"Amel!" panggilku saat melihat Amel yang baru saja keluar dari kelas–mengambil hasil laporan nilai selama semester I ini. "Gimana nilai kamu?"
"Alhamdulillah, nih. Kamu ranking parallel berapa?" tanyanya, lalu merebut laporan nilaiku dari genggaman tanganku.
"Tiga," jawabku singkat sambil mengusap tengkuk belakangku tanda sedikit kikuk.
Ia hanya mengangguk tanpa mengalihkan fokusnya dari laporan nilaiku. Ia seperti sedang mengobservasi nilai-nilai yang tertera di sana.
"La, kamu kok, bisa pinter banget gitu, sih?" sahut Dipta memelas.
Aku tersenyum geli melihat wajahnya yang sudah seperti muka-muka madesu, masa depan suram. "Ya, karena belajar. Lagian aku nggak sepinter itu, kok."
"Nggak usah sok merendah, deh, La," sambar Angga, tapi dengan nada memelas juga. Kemudian ia manyunkan bibirnya seperti sedang merajuk. Terdengar tawa besar yang berasal dari pita suara Dito.
"Kalian ranking berapa sih, emang? Lemes banget?" tanya Dito kepada Angga dan Dipta.
"Limapuluh parallel." -Angga
"Limapuluh satu parallel." -Dipta
"Ketahuan banget suka kerja sama," cibir Amel yang sudah selesai dengan laporan nilaiku. Ia langsung memasukkannya ke dalam tas ranselku.
"Makasih, Mel."
"Ya."
"Kita setia kawan, sih. Nggak kayak kalian bertiga. Berdiri di puncak sendiri-sendiri aja. Kitanya malah ditinggal di bawah jurang!" ujar Dipta dengan nada penuh sindiran.
"Perumpaan yang bagus," kata Dito.
"Iyaa huuuu ... Kalian mah nggak asik!" tambah Angga membenarkan ucapan Dipta.
Aku, Dito, dan Amel masih berusaha menahan tawa kami.
"Asikin aja, dong!" sahutku mencandai mereka, yang disambut dengan apitan maut ketiak Dipta. Bukannya melerai, aku malah mendengar gelak tawa Dito, Amel, dan Angga yang terpingkal-pingkal.
"Rasain, nih! Asik, 'kan?!" ucap Dipta dengan nada jengkel.
Aku tidak menjawab karena apitan ketiak Dipta benar-benar membuatku sesak. Sesak karena aku tertawa begitu hebat. Aku berusaha memberontak dan mencoba melepas apitannya.
"Udah, woy! Kasian anak orang, ntar kalo die gimana, coba?" Terdengar suara Angga yang masih diiringi gelak tawa.
Aku bernapas lega saat apitan itu lepas. Aku merasa dunia sedikit berputar karena sempat kesusahan menghirup oksigen. Walau begitu, aku masih tertawa terbahak-bahak.
Setelah tawa kami mereda, kami terdiam cukup lama.
"Emang Dito ranking parallel berapa?" tanya Amel memecah keheningan.
"Sebelas, Mel. Kamu?"
"Aku tujuh."
"Wihhh ... as expected yee, anak-anak 2A mah emang bibit-bibit unggul." Tiba-tiba Icha sudah berada di belakang Dito dan menyambar pembicaraan begitu saja.
"Alah, ngemeng, ae. Paling kamu juga sepuluh besar parallel!" sahut Dipta semakin sengit. Sepertinya ia sedikit tersinggung dengan kata-kata Icha.
"Ahahaha ... Muka lo kenapa dah, Dip? Madesu amat!" Goda Icha dengan tawa lebar.
"Apaan, sih? Cantik, cantik, nggak jelas!" balas Dipta.
Tawa Icha jadi semakin lebar. "Sengit amat sama gue. By the way, walaupun gue bukan anak 2A, gue bisa megang angka sembilan, dong. Nggak kayak lo berdua!" katanya sambil menepuk-nepuk dadanya, tanda ia sangat bangga pada dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA
Ficção AdolescenteAku tau, sejak awal tak seharusnya aku begini. Mempertahankannya hanya akan membuatku sakit. Namun, aku terus saja berjuang. Tenggelam dalam kebodohan diriku sendiri. Semua orang sudah memberitahu bahwa dia tidak baik untuk hatiku. Namun, apalah art...