Pengabdian Masyarakat

111K 12.7K 456
                                    

Takdir itu tak mungkin selamanya tetap, Tuhan mempersilakan kita mengubahnya, sama sepertimu yang tak mungkin selamanya menetap, kamu bisa pergi kapan saja, lenyap.

***

Zello, Aldo, Io dan Ahmed sedang duduk di emperan sebuah bangunan SD. Tempat itu ada di tepi sungai, tak jauh dari tempat mereka menginap, satu-satunya bangunan sekolah yang ada di sini--merangkap SMP. Putung rokok bertebaran di mana-mana, Ahmed dan Io sudah menghabiskan beberapa rokok sejak mereka duduk di sini, satu jam yang lalu. Aldo sendiri memilih mengisap vape yang baru dihisapnya sejak lima belas menit yang lalu.

"Kita nggak jadi bikin asosiasi baru, Asosiasi A maksa buat ngusung lo, dan gue udah kehabisan akal buat nolak, basis mereka gede, mau nggak mau kita kudu gabung, kans buat lo juga gede, nama-nama kemarin bisa dijadiin timses," kata Aldo, ia buka suara setelah mereka hanya diam. Membiarkan angin malam menyelimuti tubuh, membuat sedikit mengigil karena dingin.
"Pemira masih lama, dan lo udah ngomongin soal ini, Do," kata Zello sambil menyesap kopi hitamnya.
"Kita memang harus menentukan calon sejak lama, Zell. Dan, ya meski di kampus kita pemenang nggak bisa ditentukan sejak jauh-jauh hari, tapi gue yakin lo bakal menang."
"Apa jaminanya?"
"Mahasiswa berperestasi tahun ini, peraih medali emas PKM, Putra Universitas tahun ini, dan, apa perlu gue sebutin semuanya? Well, mungkin nggak ada yang tahu kalau lo juga magang jadi editor di perusahaan bokap lo. Kalau sampai mereka tahu--"
"Lo nggak perlu memperjelas semuanya, Do," potong Zello, Aldo hanya tertawa. Aldo tahu, banyak maba dan perempuan yang menganggumi Zello. Itu keuntungan tersediri ketika Zello ikut Pemira.

"Aldo benar Zell. Mau nggak mau, lo kudu siap buat maju." Ahmed menyahut.

Zello diam untuk beberapa saat. Bukankah dia memang tidak ada pilihan selain setuju? Menjadi pemimpin memang memiliki tanggung jawab besar, tapi, Zello sudah terlanjur berkecimpung di dunia ini. Apa pun risikonya ia harus terima. Ia akan seperti papanya yang berani ambil risiko.

"Ya, gue nggak punya pilihan lain," kata Zello. Aldo tersenyum tipis, Io sibuk dengan ponselnya dan Ahmed menepuk bahu laki-laki itu.
"Asal lo mau jadi wakil gue, Do."

Senyum Aldo pudar, ia menatap Zello dengan muka datar.

"Ada baiknya wakil lo dari fakultas lain, Zell. Tenang, gue bakal jadi menteri lo kalau lo jadi," pungkas Aldo.

Zello membuang napasnya, ia beranjak berdiri saat matanya melihat air sudah naik ke daratan. Hampir setiap malam, air memang akan naik ke pemukiman penduduk, tak jarang sampai masuk rumah. Air itu berasal dari lautan yang pasang dan sampai pada sungai yang mengarah ke muara.

"Gue balik dulu," kata Zello, lalu meninggalkan teman-temannya, membawa cangkir kopinya yang sudah kosong.

Zello berjalan, akan kembali ke rumah yang dijadikan tempat untuk menginap, saat melewati dermaga, mata laki-laki itu berserobok dengan tubuh seorang perempuan yang telah ia kenal. Aluna, ada di dermaga kecil yang hampir tenggelam karena air. Ia memutuskan untuk menghampiri Aluna, yang tengah mengacungkan ponselnya ke atas.

"Kamu ngapain?" Tanya Zello membuat Aluna tersentak.
"Astaga Tuhan, ngagetin tahu nggak?"
"Oh, ya?"
Aluna mengangguk sebal, ia sibuk lagi dengan ponselnya.
"Nyari sinyal internet hm?"
"Iya, tadi ada dikit, mayan bisa buat chatting," kata Aluna tanpa menoleh pada Zello.
"Memang mau ngubungin siapa?"
"Editorku, mau izin nggak bisa stor naskah senin, soalnya kemarin udah janji," ucap Aluna, tak sadar di sampingnya Zello sedang menahan tawa. Bagaimana kalau Aluna tahu, Zello itu editornya?
"Jadi penulis sekarang?"
Aluna membuang napasnya, ia melihat ke arah Zello, "Kepo."
"Hahaha..."

Zello tak mampu menahan tawanya, entah kenapa, Aluna tampak mengemaskan. Mungkin ia tidak sadar, di matanya, Aluna selalu menggemaskan.

Aluna memilih diam, sambil sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia mendesis menahan dingin yang menyelimuti tubuhnya.

So I Love My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang