Cerita di Surabaya

105K 12K 372
                                    

Bisakah kamu menghapus sebuah keraguan, dan menjadikan yang telah terberai kembali utuh?

           

Aluna segera menuju rumah sakit menggunakan taksi online, setibanya ia di bandara Juanda, Surabaya. Gadis itu sibuk berdoa dalam hati, semoga maminya baik-baik saja. Mami adalah satu-satunya orang yang mampu mengertinya sejauh ini, jika sesuatu terjadi pada maminya, entahlah, apa yang akan Aluna lakukan. Ia tidak pernah siap untuk kemungkinan terburuk.

Keluar dari taksi, Aluna lantas menuju ruang inap mamanya yang telah diberitahu omnya lewat pesan Whatsapp. Wajahnya tampak cemas, ia menaiki lift dengan tidak sabaran. Kakinya bergerak gelisah, berkali-kali ia melihat ke ponselnya, kalau-kalau omnya mengabarinya sesuatu. Setibanya lift di lantai tempat maminya dirawat, gadis itu langsung begegas menuju kamar maminya. Di luar kursi tunggu, ada Om Fandy dan sepupunya Rajendra yang sedang duduk di sana. Buru-buru Aluna menghampiri dua orang itu.

"Mami gimana, Om?"

"Kamu tenang dulu, Lun. Mamimu baik-baik saja, ada Tante Mitha di dalam."

"Alhamdulillah, Aluna masuk dulu ya, Om."

Om Fandy mengangguk, dan membiarkan Aluna masuk untuk bertemu maminya. Alisa—maminya tampak terbaring di atas bangkar, dan ditunggui oleh Tante Mitha.

"Mi, Ya Allah. Mami kok bisa gini sih?"

Aluna menyalami tangan maminya yang tampak lemas, wanita itu tersenyum lembut pada Aluna.

"Mami sakit apa?"

"Mami nggak papa, Lun. Cuma sakit lambung."

Mata Aluna melotot. Cuma? Maminya bilang Cuma? Padahal sakit lambung itu bukan penyakit yang bisa dianggap enteng, sudah banyak kasus dimana penderita sakit lambung kehilangan nyawanya. Aluna menunduk di samping maminya, menggenggam tangan maminya.

"Tante, makasih ya udah jagain mami."

"Kita saudara Aluna, harus saling bantu." Tante Mitha tersenyum, mengelus puncak kepala Aluna.

"Kamu belum makan, Lun?" tanya maminya, Aluna menggeleng. Ia tak akan nafsu makan jika keadaan maminya seperti ini. Siapa yang bisa makan dengan tenang ketika orang yang disayang terbaring sakit?

"Kamu makan dulu ya, Lun. Mami nggak mau kamu sakit."

"Nanti aja, Mi."

"Mbak Alisa benar, Lun. Kamu makan dulu ya, biar diantar Rajendra."

"Nggak, Tan. Aluna belum laper."

Tante Mitha menggeleng, ia lalu berdiri dan berjalan keluar untuk memanggil Rajendra—sepupu Aluna yang usianya terpaut satu tahun di bawah Aluna, dan saat ini berstatus sama dengan Aluna, mahasiswa semester dua, karena Aluna sempat menunda kuliahnya satu tahun.

"Mbak, ayo makan dulu," ajak Rajendra, Aluna menatap maminya.

"Makan dulu, Lun," kata maminya, Aluna mengembuskan napasnya.

"Aku pergi dulu, Mi. Tan," pamitnya, lalu meninggalkan ruang inap maminya dan pergi bersama Ranjendra. Di depan kamar inap maminya, ia sempat berpapasan dengan seorang pria paruh baya berkemeja biru tua, membuat Aluna bingung, siapakah laki-laki itu, dan apa hubungannya dengan sang mami?

"Ndra," kata Aluna, begitu ia naik ke dalam mobil Rajendra. Sepupunya yang berdarah Chinese—keturunan dari mamanya itu menatap Aluna sekilas.

"Kenapa, Mbak?"

"Kamu kenal pria di depan ruang rawat mami tadi?"

"Oh, kata papa itu teman Tante Alisa, Mbak."

Dahi Aluna mengerut, "Teman? Sejak kapan?"

So I Love My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang