Elang menyusuri rumah, menuju kekamar Raja yang kosong sejak kemaren. Ia memperhatikan setiap isi rumah, dari kolam renang, dapur, ruang kerja, sampai kamar khusus tempat mereka bermain atau bersantai tidak ditemui keberadaan Raja.
Elang mengelurkan handphone dari saku celana mencoba menghubungi Raja, hampir 10 kali ia mencoba menelpon Raja tapi tidak ada respon. Elang tampak cemas memikirkan keberadaan adik laki-lakinya yang tidak tau ada dimana sekarang.
Ceklekkkk.....suara pintu rumah yang terbuka menyadarkan lamunan Elang, dilihatnya orang dibalik pintu adalah Raja, sosok yang sejak tadi dicarinya.
“kemana aja lo? Kenapa baru pulang?” tanpa sadar Elang mulai mengomel, geram dengan kelakuan Raja. Sementara Raja terlihat acuh dengan omelan kakaknya ia hanya menjawab seadanya. “clubbing”
“lo pulang ke indonesia buat apa? Main-main? Lo pikir rumah ini hotel, yang bisa lo datangi suka-suka lo?” nada bicara Elang mulai meninggi.
“gue kesini buat ketemu nyokap, gue gak punya urusan sama lo jadi jangan ikut campur dengan kehidupan gue” kata Raja juga tersulut emosi. Elang sempat bungkam sejenak mendengar alasan Raja pulang hanya karena ingin kemakam ibunya.
“Urusan hidup lo, urusan hidup gue juga. Lo itu adek gue sudah sewajarnya gue bertanggung jawab atas apa yang lo perbuat”
“sejak kapan lo jadi peduli tentang hidup gue? Sejak kapan lo anggap gue adek ?” kata Raja benar-benar marah, merasa tidak terima dengan pernyataan Elang.
“maksud lo apa?” serasa tak percaya Elang mendengar bantahan Raja.
“Dari dulu lo Cuma anggap gue sebagai penyebab kematian nyokap, lo gak pernah peduli sama gue. Waktu orang-orang bangga manggil kakaknya, gue takut! Gue takut kalau harus manggil lo kakak karena lo selalu memasang tatapan tajam saat gue manggil lo kakak. Seolah gue memang gak boleh melakukan itu.” Mata Raja memanas, ada dorongan kuat yang memaksa keluar. Emosinya tak terkontrol, semua perasaan yang dipendamnya selama ini berhasil menerobos keluar.
Kaki Elang mendadak lemas mendengar perkataan Raja, perkataan itu berhasil mendorongnya masuk keruang masa lalu. Mengingatkannya betapa kejamnya ia dulu kepada Raja. Ia pernah menganggap Raja sebagai penyebab kematian ibunya karena melahirkannya, dulu Elang selalu marah ketika Raja kecil memanggilnya kakak. Tidak pernah sekalipun Elang mengakui Raja sebagai adik didepan teman-temannya.
Tapi perasaan dan dendam itu perlahan menghilang, Elang sadar ini murni bukan salah Raja, tapi seperti kaca yang terlanjur retak, meninggalkan bekas yang sulit dikembalikan. Perasaan bersalah tidak cukup untuk menghapus luka itu.
Raja langsung beranjak meeninggalkan rumah itu lagi, meninggalkan kakaknya sorang diri yang hanya mematung diruang tengah. Raja tidak sanggup menatap mata Elang, itu membuatnya merasa makin tersakiti jika harus mengingat kenangan buruk dimasa lalu.
***
Waktu itu masih pagi bagi Dio, walau beberapa orang beranggapan ini bukan lagi pagi tapi bagi Dio si anak pemalas jam 10:00 WIB masih termasuk pagi baginya. Dio yang terbiasa bangun jam 12:00 WIB atau 13:00 WIB tentu merasa kalau ia sudah bangun pagi.
Alasan Dio bangun pagi agak berbeda, kalau biasanya ia bangun karena alarm bernyawa atau Abeng kali ini dia terbangun karena hp yang sejak tadi bergetar. Berkali-kali ia mencoba mengabaikan panggilan itu, panggilan yang ia sendiri tidak tau dari siapa. Tapi nihil orang yang menelpon ternyata lebih tangguh dari perkiraan Dio. Hampir 30 panggilan tak terjawab yang sudah masuk, tak membuat panggilan itu berhenti juga.
Dio sudah terlanjur murka, dilemparnya bantal kearah dinding setelah berhasil bangun dengan sangat terpaksa. Di raih paksa hp yang tergeletak tepat diatas meja samping kasur, sambil menggeser kasar slide telepon, dio langsung menghujani si penelpon dengan sumpah serapah sebelum sempat orang itu bicara lebih dahulu.
“eh bangsat! Siapa sih lo? Gak tau gue lagi tidur? Kalau orang gak ngangkat 3 kali artinya gak mau di ganggu. Lo paham kan gue ngomong apa? Kalau lo gak paham juga artinya lo gak punya otak!”.
Terdengar dari sebrang telepon kalau orang itu justru tertawa lepas menyadari ia sudah mendapat supah serapah tak terduga. Dio menyengitkan dahi dia bingung dengan respon yang diterimanya, entah ini memang ulah orang kurang kerjaan atau siapa. Tapi dilain sisi Dio seperti mengenali suara itu, suara orang yang baru saja dikenal, tapi Dio tidak terlalu yakin dia siapa.
“Lo lebih sadis dari yang gue kira, pantas aja orang gak bisa mengenali lo sebagai cewek. Gue dibawah nih” Dio sama sekali tidak bisa mencerna maksud perkataan itu. Bukannya menjawab pertanyaanya dia justru memberi tahu hal yang dia sendiri gak mengerti.
“maksud lo apaan sih, lo siapa?” kata Dio sambil mengaruk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal.
“turun aja kebawah, lo bakal tau gue siapa?” sambungan telepon terputus meningalkan bunyi tut-tut-tut. Dio masih belum bisa mencerna maksud kata-kata itu, tapi tanpa sadar ia tetap turun kebawah, ke cafe, bahkan dengan penampilan lusuhnya khas orang bangun tidur.
Juno tersentak kaget saat tidak sengaja berpapasan dengan anaknya ditangga, bukan karena kemunculannya yang tiba-tiba tapi karena Dio turun dengan penampilan sangat lusuh, hanya bermodalkan baju kaus putih dan celana trening panjang. karena biasanya Dio orang yang sangat memperhatikan tampilannya. Bahkan parahnya ia tidak mencuci mukanya, rambutnya saja masih acak-acakan mirip semak-semak habis kena angin puting beliung.
“kamu ngelindur Dio?” tanya Juno tampak tidak yakin. Dio hanya menggeleng, matanya menyorotkan kebingungan mirip orang linglung.
Kini matanya menjelajah tiap sudut Cafe, mencari orang yang menyuruhnya turun. Mata Dio menyipit melihat seseorang yang dikenalinya, Iyaa... orang itu ada diujung sana dia Raja.
Dia melemparkan senyumnya saat menyadari Dio sudah menemukan kehadirannya. Mata Dio terbuka lebar, melototi orang itu sambil mengedip-kedipkan matanya tak percaya, dan langsung pergi naik kelantai atas lagi.
Dio berlari sambil mengerutu kesal merasa dirinya dikerjai, ia segera naik untuk mencuci muka dan sikat gigi. Serta mengambil sebuah Hoodie serta menutupi kepalanya dengan sebuah topi hitam untuk menutupi keburukrupaan untuk sementara waktu.
Raja sudah siap menerima segudang kemarahan Dio akibat ulah jahilnya. Ia sadar betul kalau sesampainya Dio kesini lagi pasti dia akan marah besar. Raja tak bisa berhenti tertawa jika mengingat kejadian tadi.
“eh lu anak kurang ajar, ngapain lo kemari?” tanya Dio langsung menghakimi Raja sesampainya.
“lo gak simpan nomor gue?” Raja menjawab dengan pertanyaan lain melupakan pertanyaan Dio.
“gue gak pernah nyimpan nomor pelanggan” jawab Dio acuh dibalas dengan rengutan Raja.
“lo masing anggap gue pelanggan, bukannya kita sudah berteman” protes Raja.
“iya iya sorry nanti gue simpan nomor lo” kata Dio malas berdebat.
“jadi buat apa lo kesini kamvret? Kenapa harus membangunkan gue segala?” tanya Dio lagi dengan tatapan yang mengahakimi Raja.
“gue mau sarapan, dan gue gak mau sarapan sendiri jadi gue minta temenin lo” jawab Raja cengengesan. Dio memasang wajah datar tak percaya mendengar alasan orang itu memanggilnya.
“lo yang sarapan, kenapa harus gue yang repot. Udah deh gue ngantuk” kata Dia ingin pergi tapi untuk kedua kalinya Raja berhasil menahan gerakan Dio.
“lo kan anak pemilik cafe ini, gue ini pembeli, pembeli adalah raja sudah seharusnya lo ngemanjain Raja, kebetulan juga kan nama gue Raja” kata Raja sambil bercanda tak mengiraukan Dio yang geram karena kejahilannya.
“tau dari mana lo kalau ini cafe punya bokap gue?” tanya Dio menyelidik merasa dirinya diamati.
“gue nanya dari teman gue diclub yang pernah nyewa jasa lo”
“lo nyari tau tentang gue?”
“gue iseng aja” jawab Raja buang muka karena malu.
“jadi sebagai anak pemilik cafe ini, lo nyaranin apa nih buat sarapan gue?” kata Raja mengalihkan pembicaraan.
“lo tunggu sini biar gue pesanin” kata Dio berbaik hati.
Dio menuju dapur mendatangi Daddynya yang bertugas didapur bersama Roy, yang juga kebetulan ada Abeng dan Bimo disana. Mereka sejak tadi sudah memperhatikan Raja dan Dio, bagi mereka ini termasuk kejadian langka Dio bisa berteman dengan seseorang yang seumuran dengannya dan berteman dengan orang diluar kawan-kawan Juno dan Abeng. Jadi sudah pasti ini menimbulkan beragam pertanyaan diotak mereka.
“bang, satu set menu sarapan dong” kata Dio seraya menyadarkan tubuhnya kesebuah tembok, yang berada didaerah antara dapur dan tempat Bimo biasanya menyiapkan kopi dan dessert.
“siapa?” tanya Abeng langsung.
“orang yang waktu itu pernah gue ceriain” kata Dio berhasil memancing juno keluar dari dapur yang memang menjadi sarangnya, juno sengaja keluar untuk melihat Raja. Sementara Bimo dan Roy tampak bingung tak paham maksud pembicaraan Dio, tapi keduannya memutuskan tidak ikut campur dan langsung melakukan tugas semula.
“sudah damai?” tanya Juno
“sudah temanan malah dadd” sambar Abeng diiringi tawa
“bagus deh, gak suka daddy kalau lo punya musuh” kata Juno sambil tersenyum bangga melihat anaknya yang sudah mau berdamai.
“lo kesana aja, temanin tu anak, siapa namanya Raja yah? Benarkan?” Dio menjawab dengan anggukan.
“biar nanti gue yang antar pesanan, lo sekalian makan gak?” tanya Abeng lagi.
“buatin aja sekalian” Dio meninggalkan dapur kembali menuju Raja yang sejak tadi sudah ditinggalnya.
“lama banget, ngomongin gue yah?” tanya Raja asal. “iya” jawab Dio langsung
“frontal banget” kata Raja tak percaya. “ngomongin apa?” tanyanya yang tenyata penasaran.
“kata abang gue lo siapa?”
“terus lo jawab apa?”
“babu gue”
“kamvret lu” jawab Raja tak terima.
“gue bilang lo teman gue” kata Dio akhirnya menenangkan kembali rajukan Raja.
“abang lo yang mana?”
“itu yang tatto ya banyak, yang paling jelek” kata Dio mengejek kakaknya sendiri.
“adek kurang ajar memang lu, abang lu ganteng gitu lo bilang jelek” kata Raja sambil tertawa.
“lo homo yah, bilang abang gue ganteng. Kalau suka nanti gue sampaikan salam cinta lo” ejekkan Dio berlanjut kepada Raja.
“anjirrr...gue Cuma berpendapat” kata Raja kembali emosi tapi berhasil memancing tawa kecil Dio yang sangat jarang bisa dilihat.
“lo manis kalau ketawa gitu” kata Raja tak terduga-duga. Lantas Dio memajukan kepalanya, menyuruh Raja mendekat persis orang yang sedang berbisik.
“lo jangan ngomong gitu deh, nanti yang ada lo disangka homo, lo tau sendiri kan banyak yang nyangka gue cowok. Yah kecuali lo benar-benar homo gak masalah sih” kata Dio lalu menjauhkan kepalanya perlahan sambil tertawa setelah berhasil mengejek laki-laki itu lagi.
“asli kampret lu” kata Raja emosi tapi justru berubah jadi tawa ketika menyadari hal itu memang lucu.
“lo ketawa mulu, tapi muka lo kayak banyak masalah gitu” kata Dio tiba-tiba menghentikan tawa Raja, entah bagaimana ia berhasil menebak masalah yang dialaminya.
“kayaknya gue salah ngomong nih”
“gak papa santai aja, hebat juga lo bisa sadar kalau gue lagi ada masalah”
“gue asal ngomong aja” jawab Dio bohong, Dio seperti seperti mewarisi kepekaan Abeng yang mudah membaca suasana hati seseorang hanya dengan melihat mata orang itu. Ia bisa menebak apakah orang itu benar-benar bahagia, pura-pura bahagia, baik, ataupun pura-pura baik.
“oh iya nama asli lo siapa?” tanya Raja pelan menghindari orang-orang sekitar untuk mendengar, tapi tetap berusaha agar mampu didengar Dio.
“Clarissa Kurniawan” jawab Dio juga dengan nada pelan.
“cantik-” kata-kata Raja menggantung sejenak, membiarkan Dio penasaran untuk beberapa waktu. “nama lo” Raja melanjutkan potongan katanya.
“kenapa bisa dipanggil Dio? ” tanya Raja lagi.
“gara-gara teman bokap, dia risih manggil gue Clarissa sedangkan penampilan gue kayak cowok, jadi sejak itu dia manggil gue Dio. Gak tau dapat ilham ngasih nama itu dari mana?! Semenjak itu semua teman bokap dan abang jadi manggil gue Dio. Gitu juga bokap dan abang gue yang ikut-ikutan manggil Dio.”
“sejak kapan lo berubah jadi kayak cowok gini?” tanya Raja dengan menurunkan nada bicaranya kembali.
“gak tau gue lupa” jawab Dio asal sambil buang muka.
“lo sebenarnya gak lupa, lo Cuma gak mau berbagi alasan ke gue” jawab Raja berhasil menebak kebohongan Dio. Memang betul Dio tidak pernah berniat cerita kepada siapapun tentang masalahnya kepada orang lain selain keluarganya sendiri.
Untuk kedua kalinya Raja berhasil menebak kebohongan Dio, keduannya seperti bisa saling menebak satu sama lain padahal keduanya baru saja saling mengenal.
“sarapan dulu nih”kata Abeng sudah datang membawa dua set sarapan.
“terima kasih bang” sapa Raja ramah.
“kenalin ini abang gue” Dio mengenalkan kakaknya kepada Raja.
“Raja” keduanya saling berjabat tangan, dan saling melemparkan senyuman
“gue Abeng, kakaknya Dio. Karena lo teman adek gue jadi sekarang lo teman gue oke?” Abeng menjawab ramah sapaan Raja.
“ya sudah lanjut aja makan dan ngobrolnya. Gue masih ada kerjaan nih. Gue tinggal yah” kata Abeng lagi meninggalkan keduannya melanjutkan aktivitas semula.
***
Suasana hati Elang belum juga membaik, curahan hati Raja dari perkelahian mereka tadi pagi berhasil membuat kacau pikirannya. Pekerjaannya kali ini sedikit kacau karena masalah itu, Elang tidak bisa berkonsentrasi seperti biasanya.
Yuni menyadari kejanggalan dari Elang, sangat mudah bagi Yuni mengetahui kekhwatiran yang ia alami saat ini, pertemanan yang sudah terjadi sejak kecil membuat keduanya saling mengenal satu sama lain, bukan hal sulit bagi mereka menyadari jika salah satu ada masalah.
“lo ada masalah apa Lang?” tanya Yuni to the point sambil meletakkan secangkir kopi dihadapan Elang.
“gue berantem sama Raja” jawab Elang lesu.
“bukannya biasa kalau adik kakak berantem”
“tapi kali ini beda Yun” keluh Elang putus asa.
“beda kenapa Lang?” Yuni tampak bingung, ia menyadari betul ada keputusasaan dari wajah itu, seolah ia tak mampu menyelesaikan masalah ini sendiri.
“Raja kemaren seharian gak pulang, waktu dia pulang gue langsung marah dan menyalahkannya. Tiba-tiba Raja ngomong kalau dia kesini untuk nyokap, dan gak punya urusan dengan gue.” Elang menghela nafas ada beban berat yang menyesaki otak dan pikirannya, Yuni masih dia menunggu cerita itu sampai selesai.
“waktu gue bilang kalau urusan hidup dia, menjadi urusan dan tanggung jawab gue juga. Lo tau dia ngomong apa?-” Yuni menggeleng ragu,melihat ekspresi Elang yang sangan menyedihkan.
“Raja bilang sejak kapan gue jadi peduli tentang hidup dia? Sejak kapan lo anggap gue adik? Gue kaget dengar kata-kata Raja, Raja bilang kenapa gue jadi peduli ? padahal dulu gue selalu menganggap dia sebagai pembunuh nyokap, sumpah Yun gue gak punya niat ngelakuin itu. Gue waktu itu masih terlalu muda, terlalu mudah dikuasai amarah. Gue gak tau kalau keegoisan gue bakal berakibat ke Raja” ucap Elang menyesal.
“Tenang Lang, lo harus bicarakan ini ke Raja baik-baik. Mungkin ini bakal sulit tapi lo harus perlahan-lahan meyakinkan Raja kalau itu bukan murni kesengajaan lo. Gue tau Raja pasti terpukul dengan perlakuan lo waktu dulu, tapi bukan berarti gak ada harapan dia bakal memaafkan lo.” Yuni mencoba menyemangati Elang. Wajah laki-kali itu terlihat rapuh menyadari seberapa besar kesalahannya dimasa lalu.
“iya Yun, gue pasti bakal berusaha buat meyakinkan Raja, agar dia mau memaaafkan gue. Gue sadar ini bukan dosa kecil yang mudah untuk dimaafkan, tapi gue bakal tetap berusaha.”
“Harus Lang, sudah dong jangan galau terus. Gue tau ini berat tapi lo harus tegar. Lo harus tetap ingat happy, jangan lupakan itu” kata Yuni memeri semangat sambil menepuk-nepuk bahu laki-laki itu.
“Lang gue harus pergi, ada kerjaan yang belum selesai. Semangat terus yahh” sebelum Yuni sempat pergi Elang menahannya sebentar.
“tolong panggilin Sony sekalian yah” pinta Elang lantas dijawab dengan anggukan.
Sekitar 10 menit setealah Yuni pergi, Sony memasuki ruangan kerja Elang. Dilihatnya laki-laki itu sedang menyeruput kopi yang tadi diberikan Yuni.
“kenapa Lang?” tanya Sony langsung setelah duduk disofa tamu mengahadap kearah Elang.
“lo udah dapat kabar tentang Dian?” tanya Elang.
“belum Lang, rencananya besok gue baru ketemu teman gue yang ngurus masalah ini”
“nanti kabarin gue kalau ada info son”
“iya lang, nanti pasti gue kabarin lo percaya aja sama gue”
***
Setalah kabur tadi pagi Raja kembali lagi kerumah, lebih awal dari biasanya berharap tidak bertemu Elang karena yang dia tau Elang selau lembur dan pulang malam.
Raja melewati kamar Elang yang bersebelahan dengan kabarnya tapi langkahnya terhenti sadar akan kehadiran kakaknya.
“Raja, gue minta maaf, gue sadar ini murni salah gue. Gue tau ini kejadian dimasa lalu tapi gue gak tau kalau luka ini bakal membekas lama” kata Elang to the point.
“Lo mungkin bisa menyesal ataupun minta maaf, tapi maaf lo itu gak ada gunanya. Lo gak bakal bisa menghapus trauma gue karena sudah dianggap sebagai pembunuh. Pikiran pendek dan ego lo itu menghancurkan hidup orang lain. Lo harus sadar itu!” Kata Raja tak tanggung-tanggung langsung minikam Elang, kepalanya dipenuhi emosi, emosi yang tidak bisa disalurkan sejak kecil.
“lo gak pernah tau perasaan gue gimana! Waktu itu gue terlalu kecil untuk memahami hal serumit itu. Disaat lo sibuk bersenang-senang dengan teman-teman lo, setiap hari gue Cuma ditemani pembantu, bokap sibuk dengan pekerjaannya. Gue gak punya siapa-siapa untuk diandalkan, gue gak punya siapa-siapa untuk berlindung, keluarga yang seharusnya bisa lo harapkan justru gak ada. Setiap malam gue nangis Lang, gue mikir dimana salah gue? Apa salah gue? Apa kelahiran gue itu suatu kejahatan? Tapi gue gak bisa dapat jawabannya. Gue hampir berpikir untuk mati diumur sekecil itu Lang. Lo Cuma berpendapat lo lah korban, tapi lo gak pernah mikir perasaan gue” Raja terus-terus menghujani Elang dengan rasa bersalah.
“Lo berhasil menghancurkan masa depan gue Lang. Masa depan Adik kandung lo sendiri. Lo kira gue hura-hura buat apa? Buat ngelepasin depresi Lang. Kalau dulu lo gak jadiin gue samsak buat masalah lo, mungkin gue gak akan sebenci ini sama lo” Kata spontan Raja menyadarkannya dari kesalahan dimasa lalu, kesalahan yang diperbuatnya karena terlalu egois.
Mata Elang basah, tanpa sadar air matanya keluar tak terkendali. Elang tidak bisa menyangkal kesalahannya, ia tidak pernah menyangka perbuatan bodohnya tidak hanya menghancurkan kehidupan Dian tapi juga berhasil merusak hidup adik kandung nya sendiri. Elang langsung terinagt bagai mana kehidupan Dian setelah perbuatannya, jika Raja saja merasa sehancur itu apalagi dengan Dian.
“maafin gue” jawab Elang lesu tidak mampu lagi membela diri. “sudah deh, untuk saat ini gak usah dibahas dulu.”
Kata Raja kembali beranjak pergi, bahkan disaat dia baru beberapa menit menginjakkan kakinya dirumah. Semakin lama ia bersama Elang semakin ia menikam kakaknya dengar rasa bersalah, Raja sebenarnya tidak mau melakukan itu tapi emosi yang mengendalikannya. Raja sudah cukup senang ketika bisa kembali tinggal dirumah ini, terutama bersama kakak yang sudah lama dikaguminya walaupun tidak dipungkiri masih ada ruang tempat rasa benci itu bersarang.
“lo mau kemana lagi?”
“gak usah tanya, biarkan gue sendiri dulu.-” kata-kata Raja sempat terputus.
“gue bangga punya kakak kayak lo, tapi lo sendiri yang menghancurkan kebanggaan itu” katanya lagi yang sekali lagi menikam Elang. Air matanya semakin deras tak terkendali lagi.
Dunia malam, selalu menjadi dunia yang liar. Diantara sunyi atau tenangnya negara berkembang selalu ada satu titik dimana itu menjadi tempat paling bising. Selalu ada salah satu tempat yang menjadi tempat orang-orang bersenang-senang, berhura-hura, ataupun semacamnya.
Keramaian dan kebisingan diskotik sudah menjadi sahabat bagi Raja, setiap dia merasa kesepian, marah, depresi, sedih ia selalu pergi ketempat ini. Walaupun ia tak benar-benar merasa pulih setidaknya kebisingan ini berhasil mengalihkan pikirannya sejenak.
Diotak-atiknya layar handphone, mencoba menghubungi seseorang yang dipanggilnya berharap ia mampu menemaninya saat ini. Raja butuh seseorang yang mampu mendengar ceritannya. Orang yang ditunggunya sudah datang dengan menggunakan jamper kuning, orang itu menutup kepalanya dengan topi dari jemper dan denga sebuah topi hitam lagi, membuatnya tampak asing dan sulit dikenali.
“kenapa lo panggil gue?” tanya Dio langsung saat sampai, ia menyadarkan badannya ke sebuah sofa tempat Raja duduk, dilihatnya Raja sorang sendiri dengan keadaan agak mabuk.
Bukannya menjawab pertanyaan Dio, Raja justru akan menenggak minuman keras itu lagi tapi sempat tertahan karena Dio yang berhasil menahan tangannya.
“lo mau?” jawab Raja sambil tertawa kecil, tawa itu terlihat begitu menyedihkan bagi Dio, tawa yang dipaksakan.
“gue gak minum” jawab Dio meletakkan gelas berisi minuman keras.
“tampang lo aja yang berandalan, tapi ternyata lo anak baik-baik” jawab Raja sambil menatap kearah langit-langit ruangan pribadi di salah satu diskotik yang ditempatinya.
“jangan menilai orang seburuk penampilannya.”
“jadi bagaimana gue harus menilai seseorang”
“kenali dia, pahami karakternya”
“apa ini karena masalah tadi pagi?” kata Dio lagi bertanya.
“gue gak bisa maafin abang gue, tapi disisi lain gue pengen maafin dia. Gue gak tau harus apa? Dia sudah membuat rasa kagum gue berubah jadi benci” kara Raja terdengar lemah dan rapuh. Dio hanya diam, tidak mau berpendapat apa-apa dulu. Membiarkan Raja puas menyalurkan emosinya dulu.
“dari dulu dia Cuma menganggap gue sebagai penyebab kematian nyokap, dia menyalahkan kelahiran gue, kalau gak karena melahirkan gue mungkin nyokap gak bakal mati dia selalu mikir gue penyebab masalah itu. Gue bahkan gak punya kesempatan buat manggil dia kakak, setiap gue mencoba melakukan itu gue selalu kena marah, seolah kata-kata itu terlalu menjijikkan untuk dia dengar. Dia selalu merasa dia lah yang paling bersedih karena ditinggal nyokap, tapi dia gak pernah mencoba mengerti perasaan gue gimana?” Raja terhenti menyadari air matanya keluar tanpa izin.
“tapi sekarang tiba-tiba dengan gampangnya dia bilang maaf, bahkan dia gak sadar kesalahannya dimana kalau gue gak ngasih tau”
“setidaknya ada rasa penyesalan saat ini, setidaknya dia sudah mau memperbaiki kesalahannya.” Jawab Dio akhirnya.
“apa gunanya memperbaiki masalah kalau semuanya sudah terjadi, gara-gara dia gue gak bisa menghilangkan trauma gue karena pernah dituduh pembunuh.” Kata Raja kesal tidak puas dengan jawaban Dio yang terkesan lebih membela Elang.
“lo gak akan bisa menyembuhkan luka lo, trauma lo, atau apapaun itu kalau lo masih memendam perasaan benci lo itu. Perasaan benci lo itu yang menguasai lo” kata Dio turut kesal.
“gue tau menghilangkan trauma itu sulit, tapi akan lebih sulit kalau lo gak mau berubah. Lo gak hidup disatu titik yang sama. Lo harus berubah, berubah bukan berarti melupakan lo hanya harus mengikhlaskan. Sesulit apapun hidup lo pada akhirnya bumi akan terus berputar, hidup akan terus berjalan. Semua memang sulit, tapi lo bisa mencoba itu sedikit demi sedikit.” Kata-kata Dio berhasil menenangkan perasaan Raja, menyadarkannya, dan membuatnya juga hanyut dalam emosinya sendiri.
Tbc--
Happy Reading :-)
Boleh suka boleh gak.
![](https://img.wattpad.com/cover/117350237-288-k5285.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
But, Who I Am?
Dla nastolatków"Ketika waktu dan tragedi merubahmu menjadi orang yang berbeda" Seorang anak SMA sepolos Dian tidak pernah menyangka rasa sukanya selama ini kepada kakak kelasnya-Elang terbalaskan, entah keberuntungan macam apa yang menimpanya Elang anak paling hit...