#6 Jangan Suka Minum Kopi

39 3 0
                                        

"Cha, liat deh! Gila!"

Langsung kuhadapkan layar HP yang berisikan pesan-pesan Andro pada Icha begitu kami masuk ke kamar.

Icha yang penasaran, tentu saja segera mengambil alih dan membaca apa yang tertera di sana.

"Anjir ... jangan-jangan, temen Farel yang suka sama lo itu Andro, lagi!" ucapnya heboh.

"Hah?! Kalo gitu ngapain dia macarin Via, bego?!" balasku tak kalah heboh mendengar asumsinya.

"Ya mana gue tau kali, ah!"

"Ck, gue nggak mau tengkar sama si wanita ular itu! Malesin!" dumelku sambil memasang muka eneg.

"Ya udah, jangan lo ladenin. Rempong amat," katanya sambil menyerahkan HP-ku, lalu berlalu ke kamar mandi.

"Mau ngapain lo? Cepetan! Gue mau mandi, keburu Maghrib," seruku sedikit berteriak. Karena tidak akan mungkin seorang Alisha Bernanda akan mandi sore. Ini adalah kejorokan Icha yang lainnya.

"Boker bentar!" balasnya yang juga dengan berteriak.

Tuh, 'kan?!

***

"Kak Ella, Kak Icha, ada temennya nih," ujar bunda sambil melongokkan kepala di celah pintu kamar kami yang sedikit terbuka.

"Eh, iya, Bun. Suruh tunggu bentar," jawab Icha.

Aku terpaku dengan bola mata yang membesar serta mulut yang terbuka lebar. "Lah anjir, Cha. Mereka beneran ke sini?"

"Lah, ya, kalo Farel beneranlah. Orang mau jemput gue," tukasnya sedikit sombong. "Muka lo tolong biasa aja. Ngeri tau, nggak?"

"Tai!" umpatku padanya.

"Kakak-kakak?"

Lagi-lagi bunda memanggil kami. Kali ini dengan berteriak.

"Iya, Bunda," responku, yang masih mencoba menerima kenyataan bahwa mereka–ah, lebih tepatnya Andro–sungguhan datang.

Saat aku keluar kamar, si kembar datang menghampiriku.

"Kakak! Katanya nggak punya pacar?" kata Ero dengan ekspresi kesal. Tak lupa juga kacak pinggangnya yang membuat kesan kesalnya semakin jelas.

"Apaan, sih, Ro?! Anak kecil, kok, udah tau pacar-pacar," sahutku dengan tatapan heran melihat mereka seperti ini.

"Ih, Kakak! Kita udah kelas 1 SMP, tau! Beri kami penjelasan! Kakak nggak boleh punya pacar sembarangan. Kak Icha juga!" sahut Edo sambil menudingkan telunjuk kanannya pada Icha.

Aku cuma bisa terdiam, mataku berkedip-kedip melihat dua anak kecil–bagiku–yang sedang menunjukkan perannya sebagai adik lelaki yang baik untuk kami. Tanpa menjawab, aku pergi meninggalkan mereka.

"Adik-adik, nggak boleh mikir pacar-pacaran dulu, ya?" kata Icha yang masih sempat kudengar.

"Kakak! Kok, kita dicuekin, sih?"

"Kak!"

Tak kusangka, ternyata mereka juga memiliki jiwa yang pantang menyerah.

"Ih, Kakak, 'kan, udah bilang kalo Kakak nggak punya pacar. Itu cuma temen Kakak, Dek. Udah sana nonton TV lagi!" seruku dengan sedikit tegas. Mereka hanya merengut lantas menuruti omonganku.

Mataku mencari-cari di mana ayahku berada–untuk meminta izin sebelum pergi.

Belum sempat kutemukan, Ayah sudah menegur kami dari tempat beliau bersantai–kursi kayu di depan jendela ujung ruang keluarga, yang langsung menghadap ke luar rumah. "Kakak nggak jadi bawa motor sendiri?"

ANDROMEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang