Pernah ada kita, meski saat ini, yang tersisa tinggal kenangan dan cerita.
***
"Tumben ngajak gue makan di resto, abis dapet durian runtuh lo?"
Davika menggeleng, ia nyengir ke arah Aluna, lalu pandangannya beralih ke buku menu yang baru saja di antar oleh pelayan.
"Yee nggak gitu juga, kemarin kakak sepupu gue nerima gaji pertama, terus gue dikasih duit deh, anggep aja gue bagi rezeki ke lo, haha."
Aluna mendengus, "Bodo amatlah, yang penting makan enak dan gratis. Gue mau ayam Saus Inggris satu, terus steak daging medium sama minumnya milkshake pisang."
"Lo mau bikin gue bangkrut?"
Aluna mengangkat kedua bahunya, "Katanya mau nraktir? Ya sekalian dong."
"Kayaknya gue salah deh ngajak lo makan di sana."
"Sekali-kali, udahlah."Davika berdecak, ia membiarkan pelayan mencatat pesananya dan Aluna, sementara dirinya hanya memesan satu porsi nasi goreng Pattaya dan acar lobak.
Restoran ini memiliki konsep klasik, cukup pas jika didatangi bersama keluarga. Namun, Aluna mendesah, bayangan makan bersama papi dan maminya hanya tinggal bayangan. Kenyataannya, sejak palu hakim diketuk sepuluh tahun lalu, angan seperti itu tak akan pernah terwujud. Kedua orang tuanya dulu saling mencintai, namun karena perbedaan prinsip dan buruknya komunikasi di antara keduanya, perpisahan menjadi akhir yang menyedihkan bagi papi dan maminya. Aluna masih ingat, maminya yang memiliki toko kue sibuk mengurus bisnisnya itu, sementara papinya sibuk dengan urusan bisnisnya sendiri. Kedua orang tuanya tidak memiliki komunikasi yang baik, tidak pernah menghabiskan waktu bersama, hingga satu kenyataan terkuak. Maminya pernah mengatakan jika pernikahan mereka lebih baik berakhir, karena sang papi menemukan cinta lain yang lebih berharga daripada apa yang diberikan oleh maminya. Ya, seseorang yang saat ini menjadi istri papinya, mama Diah.
Mungkin, hal tersebut yang membuat Aluna selalu ragu ketika menjalin sebuah hubungan. Tak hanya papi dan maminya, orang-orang di sekitarnya pun memiliki pernikahan yang berakhir dengan perceraian. Om Thomas da Tante Lidya, Nenek Karimah dan Kakek Handoko, lalu ada nenek buyutnya yang dulu juga bercerai, atau teman-teman Aluna yang menikah muda dan bercerai setelah dua tahun. Semua itu membuat Aluna tidak yakin terhadap sebuah komitmen, di kepalanya selalu terdoktrin, ujung dari komitmen adalah perpisahan. Dan, bolehkah Aluna membenci itu? Karena, ia sudah pernah membuktikannya dengan Zello.
"Luuunnn, astagaaa gue dari tadi ngomong lo, nggak didengerin sih? Tuh pesenan udah dateng," kata Davika dengan nada yang sedikit meninggi, Aluna meringis.
"Maaf, lagi kepikiran sesuatu."
"Apaan? Zello?"Mata Aluna melotot, ia menggeleng sambil menatap Davika yang malah cengengesan.
"Papi sama mami. Kangen," kata Aluna singkat. Davika tersenyum miris, ia menatap iba sahabatnya itu.
"Sabar Lun. Gue pun kadang gitu, orang tua gue memang masih sama-sama, tapi mereka sering ribut. Kadang, gue juga kangen sama mereka yang dulu."
Aluna terkekeh, memasang wajah cerianya. Ia mulai meminum milkshake pisang yang tadi ia pesan. Menampilkan wajah baik-baik saja di depan Davika. Tapi, pandangan di depannya menghentikan acara minumnya. Papinya sedang makan bersama keluarganya yang lain, ada mama Diah, Jani dan Rama--adik tirinya. Mereka tampak bahagia, sesekali papinya menyuapi si kecil Rama yang baru berusia sepuluh tahun. Sejak dulu papi memang menginginkan anak laki-laki, dan doanya terjawab melalui Rama. Ada sesak yang menghantam dada Aluna saat menyaksikan semua itu. Bolehkah Aluna iri dengan mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Love My Ex
General FictionSeries Campus 2 Bersahabat dengan mantannya mantan pacar? Why not? Berada dalam satu organisasi dengan mantan dan dia adalah ketua departemen tempatmu menjadi pengurus? Uh tunggu, itu enggak baik buat cewek yang sedang dalam upaya untuk move on. ...