Crazy

106K 14.1K 1.6K
                                    

Nggak semua rasa harus bersama untuk bahagia. Perpisahan, nggak selalu dinamai kesedihan.

***

Aluna berpamitan ke kantin beberapa waktu lalu. Hanya tersisa Shilla dan Zello yang dibalut keheningan. Shilla tak banyak bicara seperti biasanya, gadis itu hanya memerhatikan Zello sesekali, membuat Zello merasa tidak nyaman. Diakui Zello, ia sempat kagum dengan perubahan Shilla yang tiba-tiba, Shilla terlihat berbeda dan cantik tentu saja. Hijab di kepalanya membuat wajah Shilla tampak segar.

"Lo kenapa tiba-tiba pake jilbab?"

Zello mengeluarkan suaranya setelah diam untuk beberapa lama. Laki-laki itu menatap Shilla sekilas.

"Ya, karena mau jadi yang lebih baik lagi."
"Klise, Shill. Pasti ada alasan kuat di balik itu."

Shilla tersenyum tipis, matanya terpaku pada Zello yang lebih banyak diam sepeninggal Aluna.

"Lo suka nggak kalau gue pake jilbab?" Shilla bertanya.

Zello membuang napasnya, mengalihkan tatapannya pada acara televisi yang sedang menampilkan tayangan musik dari chat billboard.

"Kalau hijrah lo bukan karena Tuhan, tapi karena manusia, gue nggak suka Shill. Jangan jadiin gue sebagai alasan buat lo hijrah, tapi Tuhan dan diri lo sendiri," kata Zello telak. Shilla memandangnya dengan gelisah.

"Gue--gu--"
"Gue udah bilang, jangan berharap sama gue, Shill. Gue suka sama orang lain."
"Siapa?" Napas Shilla tersekat. "Cewek tadi?" Tebaknya.

Zello tak memberi jawaban, karena ia merasa itu privasinya. Shilla tak berhak tahu ketika orang yang bersangkutan pun bahkan masih meragukan perasaannya. Lantas, mengapa orang lain harus diberi tahu?

"Jangan lepas hijab lo, sekali pun tujuan awal lo pakai itu salah. Pertahanin, Shill."
"Kata Indah, cowok kayak lo biasanya suka cewek baik-baik, maka dari itu gue pakai hijab. Gue tahu tujuan awal gue salah, tapi apa salahnya gue berharap. Keinginan gue nggak bakal terwujud kalau gue nggak ngelakuin apa-apa, dan ini salah satu tujuan gue buat memperjuangkan lo, Zell."

"Sori, Shill."

Shilla mengerjap-erjapkan matanya, ia hanya menunduk. Sepertinya usahanya memang sia-sia, Zello bukan tipe laki-laki yang menuntut pasangan sempurna.

"Gue nggak masalah kalau orang yang gue suka nggak pakai hijab, karena mungkin dia belum berproses ke arah sana, Shill. Manusia berubah itu butuh waktu, gue nggak mau maksain orang yang gue suka pake hijab, gue yang bakal nuntun dia nanti, buat jadi baik, sama-sama belajar dengan gue."

Shilla mengangguk gamang, kepalanya dipenuhi oleh kalimat penolakan Zello. Sampai di sini, dia paham laki-laki itu mungkin telah memiliki keyakinan besar pada gadis yang disukainya. Dan, Shilla harus menerima kenyataan jika itu bukan dirinya. Kenyataan memang lebih sering menyakitkan bukan? Namun, Shilla sudah cukup senang, untuk pertama kalinya mereka berbicara panjang lebar di luar urusan kuliah dan organisasi.

"Emh, maaf ganggu. Aku cuma mau pamit."

Suara seseorang memecah keheningan di antara Zello dan Shilla.

"Ini sudah malem, kamu pulang sama siapa?" Tanya Zello pada Aluna, gadis itu menggaruk belakang kepalanya. Tadi dia menebeng pada Nimas, tak membawa kendaraan.
"Taksi online deh, gampanglah."
"Nggak, kamu masuk dulu. Arsyad sama mama bentar lagi datang, biar kamu diantar dia."
"No no. Nggak perlu, bisa pulang sendiri."
"Nggak, Lun. Kamu di sini sampai malam karena permintaan mama, biar Arsyad yang mengantarmu."
"Dia bisa pulang bareng gue, Zell. Gue udah dijemput sama Indah."

So I Love My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang