#13 Permintaannya

28 3 7
                                        

"Aku ... mau kamu terus nemenin aku."

Suara lembut yang melafalkan sebaris kalimat itu terus saja terngiang di benakku. Bak sebuah alunan lagu yang menemani jalan pulangku pada senja ini.

Sampai aku harus berkali-kali menyadarkan diriku sendiri karena fokusku yang terbagi.

Sama sekali tidak kutahu apa maksud dari kalimat itu. Setelah ia mengutarakan permintaannya padaku, aku hanya diam. Dia pun diam, tidak berniat memberi penjelasan. Dan bodohnya aku tidak bertanya, padahal aku kebingungan.

Sampai pada akhirnya aku beranjak meninggalkan dia terlebih dulu.

Laju motorku melambat saat sudah memasuki pagar rumah yang sedikit terbuka. Motor Kristi sudah tidak terlihat lagi di tempat semula benda bermesin itu terparkir, berarti dia dan Anggun sudah pulang. Kemungkinan Amel pun sudah diantar Icha.

"Assalamu'alaikum."

Tidak ada jawaban.

Rumah begitu sepi. Harusnya ada Icha dan Abang. Icha mungkin belum kembali, tapi Abang ke mana, ya?

"Mbak baru pulang?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Ada Mbak Nia, salah satu karyawan restoran, yang baru muncul dari arah dapur.

"Eh, Mbak Nia. Iya nih, Mbak. Mbak kok di rumah?"

"Ibu sama Bapak pergi sampe nanti malem, Mbak. Saya disuruh Ibu masak buat makan malem."

Aku mengangguk kecil sebagai bentuk respon. Kakiku yang akan kembali melangkah terhenti saat mengingat sebuah pertanyaan yang seharusnya aku tanyakan pada Mbak Nia.

"Icha sama Abang mana, Mbak?"

"Mas Ello tadi pamit mau beli pulsa, tapi kalo Mbak Icha saya nggak tau. Saya kira malah Mbak Icha perginya sama Mbak Ella."

"Oh ... gitu. Ya sudah, aku ke kamar dulu ya, Mbak."

"Iya, Mbak. Saya pamit balik ke resto, ya, Mbak."

Senyum dan anggukan kecil kulayangkan pada Mbak Nia. Tak lupa juga kuucapkan terima kasih padanya.

Tanpa melepas jaket, aku merebahkan diri di kasur. Tak tau kenapa, aku merasa sangat lelah.

"Aku ... mau kamu terus nemenin aku."

Apa maksudnya?

Menemani yang bagaimana?

Memang kenapa dia harus meminta hal itu?

Banyak sekali pertanyaan yang muncul hanya karena kalimat itu, tapi aku enggan mencari jawabannya.

Andro tidak berniat memberi penjelasan.

Ya sudah.

Aku juga tidak berniat meminta penjelasan.

Lagipula, tanpa dia minta pun aku akan menemaninya. Karena bahagiaku adalah ... saat bersamanya.

***

"La, woi! Bangun lo! Kagak shalat Maghrib lo? Udah mau Isya', nih."

Tubuhku refleks terduduk saat merasa ada guncangan dan saat kata 'shalat' memasuki indera pendengaranku.

Tergesa aku turun dan berlari ke kamar mandi untuk berwudhu.

"Jaketnya dilepas dulu kali," kata Icha.

Aku mengikuti sarannya dan kembali tergesa menuju kamar mandi. Saat sudah sampai membasuh kepala, aku merasa ada sesuatu yang ganjal.

Aku berhenti mengambil wudhu dan memeriksa sesuatu tersebut.

ANDROMEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang