Bagian 29

483 8 0
                                    

Debo menghapus darah yang mengalir di sudut kanan bibirnya karena hantaman Rio. "Gue udah peringatin lo baik-baik. Tapi mulut lo minta ditonjok!" dada Rio naik turun menahan emosi. "Silahkan kalau lo mau berusaha deketin Ify. Lo punya modal apa sih? Bukannya lo bisanya Cuma nyakitin dia?" Telak! Debo kalah telak dari Rio. Rio membenarkan jaketnya lalu segera meninggalkan Debo yang tengah mengepal tangannya kuat-kuat.

***

Pernah merasakan? Mencintai seseorang yang sebenarnya hanya patut kita sayangi dan cintai dalam arti tertentu. Selalu berada di sampingnya dalam keadaan apapun karena memang itu peranmu. Dan selalu mendengar keluh kesahnya karena sekali lagi itu peranmu. Tapi kalau rasa itu tumbuh lebih begitu saja kita harus apa? Meredamnya kuat-kuat? Atau berusaha keras menolaknya? Atau mungkin mengungkapkannya dan berharap balasan? Tapi Agni lebih memilih untuk mengungkapkannya. Hanya sekedar agar dia tahu dan lebih menghargai perasaannya. Tanpa menuntut adanya balasan. Tapi.....

"Hayo lo Ag! Ngapain ngelamun mulu?" Curiga wajar bukan? Seorang Agni yang terjenal jutek, tomboy, galak dan sejenis itu melamun di pagi hari.

Agni mendengus kesal. Seenaknya saja Shilla mengagetkannya seperti itu. pagi-pagi sudah membuat mood semakin anjlok."Siapa yang ngelamun? Masih ngantuk gue," bohongnya. Untung penyakit kepo Shilla tak kambuh. Kalau tidak? Mungkin habis diwawancara Agni pagi ini.

"Tadi malem lo kemana? Gue telfon kok nggak diangkat? Telfon ke rumah, kata Mama lo lagi keluar sama Cakka," sepertinya penyakit Shilla datang lagi.

"Biasalah main basket."

"Sampe jam berapa?"

"Jam 10. Makannya gue ngantuk," Shilla hanya mengangguk paham. Sudahlah, pikirnya. Agni melirik Shilla. terlirat gurat keraguan di wajah gadis itu. "Shill?"

"Hemm."

"Gue boleh curhat nggak?" Shilla yang tadinya sibuk dengan ponselnya kini beralih menatap sahabatnya itu. alisnya terangkat sebelah.

"Tumben," sindirnya. "Mau curhat apa?"

"Eh nanti aja deh. Sekalian bareng Ify."

"Ify?" Agni mengangguk.

"Nanti pulang sekolah gue mau ketemuan sama Ify di taman belakang. Lo mau ikut nggak? Kalo lo mau denger curhatan gue sih."

"Tapi Vi..."

"Via nggak ikut," potong Agni cepat.

"Ya udah deh gue ikut," putus Shilla.

***

Rio menunggu Ify di taman belakang sekolah. Tempat mereka berdua biasa bertemu. Beberapa kali ia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. "Ada apa?" tanya Ify yang kini sudah duduk di samping Rio.

"Lo udah ngomong sama Mama lo?" tanya Rio tanpa basa-basi. Rio benar-benar sudah tak tahan dengan berbagai bayangan menyebalkan di fikirannya. Lebih tepatnya ia cemburu jika harus berdiam di rumah, sementara hati dan fikirannya terus tertuju pada Ify yang belajar dengan dibantu Si Debo-Debo itu. Rio sudah bertekad tidak akan memanggil pemuda itu dengan sebutan 'Kak'. Ke pasar beli tomat, BODO AMAT!!!

Ify mengernyit tak mengerti. "Ngomong? Ngomong apa?"

"Debo," Ify terdiam. Satu nama itu berhasil membuatnya langsung tahu apa maksud Rio. tapi untuk saat ini ia juga belum menemukan jalan keluar yang terbaik. Sebenci-bencinya ia pada Debo, Ify tak mau melibatkan orang tua mereka. Egois sekali rasanya.

Satu Wajah Berjuta IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang