"La."
Aku mendengar cicitan Icha yang memanggilku. Seperti ragu-ragu mau bicara atau tidak.
"Hm?"
Aku menjawab tanpa memalingkan pandangan dari acara TV yang sedang kutonton sore ini. Kurasakan ada pergerakan lain di atas sofa yang kududuki. Sepertinya Icha duduk di sisi lain yang sedikit jauh dariku.
"Maaf, ya?" katanya terdengar ragu-ragu.
Melihat aku hanya diam, Icha meneruskan perkataannya. "Tadi tuh gue kebawa perasaan. Kebawa emosi. Apalagi akhir-akhir ini gue pengen banget jodohin lo sama Andro. Jadi pas denger pengakuan Via tadi gue jadi marah banget. Aturan, 'kan, Andro bisa pdkt sama lo kalau mereka udah putus. Eh, si uler kagak mau diputusin. Maaf, ya?"
Aku mengembuskan napas perlahan. "Iya."
"Singkat amat, sih!"
Lah? Udah untung aku jawab iya. Nggak tau diri emang titisan dugong.
"Iya, iya. Sebelum lo minta maaf, juga, udah gue maafin kali," ujarku cepat.
"Hehe ... Makasih, ya?"
"Nggak perlu makasih." Aku mengalihkan pandangan kepadanya. "Emang lo berharap banget, ya? Gue sama Andro?"
Icha mengangguk dengan sangat antusias. "Iya!"
"Emang lo yakin kalo mereka putus, gue sama dia bakal jadi deket? Bakal pdkt?"
Icha terlihat sedang berpikir. "Nggak yakin juga sih, tapi seenggaknya gue bisa ngejodohin kalian tanpa hambatan?" ucapnya dengan keraguan yang sangat kentara. Perkataannya itu malah terdengar lebih menjurus ke sebuah pertanyaan daripada pernyataan.
"Kok ragu?"
"Yaaa, 'kan, belum tahu ke depannya nanti gimana."
Aku manggut-manggut mendengar jawabannya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Nggak ada." Kucoba kembali menaruh perhatian penuh ke acara TV tadi. Namun sayang, pikiranku malah melayang ke mana-mana dan tidak menghiraukan acara itu.
***
"Malam, PakDe. Biasa ya, PakDe. Roti bakar keju plus white coffee, tapi sekarang pake es," aku mengatakan pesanan favoritku dengan senyuman tipis.
"Malam, Neng. Tumben sendirian aja?"
"Iya, nih. Lagi pada sibuk soalnya. Aku duduk ya, PakDe? Nanti panggil aku aja kalo udah jadi."
"Nggak usah, Neng. Biar saya aja yang anter."
"Oh, gitu. Oke deh, PakDe," jawabku dengan mengacungkan kedua ibu jariku.
Malam ini aku memutuskan untuk nongkrong di PakDe walau hanya sendiri. Icha sudah dijemput Farel tepat setelah shalat Maghrib. Aku sampai ragu apa Farel shalat dulu atau tidak sebelum menjemput Icha.
Segala tekanan dari perasaan aneh ini membuatku tidak betah berdiam diri di rumah. Apalagi, di rumah hanya ada Bang Ello. Aku sedang dalam mood yang tidak baik untuk berduaan saja dengan makhluk super ngeselin itu. Karena nantinya aku hanya akan jadi bulan-bulanannya saja. Dan pastinya akan membuat mood-ku semakin buruk.
Aku ingin mencari udara segar. Pikiranku semakin kacau hanya karena seorang Andro.
"Kenapa dia kalau WA cuma pas mau main aja, ya? Kenapa nggak pernah basa-basi kayak temen-temen yang lain?" tanyaku berbisik pada diriku sendiri tanpa sadar. Kutopang daguku dengan kedua tanganku.
Lalu beberapa detik kemudian aku tersadar dengan apa yang aku ucapkan barusan. Refleks aku memukul kepalaku. "Mikirin apa, sih?!"
"Ini, Neng."

KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA
Dla nastolatkówAku tau, sejak awal tak seharusnya aku begini. Mempertahankannya hanya akan membuatku sakit. Namun, aku terus saja berjuang. Tenggelam dalam kebodohan diriku sendiri. Semua orang sudah memberitahu bahwa dia tidak baik untuk hatiku. Namun, apalah art...