16

198 4 0
                                    

Kami—aku, Asri, dan Sabil pergi ke tempat tujuan diantar menggunakan mobilku. Kemudian kami bertemu dengan 2 orang ikhwan rohis yang seangkatan denganku dan Asri di tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya karena mereka bersedia menjadi penunjuk jalan untuk kami. Padahal menurutku kami tidak akan nyasar kok.

Mereka menggunakan 1 motor dengan Fikri yang mengendarainya dan ditemani oleh Fidhar yang diboncenginya. Aku melihat Fidhar bolak-balik menengok ke belakang seperti ingin memastikan kami masih mengikuti mereka atau tidak. Aku yakin pasti Fikri yang menyuruhnya. Sampai suatu saat, kami melewati jalan yang berbeda dengan mereka. Aku yakin pasti mereka pada panik nyariin kami.
“Eh itu mereka apa ngga pegel ya lehernya nengok ke belakang mulu” ucap Asri.
“Hahaha…iya sih mungkin” jawabku. Aku sebenarnya merasa agak risih dengan perlakuan mereka. Walaupun aku menganggap mereka seperti terlalu berlebihan tetapi aku tetap menghargai usaha mereka.
“Eh kita beda arah” ucap Asri ketika kita berbelok arah. “Gimana nih sama merekanya. Takut dicariin. Pada panik dah tuh pasti.”
“Oke oke. Aku tau apa yang harus dilakuin”
“SMS ke Fidhar aja”
“Ngga punya nomornya”
“Kayaknya aku punya deh. Tapi kasih tau ke Fikri juga”
“Oke” aku langsung tancap gas. Aku merasa tidak enak hati kepada mereka. Kemudian aku langsung mengirimi pesan kepada Fikri untuk memastikan kami akan sampai di tempat dengan aman dan selamat.

“Dibales ngga ?”
“Ya udah katanya gapapa. Hati-hati”

Dan ternyata kami memang tidak menemukan kesulitan yang berarti saat mencari masjidnya. Tinggal bertanya pada satu orang saja dan mengikuti petunjuknya, alhamdulillah kami akhirnya bisa sampai di tempat ketika hari sudah sore.

Kami akhirnya dapat bertemu dan berkumpul dengan para alumni akhwat ketika maghrib tiba. Setelah shalat maghrib lalu kami berkumpul kembali untuk menyantap hidangan berat, setelah itu shalat isya, tarawih, witir, dan ditutup dengan kajian. Seusai shalat, kami mundur ke belakang dan duduk berkumpul lagi.

“Mau dibeliin es krim ngga ?” tawar Kak Aisyah.
“Mau mau !!” ucap kami.
“Mau rasa yang mana aja ?”
(Kami menyebutkan pesanan satu persatu)
“Oke, kakak beliin dulu ya. Mana uangnya ?”
(Ngasih uang ke Kak Aisyah)

Ketika Kak Aisyah pergi, kami diajak mengobrol bersama dengan Kak Apri dan Kak Rini. Hal yang kami bahas ya tak jauh-jauh dari masalah rohis. Selain itu juga mereka menanyakan kepada kami tentang ingin melanjutkan kuliah dimana. Mereka juga berpesan sebisa mungkin kita harus ada yang bisa balik lagi untuk membantu adek-adek di rohis. Ketika es krim kami sudah datang dan sudah kami habiskan pun, kami juga masih bercerita banyak hal, bahkan sampai larut malam. Sebelumnya sih beberapa kakak ada yang memutuskan untuk pulang duluan.

Selain mengobrol, malam itu juga kami habiskan dengan bertilawah dan mengemil makanan yang dibelikan oleh Kak Apri. Setelah beberapa kakak yang masih menemani kami disana sudah tidur, aku, Asri, dan Sabil masih saja mengobrol. Tak terasa sudah jam 12 lewat.

Lelah mengobrol lama dan merasa sudah mengantuk, kami memutuskan untuk tidur berbantalkan tas kami. Baru sekitar setengah sampai satu jam tidur, kami langsung dibangunkan oleh ibu-ibu pengurus masjid karena akan segera dilaksanakan shalat tahajjud. Karena kami juga kelihatannya belum bisa tidur pulas, maka kami pun dengan agak malas akhirnya bangun dan mengambil air wudhu.

Shalat tahajjud yang digelar terasa lama sekali sampai menjelang Subuh. Bacaan surahnya bisa sampai sejuz lebih mungkin, belum lagi panjang-panjang ayatnya. Jadi kami berdiri lumayan lama. Ketika berdoa pun kami jadi terkantuk-kantuk. Bahkan Asri pun sempat tertidur di pundak jamaah lain.

Pagi harinya, kami melanjutkan tilawah sebentar lalu kami memutuskan untuk melanjutkan tidur yang tertunda setelah keadaan lantai masjid bawah tempat akhwat sudah sepi, hanya tersisa segelintir orang saja. Selepas dari tidur, kami melanjutkan obrolan—lebih tepatnya hanya aku dan Asri—mengenai kuliah dan cita-cita. Ternyata, aku dan Asri memiliki impian yang sama. Kami sama-sama ingin melanjutkan kuliah S1 di Fakultas Farmasi UI, kemudian kalau bisa sampai lanjut S2 di Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir. Kalau kami bisa sama-sama sampai ke Mesir pun, kami berencana ingin bercadar disana.

Selain itu, untuk di Indonesia pun, Asri juga sempat menawarkan lanjut ke pesantren tempat guru mengajinya yang berlokasi di daerah Subang, Jawa Barat. Kami juga berbincang tentang hal-hal yang lain sambil sesekali ketika kami sedang mengikuti kajian setiap habis shalat fardhu. Karena kami berdua sama-sama calon kelas 12, Sabil yang berbeda sendiri alias naik kelas 11 jadi sering tidak sengaja kami diamkan ketika sedang asyik mengobrol berdua.

Mengingat sebelum ini, aku sempat mengalami masa keterpurukan dalam hal semangat belajar dan prestasi, obrolan kami sekarang ini sangat-sangat berpengaruh pada semangatku lagi, jadi makin bertambah. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa memiliki impian yang sama dengan Asri. Kedatangan Asri dikehidupanku pun seperti penyelamat bagiku.

Seorang Asri dulunya hanya mengikuti ekskul tari ratoeh jaroeh (sebutan tari saman untuk wanita) dan aku sama sekali tidak mengenalnya. Aku dan dia baru dipertemukan saat ada acara rohis yang pergi keluar kota yang bernama switer (studi wisata islam terpadu) saat kami masih kelas 11 semester 1. Aku pada saat itu sudah menjadi anggota rohis sedangkan Asri belum. Setelah acara itu, banyak dari teman-temanku termasuk Asri yang masuk rohis. Dari yang tadinya anak rohis di kelasku hanya aku seorang, sekarang aku sudah ada temannya. Akhwat jadi rame. Setelah itu pula, aku dan Asri juga sama-sama dicalonkan menjadi ketua keputrian.

Rapat selalu bareng, belum lagi komunikasi yang sering karena aku juga membantu ia selaku sama-sama panitia untuk acara kami, seminar keputrian, dan aku juga yang salah satu membantu mengumpulkan nama dan kontak pembicara dan salah satu kakak kenalanku alhamdulillah berhasil aku datangkan ke sekolah sebagai pembicara.

Kedekatan kami di line pun mulai terjalin gara-gara aku suka ikut berkomentar di postingannya ia ataupun Andam yang juga mengomentari sebuah novel yang memang sarat akan cita-cita atau impian. Dari situ kami jadi tahu kalau memiliki impian yang sama dan kami jadi sering chatting dan curhat yang membuat hubungan kami menjadi semakin dekat dan aku menganggapnya sebagai sahabat.

Siang menjelang sore, kami bertiga berencana pergi keluar untuk membeli sabun untuk Asri dan sekalian membeli makanan. Setelah itu kami bergegas untuk mandi sekembalinya kami ke masjid.

Malam harinya...
“Yah kalo nanti kita kuliahnya LDR-an gimana ? Nanti kalo ketemu bakalan canggung atau lupa gitu (?)” kata Asri.
“Insya Allah ngga bakalan kok. Aku bakal selalu inget Asri, karena aku sayang kamu. Semoga kita bisa sama-sama kuliah di UI atau Mesir ya. Dan kalaupun ngga, jangan lupain aku juga ya”
“Pastinya ngga dong adikku tersayang” ucap Asri dengan mata berkaca-kaca.
“Ya udah sini-sini peluk dong. Jangan sedih gitu ah. Ntar adek ikutan nangis nih..” balasku dengan mimik muka serius.
*Adegan sedih dengan pelukan pun dimulai*

Sebelumnya ketika sore menjelang malam…
“Rah, itu apa mereka ngga pulang aja ya ? Ngga enak nungguin kita terlalu lama”
“Iya juga sih..ya udah aku coba sms dulu tanya ke mereka”
*SMS ke Fikri*
A : “Assalamu’alaikum. Afwan kri, apa ngga sebaiknya kalian pulang aja ? Kita gapapa kok kalo ditinggal, kita masih sampe abis shalat teraweh dulu disini. Nanti dijemput lagi kok. Kita ngga enak sama kalian..syukron”
F : “Wa’alaikumussalam. Bener nih gapapa ? Ya udah kita pulang abis buka ya”
A : “Iya. Oke. Sekali lagi makasih ya”
F : “Iya”
“Gimana katanya ?” tanya Asri.
“Ya udah katanya gapapa, tapi mereka pulang abis buka sama shalat maghrib dulu kayaknya”
“Oke dehh!”


My Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang