Setelah uring-uringan untuk jangka waktu yang cukup lama, Tia akhirnya memutuskan untuk bertemu di luar dengan Guntur. Dia gak mau terlalu lama menggantung keputusannya, terlebih ini masalah perasaan.
"Sore, Pak." Tia menyalami Guntur dengan sopan saat pria itu telah datang.
Guntur tersenyum kemudian mempersilahkan Tia untuk kembali duduk. "Kamu sudah dari tadi? Maaf ya tadi sedikit macet."
Tia mengangguk memahami. "Saya mengerti, Pak." Lagipula, ia juga belum terlalu lama menunggu.
"Tia, ini diluar kantor. Kita juga bukan sedang membicarakan urusan pekerjaan. Kamu gak perlu seformal itu."
"Saya lebih nyaman seperti ini, Pak." Tia takut nanti malah jadi kebiasaan kalau dia berbicara informal di hadapan Guntur.
"Yasudah, jadi ada apa?"
Tia meneguk salivanya sesaat sebelum menarik napas dalam-dalam. "Saya butuh penjelasan Bapak. Tentang semua yang Bapak lakukan selama ini termasuk perubahan sikap Bapak."
Guntur terdiam cukup lama, kemudian ia tersenyum miris. "Terkadang saya merasa hidup ini lucu. Dulu saya memiliki cinta tapi tidak dengan harta, sekarang saya memiliki harta tapi tidak dengan cinta."
Tia mengerutkan dahinya bingung. Maksudnya? Ia bertanya-tanya dalam hati.
"Dulu sebelum mengenalmu, saya memiliki seorang kekasih. Seseorang yang mengenalkan saya tentang cinta, yang mengajarkan saya apa itu berjuang. Kami berencana untuk menikah, tapi sayang rencana tinggallah rencana. Dia pada akhirnya memang menikah, namun bukan dengan saya."
Tia membisu mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Guntur. Sempat terlintas di pikiran Tia, apa jangan-jangan karena hal itu Guntur masih melajang di usianya sekarang ini?
"Saya bisa terima kalau kami memang tidak berjodoh, tapi saya masih belum bisa terima dia mengkhianati saya bahkan sampai hamil dengan orang lain." Guntur memejamkan matanya sesaat. Amarah masih saja menyelimutinya tiap kali mengingat hal ini. "Jika Tuhan ingin membuktikan bahwa dia tidak baik untuk saya, kenapa Tuhan harus membuat kami menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun lamanya?"
Tia diam. Ia tidak tahu harus berkata apa saat ini. Mengatakan agar Guntur bersabar tentu akan menjadi kalimat yang sangat klise, bukan?
"Saya sempat trauma jatuh cinta, tapi saya sadar seharusnya saya tidak selemah itu. Saya mungkin hanya perlu berhati-hati dalam memilih wanita untuk dijadikan pendamping. Sampai pada akhirnya, kita bertemu." Guntur menjeda kalimatnya. Dipandangi Tia dengan senyum yang refleks membuat pipi gadis itu memerah.
"Saya akui saya menyukai kamu, tapi di satu sisi saya tidak ingin jatuh pada wanita yang salah lagi. Saya memutuskan untuk mengujimu dulu, namun justru saya yang salah. Saya terlalu sibuk membuat diri saya yakin kalau kamu pantas untuk saya, sampai akhirnya saya melupakan fakta bahwa kamu tidak memiliki rasa untuk saya."
Kepala Tia mulai dipenuhi banyak asumsi-asumsi Guntur tentang sikapnya selama ini. Semua itu hanya untuk mengujinya? Kalau begitu perubahan sikap Guntur yang dimaksud Bu Laras adalah karena hal ini?
"Saya kerap memamerkan harta di hadapan kamu itu untuk menguji apakah kamu adalah wanita yang tergoda oleh harta atau tidak, dan saya bersyukur jawabannya adalah tidak."
"Tapi kenapa, Pak?"
"Sebab saya ingin membangun rumah tangga denganmu."
Deg! Jantung Tia berdebar kencang.
"Tapi sekarang saya sadar cara saya mungkin salah. Saya terlalu sibuk menguji kamu sampai melupakan perasaan kamu. Maaf kalau selama ini membuat kamu bingung."
"Jadi setelah nguji saya, sekarang bapak mau ninggalin saya?"
"Bukan begitu, Tia. Hanya saja saya tidak mau memaksakan perasaan kamu. Saya bisa merasakan kalau kamu tidak memiliki perasaan yang sama dengan saya. Kalaupun ada, itu hanya rasa bersalah karena kamu merasa telah salah menilai saya selama ini. Kesalahan itu bukan seratus persen karenamu, tapi karena saya yang memang membuat cara pandangmu salah."
Tia terdiam. Benarkah begitu? Selama ini ia bukannya ada hati dengan Guntur tapi karena dia dihantui rasa bersalahnya sehingga tiap kali Guntur baik padanya, Tia merasa ada yang beda dalam dirinya.
"Seandainya Laras tidak pernah bilang sesuatu sama kamu, apa pandanganmu terhadap saya akan berubah?"
"Bapak tahu kalau Bu Laras cerita soal Bapak ke saya?"
Guntur mengangguk, "Tentu saja. Dia bilang sama saya."
Tia kembali diam, begitupun dengan Guntur. Ia memberi waktu pada Tia untuk berpikir, untuk menyesuaikan hati dan logikanya.
"Maafin saya, Pak," ujar Tia pada akhirnya. Setelah bergulat pemikiran dengan dirinya sendiri, Tia sadar apa yang dikatakan Guntur memang benar. Tia menjadi deg-degan, kikuk, canggung bila bersama Guntur adalah karena Tia telah mengetahui sisi Guntur yang sebenarnya dan itu membuat Tia menjadi tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Guntur.
Guntur tersenyum, "Tidak apa-apa. Saya sudah tahu."
Tia menatap Guntur. Apapun keputusan yang telah diambilnya kini, Tia tak boleh menyesalinya. Tia yakin, jika memang Guntur dan dia berjodoh suatu hari nanti mereka pasti akan dipertemukan lagi.
***
To be continue
![](https://img.wattpad.com/cover/101959487-288-k877035.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
OJEK-ZONE
Humor[Complete] Kalau selama ini yang kita tahu ojek online itu adalah suatu usaha di bidang jasa dengan mengandalkan internet untuk pemesanan sampai ke tempat tujuan. Kira-kira bisa gak ya abang ojek online selain bawa ke tempat tujuan, juga bawa kita k...