Part 19: Hello Trouble

576 22 0
                                    

Tidak ada satu orangpun yang terlintas dikepala Latisya untuk ia beritahu tentang masalah ini. Termasuk kedua sahabatnya. Tangisannya tanpa henti, matanya semakin sembab. Beberapa kali ia mencoba untuk berhenti menangis namun tak pernah berhasil. Ia ingat ada janji dengan Ghildan untuk makan malam bersama dirumah sang pacar, tapi semakin ia mencoba untuk berhenti menangis, air mata itu justru semakin mengalir deras. Ia rindu Sarah. Mamanya. Seandainya ada Sarah, masalah ini tidak akan ia tanggung sendiri. Ia juga tidak akan terlalu sakit hati jika Sarah yang memberitahu tentang masalah ini.

Dina pasti tidak akan mau menerimanya. Apalagi anak perempuan itu, dia juga akan sangat membenci Latisya. Bagaimana jika Wijaya benar-benar mengenalkannya dengan saudara beda ibu yang ia lihat tadi siang? Bagaimana jika gadis itu malah semakin membenci dirinya? Latisya kini tanpa tempat berlindung. Wijaya pasti lebih memilih Dina dan anaknya dibanding dirinya.

Hidupnya semakin sulit. Kepada siapa dia harus bercerita? Sia-sia saja jika dia harus bercerita dengan Vanya ataupun Tania. Mereka hanya bisa memeluk dan mengusap punggung Latisya. paling-paling hanya mencoba menenangkan tanpa memberi solusi.

Semua perempuan melakukan itu pada sahabatnya.

Pandangan Latisya mengarah pada sebuah benda kecil berbentuk segitiga yang terbuat dari kaca. Didalam kaca tersebut terdapat replica pohon kecil yang jika di gerakan atau di shake akan menghamburkan butiran putih berbentuk seperti salju yang jatuh di pohon tersebut. Benda terindah yang pernah Apan berikan untuknya, saat ia bercerita bahwa ia ingin sekali merasakan musim salju. Mata Latisya berpindah menatap sebuah buku harian bersampul putih yang juga Apan berikan untuknya. Ia berlari menuju meja belajar dan mengambil buku tersebut dan kembali duduk di ranjang mengamati dua benda pemberian Apan untuknya.

"Kangen aku, liat mainan ini. Ada masalah, tulis dibuku ini"

Apan pernah bilang begitu. Tapi jarang sekali ia laksanakan. Ia malas menulis, ia ingin berbicara langsung pada Apan. Kemana manusia itu? Tanpa kabar sama sekali. masih ingatkah pada dirinya? Masih maukah bertemu dengan dirinya? Masih ingatkah dengan janjinya bahwa dia akan menjaga Latisya kapanpun? Masih sanggupkah mendengarkan kecerewetan Latisya setiap waktu? Pernahkah menginjakan kakinya lagi di tanah air?

Kemana manusia tertutup itu? Menghilang tanpa jejak.

***

Sepasang mata Ghildan tak bisa lepas dari dua potret berbeda yang kini sedang ia pegang pada kedua tangannya. Dua gadis berbeda dengan pose berfoto yang sama. Rambut panjang tergerai, wajah manis bercirikhas, tubuh mungil, kulit kuning langsat dan tanpa make-up. Dua hal yang membedakan, kedua gadis itu sama-sama memakai seragam, namun yang satu memakai seragam SMA dan yang satunya lagi seragam SMP, kedua gadis itu sebaya namun di potret tersebut usia mereka berbeda karna pengambilan gambar yang berbeda waktu.

Wajah mereka tak sama, namun setipe bagi Ghildan. Kedua gadis yang ia cintai, dan masih ia cintai. Mengapa dia harus datang ketika hatinya sudah dimiliki orang lain?

"Cinta itu ibarat mecin" satu suara mengejutkan Ghildan dari lamunannya. Ia menoleh kebelakang, satu sosok berbadan tinggi kurus sedang duduk bersandar di kursi meja belajarnya sambil menjepit kuku jarinya tanpa menatap Ghildan.

"Apaan sih, Mba. Ngagetin aja" Ghildan melengoskan pandangan, berhenti menatap Clara yang masih dengan urusan kuku jarinya.

"Cinta itu kayak mecin" ulang Clara. Dua kali, tapi tak digubris oleh Ghildan "Kalo kebanyakan. Bakalan buat lo bego. Kayak sekarang"

"Apaan sih gak jelas banget"

"He Bocah. Gak usah sok-sok'an nyembunyiin deh. Gue tau apa yang lo rasain"

Fall4 You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang