24. Ini Lamaran?

7.7K 1.1K 14
                                        

Tia kembali ke kantornya sepuluh menit sebelum jam makan siang berakhir. Dia mau luangin waktu buat ngomel-ngomel cantik sama Hasmi yang tadi bilangnya mau nyusul tapi ternyata gak jadi karena dia udah dibeliin makanan sama Rizki. Iya, Rizki. Tia juga bingung gimana dua orang itu akhir-akhir ini menampakkan ada suatu hubungan. Tia pikir Rizki gak doyan cewek, ternyata masih bisa juga dia ngegebet Hasmi. Hasmi sendiri memang belum cerita juga sama Tia atau group Mahmud Gemay-nya, mungkin belum siap dicengin.

"Hmmm enak iya makan disini duaan," ledek Tia begitu memasuki ruangan dan melihat Hasmi dan Rizki sedang makan ayam gepuk sambil duduk lesehan.

"Rewel nih mermaid," ledek Rizki balik.

Tia mencibir kemudian ikut duduk di sebelah Hasmi. "Ah, Mbak Leoni gak masuk sih jadi gak ada team ngecengin nih gue."

"Jelek sih niat lu, baru niat aja udah jelek. Kapan cakepnya lu, Ti?" cibir Rizki.

Tia mendelik sinis pada Rizki. "Kak, lu yakin mau sama makhluk satu ini? Coba lu pikir deh, Kak. Mulutnya aja recet gitu." Tia mencoba mengkompori Hasmi yang sedang asik makan meskipun Tia sama Rizki perang mulut.

"Gue sih tergantung dia kalau mau beliin gue make up di pasar baru apa di etude house. Dari situ baru gue pikir-pikir," jawab Hasmi santai.

"Bisaan bangett!"

***

Jam kerja kantor sudah selesai namun hujan yang mengguyur jalan belum juga usai. Daripada basah-basahan menembus hujan, Tia lebih memilih untuk menunggu hujan reda di lobby kantor. Kayaknya hari ini dia bakal bolos kuliah lagi soalnya di luar juga masih deres. Kalaupun dia mesen ojek-zone dan pakai jas hujan, celana dan sepatunya juga pasti tetep basah.

"Belum pulang?" Tia mendongak untuk melihat seseorang yang baru saja mengisi tempat kosong di sebelahnya.

"Eh, Bapak..." sapa Tia canggung. Baru tadi siang dia habis ngomongin Guntur sama Rasti eh sekarang makhluknya nongol. "Belum, Pak. Masih hujan," jawab Tia untuk pertanyaan yang Guntur ajukan sebelumnya.

"Hari ini gak kuliah?" tanya Guntur lagi.

"Libur, Pak."

"Meliburkan diri maksudmu?" Tia hanya terkekeh tanpa menjawab pertanyaan retorik Guntur. Iya dia emang libur dadakan sendiri.

Guntur melepas jaket kulit yang dikenakannya lalu menaruhnya di pangkuan Tia. "Ayo."

Tia hanya mengerjap menatap jaket di pangkuannya lalu beralih menatap Guntur. Sebelum Tia bertanya apa maksud Guntur, pria itu sudah memperjelasnya.

"Saya antar kamu. Pakai jaketnya, di luar dingin." Tanpa menunggu respon dari Tia, Guntur sudah lebih dulu melangkah. Membiarkan Tia dengan keterpakuannya.

Dear heart, stay cool please... pinta Tia pada jantungnya baru kemudian ia menyusul langkah Guntur.

"Kamu kuliah pakai biaya sendiri?" tanya Guntur saat mobil baru saja keluar ke jalan raya.

"Iya, Pak."

"Persemesternya berapa?"

"Tujuh juta tiga ratus, Pak."

"Mahal juga ya."

"Yaa gitu deh, Pak."

"Kira-kira rugi ga tuh ya kalau udah bayar mahal tapi ilmu yang kita dapetin gak sebanding karena kitanya sering gak hadir?"

Tia diam. Ini Guntur nyentilnya bener-bener alus bangeett. Saking alusnya gak berasa tahu-tahu udah nyampe ke hati.

"Hargai diri kamu, Tia. Hargai jerih payahmu sendiri," ujar Guntur lagi setelah cukup lama hening tanpa ada tanda-tanda Tia akan bicara.

"Maaf, Pak," cicit Tia.

Guntur tersenyum sekilas. "Kamu gak ada salah sama saya, Tia."

Salah saya udah nilai bapak buruk banget dulu, batin Tia cuma bibirnya tetap diam.

"Pak, saya boleh nanya sesuatu ga?" Tia mencoba memberanikan diri. Ia ingin segera mendapat jawaban atas segala pertanyaan dalam kepalanya.

Guntur mengangguk. Mempersilahkan Tia untuk menanyakan apapun yang gadis itu ingin tanyakan.

"Bapak pernah bilang 'kalau selama ini menurutmu saya bercanda, boleh kali ini saya meminta izin untuk serius?' itu maksudnya gimana ya, Pak?"

Guntur tersenyum simpul. "Kamu sendiri belum jawab boleh atau enggak. Kalau kamu tanya maksud 'serius'nya itu apa saya yakin kamu tahu, Tia. Yang jelas saya bukan lagi nyari yang bisa diajak hangout doang. Saya cari yang biasa diajak mengatur keuangan, tukar pikiran, dan hidup dalam satu atap yang sama. Kalau kamu memang mengizinkan, saya mau merealisasikan itu sama kamu."

Tia diam. Otak dan hatinya mencoba bekerja sama mencerna kata-kata Guntur.

"Kalau memang kamu belum bisa jawab gak apa-apa. Saya paham perbedaan usia kita juga memang jauh. Saya akan menunggu sampai kamu siap memberi jawaban."

Ini... gue di lamar?

***

To be continue

OJEK-ZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang