24. Whisper

170 24 2
                                    

Anyeoong..

Karena nggak ada yg comment jadi langsung next aja yah..







Happy reading














Deruan klakson mobil dan bus sudah terdengar sejak pagi tadi. Hari senin di mulai kembali dengan segala macam kesibukan penjuru kota. Kebisingan dan aroma polusi mulai menguap di udara.

Aku menutup mataku sejenak. Menarik napasku dalam-dalam, menikmati aroma dingin dan menyegarkan diantara rerumputan hijau dan gemericik air sungai yang mengalir dengan tenang. Setenang hari-hariku yang kembali saat pertama kali aku menginjakkan kaki ku di desa yang tak banyak mengetahui dunia luar ataupun mengetahui siapa diriku.

Tak terlihat dan tak ada di antara mereka menjadi satu tujuanku untuk menjalani kehidupan setenang mungkin. Tapi semua usaha itu menjadi sia-sia saat berita tentang diriku tersebar, entah dari siapa semua terungkap. Mencoba kembali tenang tanpa menghiraukan ocehan mereka sudah kulakukan. Hanya saja mengusik ketenanganku dan menyulutkan api amarahku bukan hal yang mudah untuk terus aku pertahankan.

"Hai"

Sentuhan tangannya yang mendarat di pundak kananku menghapuskan semua lamunanku di masa itu. Kurasa gerakan refleks yang dulu selalu kulakukan kini sudah memudar kesensitifannya. Aku hanya menoleh pada si empunya tangan besar itu, bukan menjatuhkan siapa saja yang berani menyentuhku seperti dulu.

"Hai"

Akupun masih mengingat sifat diamku pada semua orang yang menyapaku. Bahkan aku bisa tak mengatakan apapun pada siapapun yang mengajakku berbicara. Karena itu pula aku sering disebut sebagai gadis dingin tak berperasaan. Tapi entah sejak kapan aku bisa menjawab dan berbicara dengan orang yang berbicara padaku.

"Kau sendirian lagi?"

Aku menangkap maksud dari pertanyaannya. Ya, selama ini tak selamanya aku berjalan sendirian menuju satu tujuan. Setelah dia mengajakku untuk berkencan -walau itu tidak sebenarnya berkencan- tidak ada salahnya jika aku berjalan bersama dengan satu tujuan yang sama. Aku tak perlu sendiri lagi, walau kadang aku membutuhkan waktu untuk sendiri untuk menenangkan diri. Tapi nyatanya berjalan bersama juga mampu membuatku merasakan ketenangan diri saat bersamanya.

"Tentu saja. Harus dengan siapa lagi?" jawabku asal, meski aku tahu siapa orang yang bersamaku saat aku tak sendiri.

Dia mungkin benar. Terhitung sudah satu minggu sejak dia mengatakan perasaannya padaku. Bukan sekedar mengajakku berkencan saat aku pertama kali mengenalnya seperti dulu. Tapi dia benar-benar mengatakan perasaannya padaku. 'Aku menyukaimu', katanya. Bahkan kalimat itu masih tersimpan kuat di kepalaku dan kadang tiba-tiba muncul di kepalaku dan membuat kedua ujung bibirku tertarik keluar dua senti.

"Kau pasti tahu maksudku. Atau... Kalian sudah putus?"

Deg

Tidak. Bagaimana mungkin dia mengatakan itu lalu dia pergi meninggalkanku. Tidak.

Walau selama satu minggu ini dia memang tak selalu bersamaku. Bukan. Bahkan dia sering melewatkan pelajarannya di kelas. Dia tidak terlihat sakit hingga harus pergi ke ruang kesehatan setiap waktu. Hanya saja aku pernah melihatnya memasuki ruang guru dengan beberapa lembar kertas di tangannya.

Apakah dia akan mengikuti olimpiade matematika lagi?

"Tidak" jawabku

Meskipun aku berharap hubunganku dan dia berakhir. Ya, aku pernah berharap hubungan 'kencan' atau 'status pacar' itu akan segera berakhir dan akan berganti dengan hubungan baru yang sebenarnya. Hubungan 'kekasih' yang didasari rasa saling mengasihi dan menyayangi.

"Benarkah? Padahal aku berharap kalian segera putus" katanya

"Kenapa?"

"Aku menunggu jawabanmu selama seminggu ini"

'Jawaban'? Dari pertanyaan apa? Apa aku melupakan pertanyaannya? Selama seminggu?

"Jawaban? Apa?"

Aku berhenti dan memandangnya. Dia pun berhenti dan menatapku lebih dalam.

Alih alih kembali mentapanya, aku masih berpikir dan mengingat kejadian seminggu yang lalu. Setelah penampilan kontes menyanyi itu, dia memintaku untuk menyimpan jepit rambut silvernya dan dia tak mengatakan apapun lagi karena Junhoe datang ke tenda dan dia pergi. Kemudian hari disaat aku ingin tidur tenang guru Han membangunkanku dari mimpiku. Mimpi aneh karena Hanbin menyatakan perasaannya padaku meski dia tahu aku sedang berkencan dengan Junhoe. Dan setelah itu...guru Han menyuruhku menari tapi aku tak mengingat Hanbin bertanya sesuatu padaku.

"Tak apa jika kau masih belum punya jawaban itu sekarang. Aku akan menunggumu. Walau aku tahu kau sedang bersama Junhoe, aku akan menunggumu. Setelah kau tak lagi bersama Junhoe, aku siap untuk menunggumu. Pintu hatiku selalu terbuka untukmu"

Hanbin melanjutkan langkahnya, namun aku masih terdiam dengan kalimatnya saat ini. Aku masih tak mengerti. Bagaimana Hanbin tahu tentang kalimatnya dalam mimpiku. Aku tak pernah mengatakannya pada siapapun apalagi Hanbin yang bersangkutan langsung dengan mimpi itu. Tentu saja tak akan ada yang tahu jika aku tidak mengatakannya. Kecuali... Dia sendiri yang mengatakan kalimat itu. Jika itu bukan mimpi Hanbin akan mengetahui semuanya.

"Hanbin"

"Hmm??" Hanbin menoleh padaku dan aku mendekatinya.

"Apa--kau mengatakan sesuatu saat sebelum guru Han datang?"

"Entahlah. Yang kuingat hanya terlihat sangat lucu dengan wajahmu yang memerah"

"Apa??"

"Dan kau pergi meninggalkanku setelah kau mengatakan untuk mencerna kata-kataku. Apa kau masih belum bisa mencernanya setelah satu minggu??"

"Jadi--kau benar-benar mengatakannya?"

"Ya. Aku mengatakannya padamu saat itu. Dan juga saat ini aku akan terus mengatakannya sampai kau menemukan jawabannya"

Aku terdiam.

Tanpa kusadari, wajah Hanbin sudah berada di dekat wajahku. Bahkan aku bisa mendengar hembusan nafasnya di telingaku.

"Aku menyukaimu"

Hanbin berbisik di telingaku. Bisikannya mampu membuatku terdiam dan melebarkan mataku.








Vomment Juseyo

That SECRET [Jennie x Junhoe]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang