Terhitung sudah satu minggu sejak hari pengakuan itu. Dan sudah selama itu pula aku menghindar.
Walaupun sudah masuk libur semester, bukan berarti kami tidak akan bertemu sama sekali. Karena setiap hari–benar-benar setiap hari–genk The Kings selalu mengajak Queens bermain, lebih tepatnya nongkrong di warung PakDe.
Yah ... setidaknya aku beruntung. Aku hanya perlu berkata tidak pada setiap ajakan main itu. Tidak perlu repot-repot bermain petak umpet di sekolah.
Meski harus setiap hari pula gendang telingaku rasanya mau pecah karena suara cempreng Icha yang tidak terima akan penolakanku.
Ya, aku masih belum bilang tentang perasaanku ini padanya. Aku belum berkata jujur padanya, dan juga pada Amel.
Awalnya aku berpikir kalau menghindar ini adalah jalan terbaik. Nyatanya tidak. Aku malah diserang rindu tiap harinya, hampir membuatku seperti sekarat. Okay, aku tau ini sedikit berlebihan, tapi memang begitu adanya yang kurasakan.
Karena ... seminggu ini pula dia tidak mengirimiku pesan sama sekali. Hanya pesan dari teman-temannya saja yang memenuhi kotak masukku dengan ajakan main yang mereka tawarkan padaku. Tidak ada satu pun darinya–yang sebelum ini bahkan tidak pernah absen untuk sekedar bertanya apakah aku ikut main atau tidak.
Ya, aku tau diri. Tentu saja dia juga akan menghindar dariku. Tentu saja dia akan berubah.
Malam itu, malam di mana aku dengan lantangnya mengatakan bahwa aku menyayanginya. Bahwa aku memendam rasa padanya. Tanpa ada rasa ragu yang terselip di setiap kata pengakuanku.
Aku tidak tau apa yang aku pikirkan saat itu. Saat tanpa kusadari ia sudah duduk di hadapanku dan memanggil namaku. Saat ia tersenyum kepadaku. Aku melihatnya sendu dan berkata, "Maaf. Aku punya rasa buat kamu. Maaf. Padahal kamu masih pacar Via. Aku ... sayang kamu."
Setelah itu, aku melihatnya terbelalak. Dia begitu terkejut dengan pengakuanku, aku rasa. Aku semakin sendu. Aku tau, dari awal aku memang tidak punya harapan. Dan memang tidak seharusnya aku berharap. Sampai kulihat ia kemudian berdiri dan berlalu tanpa kata. Dia meninggalkanku, tanpa menoleh lagi padaku.
Setelah aku sadar yang kulihat tak lagi senyum manis di wajah tampannya, melainkan hanya punggung lebarnya, saat itu pula aku tersadar bahwa mulai detik itu semuanya akan berubah.
Semua tak lagi sama.
***
"Malam ini yakin lo nggak join lagi?" tanya Icha, entah sudah ke berapa kalinya pada hari ini.
Aku memandangnya malas. "Lo udah nanya berapa kali, sih?"
Aku tau, di mata belo Icha tersimpan banyak keingin-tahuan, tapi mungkin ia masih memahamiku. Ia tidak terlalu memaksaku untuk bercerita apa yang terjadi sebenarnya. Dia hanya memaksaku untuk ikut main dengannya.
Jujur saja, aku juga sangat bosan di rumah terus. Meski sesekali keluar rumah, tapi itu hanya karena aku memang harus, misalnya saat aku sedang ingin-inginnya makan mie ayam bakso.
Aku juga ingin refreshing. Sayangnya, keluargaku tak membantu sama sekali. Liburan kali ini kami tidak ke mana-mana karena ada satu dan lain hal yang harus Ayah urus. Bunda pun sibuk di restoran. Si kembar sudah pasti ikut ke restoran. Dan Abang pergi meninggalkanku liburan ke Jogja bersama teman-temannya.
Mau main dengan teman pun, dengan siapa? Icha sudah pasti lebih memilih ikut main dengan The Kings-Queens tiap malamnya–agar terus bisa bertemu Farel. Dia bilang, dia akan terserang meriang kalau sehari saja tidak bertemu Farel. Iya, meriang, merindukan kasih sayang. Alay memang. Oleh karena itu, dia tidak keluar pada pagi, siang, dan sore harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA
Teen FictionAku tau, sejak awal tak seharusnya aku begini. Mempertahankannya hanya akan membuatku sakit. Namun, aku terus saja berjuang. Tenggelam dalam kebodohan diriku sendiri. Semua orang sudah memberitahu bahwa dia tidak baik untuk hatiku. Namun, apalah art...