Pilihannya

4.1K 231 1
                                    

"Assalamu'alaikum" ucapku

"Wa'alaikumsalam" sahutan dari dalam kamar Alina.

Rafa  langsung menghampiri Alina, aku? Aku hanya duduk di sofa.

"Ukhti, kami harus kembali ke asrama, semoga lekas sembuh ya!" ustazah aisya pamitan pada Alina.

"Yaah, harus kembali ke asrama deh" nampak aida yang cemberut di sana.

Suara Aida membuat Rafa menoleh, sepertinya dia menangkap sesuatu di sana

"Aida?" Rafa membuka pertanyaan.

"Iya, ni Aida" jawabnya malas

"Wah, anggun sekali dengan pakaian seperti ini"
Rafa nampak tidak percaya. Iya, dulu Aida sangat periang orangnya, semenjak dia diasramakan sikap nya perlahan mulai lemah lembut, walau gak bisa dipungkiri, kadang dia bertingkah seperti aslinya.

"Gak mau peluk bang Rafa ni?" pertanyaan Rafa sukses membuat kedua mulut ustazah Aida menganga.

Dulu di New York, Aida sangat senang bermain dengan Rafa, tiap hari minta peluk dari Rafa, kalau Rafa nya gak mau dia pasti akan ngambek seharian.

"Idih, maaf ya bang Rafa, saya ini santri, perkenalkan ini kedua ustazah saya, so kalau ada kesempatan kita berjumpa kembali, tolong di jaga sikapnya ya!" komen Aida sambil menunjukkan senyuman khas nya.

Rafa nampak tidak percaya dengan yang ada di depannya sekarang, Aida yang sekarang berbicara sangatlah berbeda dengan Aida yang di New York.

"Bang adli, kak Alina, aida pamit ya, insyaallah Aida akan jenguk kak Alina lagi. Aida gak bisa nginap, karena lagi ada ujian pengajian di asrama" aku mengangguk mengisyaratkan iya.

"Iya Aida, kak Alina kan udah ada yang jaga, di sini ada bang Adli, bang Rafa, nanti umi sama abi kak Alina juga akan jagain kak Alina" Alina menjelaskan

"Iya Aida" ustazah sarah mendukung pernyataan Alina.

"Baiklah, pak adli, pak rafa, ukhti, kami pamit ya assalamu'alaikum" ustazah sarah menambahkan.

Alina menggangguk berarti mengiyakan. Aku mengantar mereka sampai di pintu, dan kemudian kembali duduk di sofa.

"Rafa, lo gak pulang?"

"Lo nguair gue? Gak gue gak mungkin ninggalin Alina sama lo, gue akan nunggu abi sama umi alina kemari.

" Alina harus istirahat, kalau lo di sini gimana dia istirahat?"

"Alina gak pa pa kok abang" alina membuka suara.

" kenapa lo jadi peduli sama dia? Lo takut Alina bakal ninggalin lo dan milih gue?"

Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Rafa.

"Setelah Alina jadi kaya gini gara-gara lo, gue makin yakin, lo gak bisa ngejaga Alina"

Aku bangun dan keluar dari kamar Alina.

"Abang mau kemana?"

"Abang mau cari angin sebentar"

Rafa mengikuti ku dari belakang sampai kami sampai di belakang rumah sakit. Aku yang merasa panas karena omongan Rafa dari tadi langsung mendaratkan sebuah tinju ke pipi rafa, rafa membalas tinjuku dan kami bergulat di sana.

"Stop" teriak Rafa. Aku juga menghentikan aksiku.

"Lo kenapa Adli? Gue yang seharusnya marah sama lo, kenapa lo yang naik darah gini?" teriak Rafa dengan nafas terengah-engah.

Aku duduk di rumput dengan darah dan memar di pipi. Rafa juga duduk di samping aku.

"Gue menyesal" satu kata keluqr dari mulutku.
Rafa menghembuskan nafas dan menunjukkan senyum miring nya.

"Lo menyesal? Sekarang? Setelah Alina hampir mati gara-gara lo? Gue tau bro, gue tau semua, lo gak pernah memperlakukan Alina dengan baik, lo selalu nyakitin perasaan dia, dan gue pastiin yang kemaren adalah yang terakhir"

"Apa malsud lo?"

"Apa maksud gue? Gak ada, gak ada maksud apa-apa, gue cuma mau Alina bahagia"

'Rafa pasti mau mendapatkan alina kembali' batinku.

"Sayangnya, dia cuma mau lo yang ngebahagiain dia"

Aku mengerutkan keningku

"Iya, Alina cuma mau lo. Gue tau, tadi sebelum gue ngikutin lo ke sini, alina cerita semua sama gue, carolin berada di balik semua ini, sekarang gue minta sama lo, jagain dia, dia terlalu berharga untuk lo sakitin" Rafa mulai berdiri dan berbalik ninggalin gue.

"Rafa" aku memanggilnya dan dia berbalik.
Aku mengulurkan jabat tangan persahabatan, dia menerimanya.

Engkau Jawaban Istikharahku√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang