Bahagiaku sederhana, cukup kita bersama dan saling mengobati luka.
"Ya."
Zello menjawab singkat, membuat mata Aluna semakin melebar.
"Gimana bisa? Bukannya itu bukan tulisan tanganmu?"
Zello terkekeh, ia memandang Aluna jenaka. Wajah gadis itu tampak kesal.
"Memalsukan tulisan tangan itu gampang, Lun. Tinggal belajar nulis tegak bersambung sama Dira, kamu udah nggak ngenalin tulisanku kan?"
"Kok gitu? Terus caranya naruh di tasku gimana?"
"Nitip temen sekelasmu."
Aluna berdecak, gadis itu tak habis pikir bagaimana Zello bisa seperti ini? Surat-surat yang ditulis di origami berbentuk segitiga itu ternyata dari Zello. Ia pandangi ombak yang menghantam sisi jembatan, udara pantai pada malam hari terasa dingin. Pantai di utara Jakarta ini menjadi saksi bersatunya mereka setelah berpisah sekian lama.
Tidak ada yang bersuara setelah itu, tampak dua manusia itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Zello mengamati rambut Aluna yang diterbangkan angin, ia raih tangan Aluna, menggenggam tangan itu untuk memberi kehangatan. Kebersamaan ini mungkin tidak bernama selamanya, ada saatnya semesta membuat perpisahan di antara mereka. Entah karena tidak berjodoh atau mungkin maut yang memisahkan, tidak ada yang tahu bagaimana masa depan. Namun satu hal, Zello tahu perasaannya pada Aluna sudah terlalu dalam, dan tidak mungkin begitu saja hilang, jika suatu nanti Tuhan tak membuat mereka bertemu di ujung yang sama.
"Kalau kamu nyakitin aku lagi, aku boleh pergi lagi kan, Zel?"
Suara itu keluar dari mulut Aluna. Zello yang masih memandangnya sempat terkejut, ia membuang napasnya, mengalihkan pandangannya dari Aluna dan mengeratkan genggaman tangan mereka.
"Kamu boleh pergi."
"Kalau gitu jangan biarin aku pergi."
"Never," kata Zello memandang penuh yakin langit di atas sana, meski ucapannya pada Aluna bukan sebuah janji, ia akan mencoba untuk menepatinya. Ia tidak ingin kehilangan lagi, karena kehilangan pernah membuatnya sakit sekian lama, kehilangan pernah membuatnya pura-pura bahagia meski yang ada dalam hidupnya saat itu hanyalah kehampaan.
"Manusia hanya bisa berencana, Zell. Mami bilang kalau papi akan selalu bareng aku dan mami, tapi papi dengan gampangnya ninggalin aku sama mami. Kalau suatu saat kamu ketemu sama orang yang lebih tepat dan ninggalin aku kayak papi, kamu bilang jauh-jauh hari ya, Zell. Jangan nunggu aku pas udah sayang banget sama kamu."
Laki-laki itu melepas genggaman tangannya pada Aluna, ia tatap wajah Aluna yang tampak menahan tangis. Mungkin teringat pada perceraian kedua orang tuanya. Zello merengkuh Aluna dalam pelukannya, memberi keyakinan pada gadis itu, kalau ia bukan papi Aluna yang akan dengan mudah meninggalkan Aluna begitu saja, ia adalah Zello dengan sebuah harapan untuk selalu bersamanya.
Langit malam dan rengkuhan Zello terasa nyata bagi Aluna. Ia membiarkan semuanya terjadi, semesta dan desiran ombak adalah saksi untuk sebuah komitmen yang baru ia buat atas dirinya sendiri. Bahwa, untuk sembuh dari luka, ia harus melangkah melawan belenggu yang dibuat oleh luka itu. Dan, ia percaya, di dunia ini luka tidak akan bertahan selamanya.
***
"Udah jadian lagi nih? Apa gue bilang?"
Davika mencibir sambil memakan setoples kripik singkong yang ia ambil dari dapur Aluna. Gadis itu sejak setengah jam lalu setelah mendengar cerita Aluna tidak berhenti juga menertawai Aluna. Membuat Aluna lama-lama kesal luar biasa.
"Lo udah ngabisin setoples kripik kentang gue ya, Dav. Dan sekarang lo mau ngabisin kripik singkong juga?"
"Elah, pelit amat. Itung-itung pajak jadian deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
So I Love My Ex
General FictionSeries Campus 2 Bersahabat dengan mantannya mantan pacar? Why not? Berada dalam satu organisasi dengan mantan dan dia adalah ketua departemen tempatmu menjadi pengurus? Uh tunggu, itu enggak baik buat cewek yang sedang dalam upaya untuk move on. ...