gak ikutan lo aja nanti yang kena marah oke jangan bawa-bawa gue" cerocos Randi panjang kali lebar di samping. Maklumlah, Panik Syndrom.

"Diam lo Jeng! Gue juga panik kampret." Sungutku kesal.

Kami sama sekali tak bergerak. Memandangi mobil yang baru saja kami tubruk.

Di depan sana, sang empunya mobil sport kuning, membuka pintu. Tampak sebelah kakinya yabg berbalut heels mulai turun. Diikuti dengan sebelah kaki lainnya.

Seorang gadis turun dari mobil. Terlihat kaget. Ia menghampiri bagian bagasi mobilnya. Rusak sedikit. Ia tampak tertohok begitu melihatnya.

Aku takut wanita itu akan marah. Bisa gawat.

"Eh kayaknya kenal deh." Sahut Randi. Aku menoleh.

"Hah? Siapa?"

"Itu, pacarnya Angga." Jelas Randi. Aku mengernyit.

"Angga siapa lagi?"

"Buset dah pikun bener dah lo jadi orang. Itu, yang pernah gue kenalin pas party si Rebecca." Jelas Randi.

Aku berpikir sejenak. Mencoba mengingat. Siapa, siapa, siapa. Siapa ya?

Ha! Iya, aku baru ingat. Aku sempat bertemu dengan gadis itu di party. Dan kurasa aku pernah berdansa dengannya.

"Ooh." Kataku.

"Ini masalahnya gimana dong? Temen gue lagi yang lo tabrak!" Panik Randi.

"Ya kan gegara lo!"

"Lah kok gue?"

"Yang minta rokok siapa?"

"Gue."

"Berarti salah siapa?"

"Salah lo lah!" Spontan aku pun menggeplak Randi. Enak aja dia main salah-salahin anak orang.

"Kan gue gak maksa." Kata Randi. Aku mendelik. "Kan yang nyetir juga elo!"

Ah sudahlah. Daripada main salah-salahan. Lebih baik kita selesaikan masalah sekarang. Jadi ku diamkan saja Randi.

Cewek itu mulai datang menghampiri mobilku. Ia berjalan ke samping kaca jendela. Mengetuknya berkali-kali. Kini bisa ku lihat wajahnya dari dekat.

Semakin membuatku takut saja. Unch..

"Permisi!" Tok tok tok. "Yang di dalam, buka pintunya!".

Terus begitu.

Aku menghela nafas panjang. Memberanikan diri untuk segera menyelesaikan masalah.

Dengan gentlemen akhirnya ku ajak Randi turun.

Aku membuka pintu mobil dan turun. Cewek itu tampak mundur selangkah. Kini aku berhadapan dengannya. Sementara aku berlagak sok cool, cewek itu malah tampak seperti tengah mengenaliku.

"Loh! Kamu itu yang di party waktu itu kan?" Tanya dia. Spontan aku mengangguk dengan cool.

"Kamu pacarnya Rani itu kan?" Tanya dia lagi. Pun aku mengangguk lagi.

Serius ya, ngangguk-ngangguk begini berasa kayak patung kucing cina di toko kelontong yang ngangguk-ngangguk mulu itu tau gak? Berasa miris.

Cewek itu pun tampak mangut-mangut paham. Tiba-tiba ia terdiam sejenak. Seolah ada sesuatu yang mendadak di pikirkannya.

Sorot matanya saat memandangku tampak seperti orang yang merasa bersalah. Tapi bersalah karena apa?

"Gini, gue mau minta maaf sebesar-besarnya atas sedikit kerusakan yang menimpa mobil lo itu. Gue janji gue bakal tanggung jawab." Ucap gue panjang lebar.

Randi memandangiku salut.

"Syifa, maaf deh Syif. Khilaf Syif." Ucap Randi.

Oh jadi namanya Syifa.

"Emangnya kalian ngapain sampai ngelantur begitu?" Tanya Syifa.

Aku mikir-mikir sejenak. Memilih alibi yang mantap.

"Tadi tuh... kayak ada silauan cahaya gitu mendadak lewat jadi ya, aaaa... breng! Nubruk deh gitu. Eh! Ternyata lampu merah."

Malah sepertinya penjelasanku tampak tak masuk akal. Bego-bego gimanaaa gitu.

Syifa tertawa begitu mendengarnya. "Oh gitu?" Ia memastikan.

"Iya Syif!" Dan bodohnya Randi mengiyakan.

Aku malah garuk-garuk tengkuk yang tidak gatal jadinya. Malu. Udah bikin malu.

"Aah! Gini aja. Sebagai uang mukanya, gue traktir makan aja deh. Gimana?" Tawarku.

Syifa tampak menimang sebelum pada akhirnya mengangguk mantap.

●●●

SYIFA POV

Harusnya aku marah. Iya marah, karena seseorang baru saja membuat mobil mahalku rusak.

Namun begitu melihat Iqbal aku malah jadi merasa bersalah. Rasa marah itu malah jadi hilang. Aku merasa bersalah membuat Iqbal menerima resiko dari skenario yang kubuat ini. Aku jadi kasihan.

Sebenarnya dari awal Rani sudah tudak setuju. Namun aku selalu memaksa.

Jadi aku harus menerima resikonya. Apapun resikonya

Iqbal, Randi, dan aku makan di sebuah restoran yang cukup berkelas. Ia benar-benar mentraktirku. Baguslah, memang seharusnya dia tanggung jawab.

"Ini ada ktp gue, lo simpen aja. Terus kita bisa tukeran kontak gak? Yakali kan lo mau ngehubingin gue kalo gue tiba-tiba ngilang? Tapi gue janji deh, mobil lo bakalan gue perbaiki." Katanya sambil memberikan ktpnya. Tanganku bergerak mengambilnya.

"Oke. AKu percaya kok." Jawabku.

Kami sudah banyak membicarakan soal ganti rugi tadi. Ya namun ada yang aneh. Randi tampak diam saja. Mungkin masih shock kali. Gak tau juga.

Lalu kami pun memutuskan untuk kembali pulang atau pergi ke tujuan masing-masing.

Setelah meninggalkan tagihan, kami beranjak menuju parkiran. Ku bilang pada Iqbal untuk nanti saja membawa mobilku. Karena aku sedang membutuhkannya sekarang. Ia menurutinya.

Kami pun berpamitan di parkiran restoran.

"Jadi nanti lo hubungin gue aja ya!" Kata Iqbal. Aku mengangguk.

"Oke. Makasih ya, traktirannya." Kataku sambil senyum.

Ia balas tersenyum. "Iya."

Kami pun saling senyum menyenyumi satu sama lain. Merasa mulai awkward, aku pun berniat untuk segera pergi.

Aku mundur selangkah debgan grogi. Namun baru saja aku melangkah, Iqbal tiba-tiba menarik lenganku. Menjatuhkannya di pelukkannya.

Ku perhatikan dia. Ia tidak memandangku, namun memandang ke arah lain.

"WOY!! BAWA MOTOR TU HATI-HATI WOY!"

Ternyata, saat aku mundur tadi, seorang pengendara motir lewat. Dan orang itu hampir saja menyerempetku kalau Iqbal tidak menarikku.

Oh! Jadi itu. Aku hampir kegeeran tadi.

Namun saat ia memelukku, aku merasa aneh, jantungku ketar-ketir sendiri. Apa ini namanya? Apa rasa bersalahku semakin dalam?

●●●

TBC

If I'm Yours [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang