Bagian 7

569 15 0
                                    

"Kita mau ke mana lagi nih?" tanya Via. Kedua tangannya sudah bertengger beberapa tas belanjaan yang dibelinya. Begitu juga Ify, Shilla dan Agni. Namun di antara mereka, Shillalah yang belanjaannya paling banyak. Gadis cantik satu itu memang punya sifat suka berbelanja.

"Pulanglah. Nggak nyadar nih? Belanjaan udah banyak gini. Apalagi Shilla," dumel Agni.

"Yeeee," Shilla meninju pelan lengan Agni walau tangannya sudah penuh dengan tas belanjaan. "Cewek normal tu kayak gini. Suka belanja," Shilla membela diri.

"Lama-lama semua cowok jadi maho kalo semua cewek hobbynya kayak lo," sahut Agni.

"Gimana kalo kita beli minum dulu? Haus banget gue," keluh Ify. Yang lain hanya mengangguk.

Setelah puas belanja dan berhasil memenuhi hasrat hausnya, Ify, Via, Shilla dan Agni memutuskan untuk pulang. Apalagi jam sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih. Karena tadi mereka berangkat menggunakan mobil Via, jadilah Via harus menjadi sopir dengan mengantar temannya pulang satu-persatu.

Agni mendapat giliran terakhir untuk diantar Via karena rumah mereka tak terlalu jauh. "Alvin masih suka SMS lo Vi?" tanya Agni tiba-tiba.

"Haduh. Pliss deh. Sehariiiii aja nggak usah bahas tu anak. Bikin bete aja," gerutu Via.

"Nggak ada topik lain sih," Agni cengengesan.

"Lo sendiri gimana?" Agni langsung menatap Via bingung begitu mendengar pertanyaan Via.

"Gue? Gimana apanya?"

"Gue tau Ag. Masalah yang nggak lo ceritain ke kita-kita itu pasti masalah cowok. So, gimana lo sama cowok itu? Tenang, gue nggak akan tanya siapa cowok itu kok. Jadi lo aman," Via bersikap tenang. sedangkan Agni sudah gelisah karena pertanyaan Via.

"Gue malah bingung harus cerita apa," Agni nyegir.

"Gue curiga. Jangan-jangan cowok itu gue kenal lagi sampe lo nggak mau cerita gini," tebakan Via membuat Agni semakin gelisah.

"Apaan sih lo Vi? Nggak semua masalah itu harus berhubungan sama yang namanya cowok kali," Agni berusaha tenang. "Emang lo?" ejek Agni. Via hanya memanyunkan bibir.

***

Ify memasuki rumah sambil tersenyum senang karena di tangannya sudah ada barang-barang yang ia suka. Dan kebanyakan berbau stich. Ify memang penyuka pernak-pernik stich.

"Lihat tu Ma kelakuan anak perempuan Mama. Masak jam segini baru pulang? Emang ada ya sekolah yang pulangnya maghrib?" Deva mencoba memanas-manasi Mamanya begitu melihat sang Kakak masuk rumah. Deva dan Mamanya sendiri sedang menonton TV di ruang keluarga.

"Tadi Kakak kamu udah ijin ke Mama. Katanya mau jalan sama teman-temannya," jelas Mama Ify dan Deva. Ify langsung menjulurkan lidah dan tak lupa menyuguhkan senyum kemenangan pada Deva.

"Dan Mama ngijinin gitu aja?" Deva memandang Mamanya tak percaya. Ify dan Mama hanya menatap Deva bingung. "Mama, apa Mama tidak menangkap adanya kebohongan di wajah dia?" Deva menunjuk Ify. Yang ditunjuk masih memasang wajah bingung. "Tidakkah Mama sadar? Wajah yang sepertinya polos, tak menjamin dia akan bersih dari kebohongan. Seperti wajah dia," lagi-lagi Deva menunjuk Ify layaknya seorang anak durhaka. Dasar Deva.

"Wah lo nyolot Dev. Sumpah. Nyolot parah," Ify geleng-geleng tak percaya. "Mama lihat sendiri," Ify menatap Mamanya. "Siapa yang sering berperilaku kasar di rumah ini. Dia Ma," kini tangan Ify menunjuk Deva. "Terkutuk kau bawang merah!" Ify menampakkan wajah murka. Mama Ify geleng-geleng kepala.

Satu Wajah Berjuta IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang