#22 Inikah Prosesnya?

34 2 0
                                    

"Ellaaaaaaa!!"

"Heh, masuk rumah bukannya ngucap salam malah manggil setan!"

"Setan, setan! Kalo aku setan, berarti Abang, ya, abangnya setan!" kataku penuh emosi sembari memukuli Abang.

Abang meronta-ronta. "Aarrgh, sakit, tau! Lagian, 'kan, abang ini abangnya, bukan setannya! Wlee!"

"Dih! Ab–"

Icha tiba-tiba menarikku menjauhi Bang Ello. "Udah, udah. Sekarang nggak penting siapa yang jadi setannya. Yang penting itu sekarang kita harus bikin spaghetti!!"

"Mau spaghetti!!" seru si kembar.

"Udah baikan? Cepet amat!" kata Abang dengan nada kaget yang dibuat-buat.

Aduh, abang siapa, sih, ini?

"Abang ini gimana, sih? Ya malah bagus, dong. Jadinya kita bisa makan spaghetti enak," ucap Ayah.

Icha mencibir. "Siapa juga yang mau bikinin buat Ayah? Orang cuma buat aku sama Ella, kok."

Ayah melepas kacamata dan memicingkan matanya melihat Icha. "Kak Icha mau pacarnya Ayah marahin terus Ayah suruh dia mutusin Ka–"

"AHH iya, Yah, iya. Icha mau bikin spaghetti spesial buat Ayah. Ah, Ayah gimana, sih? Icha nggak mau jadi anak durhakalah," ucap Icha secepat kilat.

Bunda terkekeh. "Dasar Kak Icha. Ya udah sana. Bunda juga udah kangen sama spaghetti buatan Kakak."

"Baik, silakan ditunggu pesanannya," ujarku seperti seorang waitress.

Spaghetti sudah menjadi makanan wajib jika ada yang berbaikan setelah bertengkar di rumah kami ini. Siapapun itu, termasuk kembar juga.

Aturan ini berlaku sejak pertama kalinya aku dan Bang Ello bertengkar hebat hanya karena aku tak sengaja menjatuhkan miniatur mobil punya Abang yang bahkan tidak rusak sama sekali. Cih. Jika mengingat hal itu, aku jadi sungguhan ingin merusak mainan-mainan itu dengan sengaja.

Bertepatan dengan insiden peperangan aku dan Abang, si kembar sedang rewel-rewelnya ingin makan spaghetti. Jadilah sebagai hukumannya kami berdua disuruh membuat spaghetti oleh Bunda. Selama proses pembuatan spaghetti itu, aku dan Abang malah akhirnya jadi berbaikan.

Nah, sejak hari itu, Ayah menyatakan bahwa, "Pokoknya, termasuk Ayah dan Bunda, kalo habis berantem, harus bikin spaghetti pas udah baikan. Anggap aja buat syukuran."

Aturan ini bahkan sudah terkenal di keluarga besar kami. Makanya Icha pun tau.

Lagipula, membuat spaghetti juga tidak susah.

"La, lo tadi nggak apa-apa bilang gitu?" tanya Icha di sela-sela kegiatannya membuka bungkus spaghetti instan.

"Yang mana?" kataku yang sedang sibuk mempersiapkan air untuk direbus.

"Yang lo bilang mungkin emang lebih baik lo nggak jadian sama Andro."

"Kenapa emang?"

"Kan, ada Andro-nya?"

Aku menghidupkan kompor terlebih dahulu, baru menjawab, "Ya, mau gimana lagi? Udah terlanjur. Andro juga kayaknya nggak minat tuh nanggepin omongan Via. Kayaknya kalian salah, deh."

"Salah apanya?"

"Salah ngira kalo Andro suka sama gue."

"Bisa jadi Andro nggak tau mau nanggepinnya gimana."

Aku cuma mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Emang tadi ada kejadian apa?" Bunda menyela tiba-tiba membuatku salah tingkah.

"E–eh, Bunda. Anu ... Itu Bun ...."

"Kenapa salah tingkah? Wajar, 'kan, Kakak suka sama cowok?" ucap Bunda lembut dengan senyum khas yang tercetak pada raut muka beliau. "Jadi, Kakak beneran suka Andro, ya?"

Aku menggaruk pipi untuk menutupi kesalah-tingkahanku. "Iya, Bun. Aku tau itu salah, tapi–"

"Siapa bilang itu salah?"

Icha menyambar, "Noh, noh, Bunda aja bilang itu nggak salah! Huuu!"

"Apa, sih? Liatin aja itu spaghetti-nya! Ntar kelamaan rebusnya malah nggak enak!"

Icha memukul bahuku. "Yeeeuu, lo juga kali! Kan, bikinnya barengan, masa' gue doang yang tanggungjawab."

Aku menyipratkan air bekas cuci tangan padanya. "Ambigu lo!"

Bunda tertawa melihat kami. "Tadi pertanyaan Bunda belum dijawab, loh. Emang ada kejadian apa?"

"Gini, Bun. Jadi–"

"Gue aja yang cerita. Lo kalo cerita suka ngaco dan lebay," sergahku cepat memotong perkataan Icha, dan ia membuat gestur seolah akan memukul kepalaku.

"Jadi, tadi tuh aku ke tempat tongkrongan yang biasa, nyariin Icha. Eh, pas mau balik dicegat Via. Terus dia ngomong macem-macem gitu, Bun, pokoknya. Bunda tau, 'kan, Via dulu pacar Andro?" 

Aku menjeda demi melihat respon yang diberikan Bunda.

Bunda mengangguk seraya menjawab, "Iya, terus?"

"Terus, Via itu tau kalo aku suka Andro. Nah, Via kira aku yang ngadu macem-macem ke Andro tentang dia yang main-main sama cowok lain biar aku bisa ngedapetin Andro, padahal mah enggak. Ngapain, juga? Aku nggak sekurang-kerjaan itu. Nggak tau, sih, kalo Icha," kataku sambil melirik Icha yang juga fokus kepada ceritaku.

Icha berdeham–sedikit salah tingkah. "Apa, dah? Gue belum sempet kok, ngaduin ke Andro. Orang keburu ketahuan si Kristi sama Anggun yang terus akhirnya lo sidang waktu itu. Eh, malemnya nerima kabar kalo mereka beneran udah putus."

"Berarti emang itu rencana lo?"

"Rencana apa?"

"Lo bilang mau ngelakuin sesuatu, yang pas gue ... hm ... nangis," ucapku sedikit terbata karena ada Bunda. Kulihat Bunda yang cuma diam saja, membuatku bertanya kenapa Bunda tidak membahas perihal aku menangis.

"A–aah, itu ... iya, itu ... Hehehe ...."

Aku mengangguk merespon Icha, lalu melanjutkan ceritaku. "Semenjak Via tau aku suka Andro dan nganggep aku yang bikin mereka putus, Via jadi kayak dendam gitu sama aku, Bun. Terus tadi pas kita adu mulut, akhirnya Via nyinggung tentang Andro. Terus Via-nya malah bilang kalo dia nggak bakal ngebiarin aku jadian sama Andro. Di situ posisinya semua udah pada ngerubungin, ada Andro-nya juga. Terus pada ngeliat ke Andro, tapi dia no response. Ya udah, aku bales aja gini, 'kan, aku udah pernah bilang, mungkin memang lebih baik kamu nggak balikan sama Andro atau aku nggak jadian sama Andro'. Gitu, Bun, ceritanya."

"Spaghetti-nya udah jadi, nih," kata Icha tepat setelah aku menyelesaikan ceritaku.

"Ya tarok di meja makanlah!"

"Dih!"

Bunda yang sejak tadi diam pun menyela kami, "Bunda rasa nggak ada yang salah di antara kalian semua. Karena kalian sedang dalam masa pencarian jati diri. Kalian ini sedang berkelana. Bagi Bunda, pertengkaran di umur kalian ini wajar-wajar aja."

"Saat ini Bunda nggak bakal ngasih saran atau ngajarin Kakak. Bunda juga pengen tau, sudah seberapa dewasa, sih, anak Bunda? Apa Bunda berhasil mendidik Kakak, apa nggak? Bunda juga penasaran."

"Tapi, di saat Kakak merasa buntu, Kakak bener-bener udah nggak tau lagi harus apa, jangan lupa sujud. InsyaaAllah, jalan itu pasti ada."

Suara halus itu berujung dengan senyum lembut–yang buatku tak bisa berkata apapun, melainkan cuma berpikir,

Apa ini proses pendewasaan diriku?

🍁🍁🍁

ANDROMEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang