#16 Jogja

22 2 0
                                    

Aku sudah selesai mengganti seragam sekolahku dengan baju kaos putih lengan pendek kebesaran dan hoodie motif kotak-kotak yang juga kebesaran sebagai outer, serta celana panjang jeans berwarna hitam.

"Yuk, Ken!" seruku, mengajaknya untuk segera pergi. Namun, yang diajak cuma terus memerhatikan foto-foto yang terpajang di ruang keluarga kami tanpa menggubrisku.

"Ayooo!" ujarku sekali lagi sambil menarik ujung baju seragamnya.

"Bentar, bentar."

Dia mengeluarkan HP-nya, lalu diarahkannya ke salah satu foto masa kecilku dan setelahnya terdengar bunyi aplikasi kamera.

"Heh! Ngapain?"

Dia menyengir. "Kenang-kenangan aja, habis lucu banget."

"Oh. Ya udah, ayok! Kamu juga harus ganti baju, 'kan?"

Dia memandangku cukup lama, lalu berkata, "Kamu nggak nanya, foto tadi buat apa?"

Dahiku mengernyit. "Emang harus nanya, ya? Heran sih, tapi ya ... aku nggak mau ambil pusing aja. Lagian tadi kamu udah bilang, 'kan? Kamu ngefoto itu buat kenang-kenangan soalnya foto itu lucu. Am I wrong?"

Dia menggaruk belakang kepalanya.

"Eh? Iya, ya? Tadi, 'kan, aku udah bilang."

Walau masih tidak mengerti, aku tetap memilih untuk tak ambil pusing. Yang penting foto itu tidak dia gunakan untuk menyantetku saja.

"Ya udah, ayok!"

Sekali lagi kutarik ujung baju seragamnya.

"Ih, jangan tarik-tarik! Ntar putus!"

Aku menatapnya dengan malas.

"Ya kali putus. Robek, Ken, yang bener."

Cengirannya yang khas kembali muncul dan kubalas dengan putaran kedua bola mataku. Aku terdiam, menunggu dia berjalan. Namun, kaki-kaki jenjangnya tak kunjung melangkah.

"La."

"Apa?"

"Kok diem?"

"Nunggu kamu jalan."

"Oh. Ya udah, ayok."

Gelak tawa kami menggelegar, menyadari betapa konyolnya kelakuan kami tadi.

Tanpa ada suara lagi, Kendra memberikan helm padaku, lalu menghidupkan motor dan memberi isyarat dengan tangannya agar aku segera naik.

Sepanjang perjalanan, kami tidak bertukar kata. Aku membiarkan Kendra fokus pada ramainya jalan raya karena aku sangat tau bagaimana habit berkendara Kendra.

Dia tidak pernah 'pelan' dalam berkendara. Jarum speedometer pada motornya selalu hampir menyentuh angka 70-80 dan tidak pernah di bawah 60.

Berkali-kali aku mengingatkan, berkali-kali pula 'iya' yang ia ucapkan. Namun, tetap saja. Laju pelannya hanya mampu bertahan kurang lebih 5 menit, setelahnya akan kembali seperti semula. Karena itu, daripada mulutku capek, lebih baik aku diam dan membiarkannya fokus pada jalanan agar tidak terjadi apa-apa.

Kurang dari 20 menit, kami sudah sampai di rumahnya.

Rumah mewah ini sangat sepi. Tidak hanya di jam-jam kerja. Setiap jamnya memang selalu seperti ini.

Kendra ini anak orang kaya dengan kisah klise pada umumnya. Anak yang jarang diperhatikan karena orang tua yang sibuk mencari uang. Kenakalan yang dibuatnya tentu saja untuk menarik perhatian orang tuanya.

Mama dan Papa Kendra sangat jarang bisa ditemukan di rumah, bahkan oleh anaknya sendiri. Kendra bilang, orang tuanya hanya pulang ke rumah untuk tidur saja. Nadine, adiknya yang baru kelas 5 SD, lebih senang mengurung diri di kamar. Dia hanya keluar untuk pergi ke sekolah dan saat Kendra mengajaknya bermain.

ANDROMEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang