"Ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Tio, ketua OSIS kami.
"Nggak ada, Io."
"Cukup, Pak Ketu."
"Iya, udah jelas, kok."
Jawaban perlahan mulai muncul ke permukaan yang sejak tadi hening sebab mendengarkan si pemimpin berbicara.
Satu jam pelajaran sebelum istirahat siang, kami–anggota OSIS–diberikan waktu untuk mendiskusikan acara penyambutan mahasiswa-mahasiswi yang akan melaksanakan tugas lapangannya di sekolah kami.
Para mahasiswa itu akan datang dua hari lagi, dan kami memutuskan untuk memberikan penyambutan yang sederhana saja. Cukup dengan memberikan sebuket bunga dan nyanyian indah dari tim paduan suara, serta pembacaan puisi.
Kami tidak bisa menyiapkan hal yang lebih, karena ini adalah instruksi dadakan. Baru saja kami terima tadi.
"Oke, kalau gitu, kita sudahi rapat siang ini. Dan jangan lupa, mulai nanti sore, paduan suara sudah harus mulai latihan dan diharapkan dari kita ada yang menemani. Sama jangan lupa juga, ya, yang ngehubungin Dina. Ingetin dia, besok puisi harus udah jadi, terus latian pas pulang sekolah. Oke, sip?"
Tio melanjutkan kata-katanya setelah mendapat jawaban dari kami. "Oke, terima kasih atas waktunya dan ide-idenya. Siang, teman-teman."
"Siang."
"Makasih juga, Io."
Semua anggota mulai meninggalkan ruang OSIS satu per satu. Aku masih duduk diam di tempat, menunggu keramaian menyurut dan aku bisa keluar tanpa berdesakan.
Saat sedang melamun, seseorang menyenggol tanganku. Itu Tio.
"Kenapa?"
Tio menarik kursi di dekatku dan mendudukinya. "Kamu udah nggak sama Queens?"
Aku diam sebentar, mencoba menemukan jawaban apa yang pas. Aku tidak tahu kenapa harus mencari jawaban lain, padahal tinggal mengiyakan saja, 'kan?
"Oke, nggak usah dijawab. Kamu beneran pacaran sama mantan Via? Kamu beneran ngerebut dia?"
Mata sipitku secepat kilat menembus iris kecokelatannya. "Jadi, itu gosipnya?"
"Itu gosip? Nggak beneran, 'kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Menurut kamu, aku bakalan ngelakuin itu?"
Dia bertepuk tangan sekali, lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Ya, nggaklah! Nggak mungkin kamu bakal ngelakuin itu! Bodoh banget mereka yang percaya sama gosip murahan itu."
Tio tersenyum dan kembali berkata, "Nggak usah khawatir. Kebenaran bakal selalu menang."
Dia menepuk bahuku sekali. "I'm with you."
Lalu Amel datang menginterupsi kami setelah aku mengucap terima kasih pada Tio. Alisku bertaut menyadari kehadirannya. Tadi aku lihat, dia sudah duluan keluar dengan teman yang lain.
Dengan masih keheranan, aku berdiri dan berjalan ke sisi Amel. "Duluan, Io."
Tio menjawab dengan senyuman.
***
"Kok, kamu balik lagi?" tanyaku pada Amel. Mata bulatnya menatapku dengan binar yang indah.
Amel mengerucutkan bibirnya, lalu berkata, "Emang aku udah pergi?"
Mataku menyipit. Aku kembali menggali memori beberapa saat yang lalu. "Bukannya kamu udah duluan keluar tadi?"
Dia mengembuskan napas dan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. "Duluan keluar bukan berarti ninggalin kamu, 'kan? Aku nungguin di depan pintu, tapi kamunya nggak keluar-keluar."

KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA
Dla nastolatkówAku tau, sejak awal tak seharusnya aku begini. Mempertahankannya hanya akan membuatku sakit. Namun, aku terus saja berjuang. Tenggelam dalam kebodohan diriku sendiri. Semua orang sudah memberitahu bahwa dia tidak baik untuk hatiku. Namun, apalah art...