Seperti biasanya, aku dan teman-temanku–maksudku, genk-ku–akan berkumpul setelah bel pulang sekolah berbunyi. Entah nanti akan ke mana atau akan melakukan apa, yang jelas kami pasti berkumpul terlebih dulu di taman sekolah untuk memudahkan pertemuan kami yang berbeda kelas.
Aku Ella. Lengkapnya Angela Felisha.
Dari lubuk hatiku yang paling dalam, sesungguhnya aku sangat tidak suka dengan genk ini. Aku diseret ke dalamnya oleh Icha, sepupuku, yang baru pindah dari Jakarta ke sini–Semarang–karena orang tuanya yang harus dinas ke Papua. Saat ini Icha tinggal bersama keluargaku. Ia pindah saat kelas 1 semester II, terhitung sudah hampir satu tahun ia di sini.
Awalnya, Icha sangat bergantung padaku sehingga mau tak mau aku harus selalu menjaga dan mengawasinya. Karena itulah aku bisa ada di sini.
Icha menyeretku menjadi bagian Queens tepat satu hari setelah ia pindah. Tentu saja langsung aku tolak mentah-mentah. Meski telah kumuntahkan segala ketidak-sukaanku terhadap genk ini, dengan pantang menyerah Icha terus-menerus memohon padaku. Membuatku jadi tidak tega hingga aku mengiyakan keinginannya.
Aku sempat heran kenapa Icha bisa berteman dengan Queens, padahal Icha bisa dengan mudahnya mendapatkan teman yang lain. Prasangka burukku mengatakan bahwa Via dan Shella–yang satu kelas dengan Icha saat kelas 1–telah menghasut Icha untuk bergabung dengan mereka. Apalagi Icha pindahan dari Jakarta, pastinya banyak yang ingin menjadikan anak muda asal ibu kota ini sebagai teman.
Perihal ketidak-sukaanku pada Queens, aku tidak suka pada mereka karena mereka terlalu berisik dan suka menyebabkan masalah. Ya, baiklah, kuakui terkadang aku juga cerewet, aku juga berisik, tapi aku tidak seberisik mereka.
Mereka ini berisiknya minta ampun, sedangkan aku lebih senang larut dalam keterdiaman diriku sendiri daripada terseret arus keramaian.
Aku tau kapan aku harus berisik, terutama saat aku harus membangunkan Bang Ello yang kalau tidur sudah seperti mayat. Aku sampai khawatir kalau dia tertidur dan tidak bangun-bangun lagi selamanya. Naudzubillah ... Maafkan aku, Bang.
Selain itu, banyak gosip tersebar mengenai anggota Queens yang suka mempermainkan cowok. Astaga, bahkan kami masih mengenakan seragam putih-abu. Dan hampir satu tahun aku tergabung dengan mereka, sudah sekitar lima kali aku mencoba meluruskan kesalahpahaman antara mereka dengan kakak-kakak kelas–yang pokok permasalahannya adalah: makhluk berjakun.
Aku lebih setuju dibilang sebagai mediator, omong-omong. Karena masalah ini masalah mereka, bukan masalahku. Aku bisa saja cuek, tetapi aku tidak bisa meninggalkan Icha begitu saja. Walaupun bukan Icha yang bermasalah, tetapi dia mudah terbawa emosi. Dengan kata lain, Icha juga ikut bertengkar.
Queens berjumlah enam orang dan sekarang menjadi delapan setelah aku dan Icha bergabung. Via dan Kristi adalah yang disebut-sebut sebagai 'tonggak' Queens, lalu ada Amel, Anggun, Shella, dan Devi di dalam sana.
Dan asal tahu saja, mereka ini suka sekali saling gosip, padahal–katanya–mereka berteman.
"Eh, lihat, deh! Itu adik kelas ganteng banget!"
"Iya, iya, bener! Sumpah!"
"Anak baru sekarang cakep-cakep, ya. Jadi pengen ngarungin satu buat dibawa pulang."
Sudah kubilang, 'kan? Aku benar-benar tidak cocok ada di sini. Bayangkan saja, setiap berkumpul mereka pasti membicarakan cowok.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA
Teen FictionAku tau, sejak awal tak seharusnya aku begini. Mempertahankannya hanya akan membuatku sakit. Namun, aku terus saja berjuang. Tenggelam dalam kebodohan diriku sendiri. Semua orang sudah memberitahu bahwa dia tidak baik untuk hatiku. Namun, apalah art...