Bagian 8

511 16 0
                                    

Apa yang salah dari mencintai seseorang? Tidak ada kan? Aku hanya ingin menjaganya. Dan berusaha menjadi orang yang selalu ada untuknya. Tapi mengapa dia begitu membenciku? Apa aku pernah mengucapkan sesuatu yang menyakiti hatinya? Kurasa tidak. Untuk sekedar bertegur sapa saja aku belum pernah. Bahkan temanku sendiri bilang kalau aku berubah menjafi robot jika berada di dekat gadis itu.

"Apa gue nyerah aja ya?" gumam Alvin. Minggu malam ini digunakan Alvin untuk sekedar merenung di tepi kolam renang rumahnya. Kaki panjangnya ia celupkan ke dalam air, semacam untuk relaksasi. "Mungkin emang itu yang harus gue lakuin. Daripada dia nggak nyaman sama gue?" putus Alvin.

Perilaku Via yang mencerminkan rasa tak sukanya pada Alvin sudah begitu nyata. Mulai dari balasan SMS yang sangat menyayat hati, sindiran-sindiran tajam gadis itu, dan bahkan penolakan langsung gadis itu. Rasanya tak mungkin untuk Alvin mendapat kesempatan. "Semoga hubungan kita bakal lebih baik Vi. Walaupun hanya sebatas teman," do'a yang tulus dari seorang Alvin.

Jika orang punya batas kesabaran, mungkin itu yang sekarang Alvin alami. Dia memang punya kesabaran, tapi kesabarannya juga memiliki batasan. Hal yang normal. Tapi, percayalah. Cinta itu masih ada. Hanya ia ingin membebaskan si pencuri hati dan merestuinya untuk bahagia. Cinta tak terbalas memang menyesakkan, tapi cinta karena paksaan juga tak menjamin tumbuhnya kebahagiaan.

***

"Haduh. Hari senin bukannya pada berangkat pagi malah siang. Mentang-mentang kena jatah piket apa?" dumel Via karena teman-teman yang satu regu piket dengannya belum juga datang. Padahal bel masuk kurang dari 15 menit lagi. Jadilah Via menjalankan tugasnya seorang diri.

"Coba lo nglakuinnya ikhlas, pasti lebih enak ngejalaninnya," ucap seseorang yang tiba-tiba membantu pekerjaan Via.

"Alvin?" gumam Via tak percaya. Alvin hanya menanggapinya dengan senyuman.

Keterkejutannya membuat gerakan Via berhenti tanpa sadar. Matanya masih menatap kosong sosok di depannya, sedangkan mulutnya sedikit terbuka karena reflek terkejut.

"Ya elah Vi, malah bengong. Cepetan! Entar keburu bel," Alvin mengibas-ibaskan tangan di depan wajah Via untuk menyadarkan gadis itu. Via pun kembali tersadar.

"Eh iya iya," ucapnya gelagapan.

Meski diliputi rasa canggung, Via dan Alvin berhasil memasukkan semua kotoran dari kelas ke bak sampah. Tak mau semakin lama dalam suasana ini, Via memilih untuk segera masuk kelas. Namun langkahnya terhenti begitu tangan Alvin mencengkeram lembut pergelagan tangannya.

"Vi, gue boleh ngomong bentar?" tanya Alvin ragu. Via hanya mengangguk dan berusaha sebiasa mungkin. "Gue tau. Kesan pertama kita ketemu langsung rusak karena gue. Tapi jujur, gue pengen deket sama lo. Karena menurut gue, lo itu orangnya asik, lucu, dan enak diajak ngobrol," jujur Alvin. "Lo mau ngulang semuanya dari awal? Lupain perilaku norak gue kemarin dan memutuskan untuk temenan sama gue?" tanya Alvin. Via sempat terlonjak kaget. Maklum saja. Ini pertama kalinya ia terlibat pembicaraan secara langsung dengan Alvin. Namun akhirnya Via hanya mengangguk dan disambut senyum senang oleh Alvin. "Kalo gitu kenalin," Alvin mengulurkan tangannya. "Gue Alvin," Alvin memperkenalkan diri.

Walau merasa ragu, akhirnya Via pun menyambut uluran tangan Alvin. "Via," ucapnya. Lagi-lagi Alvin tersenyum. Senyum yang menurut Via sangat tulus dan bersahabat.

"Mulai sekarang kita temen kan?" tanya Alvin. Via mengangguk.

"Iya. Kita temen," Via pun ikut tersenyum.

***

"Lo kenapa sih Vi? Dari tadi senyam-senyum sendiri," tanya Ify yang heran dengan tingkah laku Via. Sedari ia melihat Via di kelas, gadis itu hanya senyum-senyum tak jelas.

Satu Wajah Berjuta IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang