Titik terang

292 19 3
                                    

Abeng cepat-cepat turun kelantai bawah karena Dio bilang dia datang bersama Yuni walaupun ia bingung kenapa Yuni ada disini dijam semalam ini.

Dilihatnya dicafe yang memang sudah tutup ada Yuni dan Dio, mereka duduk disalah satu meja diterangi salah satu lampu yang ada.

“lama banget sih?” keluh Dio saat Abeng sudah sampai.

“gue pakai baju dulu” kata Abeng beralasan.

“makanya tidur pakai baju, jangan bugil” kata Dio frontal berbicara didepan Yuni yang memang sedang dekat dengan Abeng.

“Anjir! gue Cuma gak pake baju, gak bugil. Jangan bikin gue malu kali” kata Abeng mengomel. Sementara Yuni hanya tertawa melihat pertengkaran mereka.

“sudah gak usah banyak bacot deh. Nih kak Yuni antar pulang, kasihan mobilnya mogok, Gue gak bisa ngantar masih ada orderan” kata Dio

“benar Yun?” tanya Abeng lalu Yuni mengangguk.

“ya udah gue pergi deh, dah kak” kata Dio berpamitan.

“terima kasih yah Dio” kata Yuni.

Kini hanya tinggal Yuni dan Abeng saja berdua, di lantai bawah rumahnya alias cafe.

“lo gak apa-apa?” tanya Abeng setelah mengambil posisi duduk berhadapan dengan Yuni. “gak apa-apa, tadi untung ada Dio” kata Yuni.

Tapi ditengah obrolan mereka tiba-tiba Dio kembali lagi membuka pintu kaca mengeluarkan separoh badannya.

“bang nanti lo urus mobil kak Yuni yang mogok yah, tadi gue sudah nyuruh Budi cs yang antar kebengkel, lo urus sisanya yah? Oh iya tadi mereka godain kak Yuni tuh” Kata Dio laporan lalu pergi lagi, benar-benar tak kembali.

Abeng sempat bingung lalu menatap kearah Yuni dengan tatapan datar masih tak mengerti maksud Dio.

“lo digodain?” tanya Abeng hati-hati sekaligus ragu.

“iya tadi waktu mobil gue mogok sempat diisengin gitu, untung ada Dio datang ternyata itu teman kalian kata Dio”

“wahh cari mati tu bocah-bocah” kata Abeng jadi kesal.

“tapi lo gak apa-apa kan?” tanya Abeng kembali.

“iya gue gak apa-apa kok”

“lo tenang aja bakal gue kasih pelajaran mereka”

“gak usah kali, apaan sih? Kan yang penting gue gak kenapa-kenapa”

“iya deh, jadi mobil lo mereka yang urus?”

“iya katanya mereka yang urus”

“oke deh, nanti gue urus sisanya. Gak usah khawatir” kata Abeng.

“lain kali kalau pulang malam, hubungin gue aja. Jangan pulang sendiri! Bahaya!” kata Abeng perhatian.

“gue gak apa-apa kok, lagian gue juga jarang pulang malam. Ini kebetulan lembur aja jadi pulang malam”

“lo sih gak mau jadi pacar gue? Coba lo jadi pacar gue gak bakal gue biarin lo pulang sendiri. Gue mau nganterin lo tapi gue gak punya hak apa-apa.” Kata Abeng menyinggung Yuni.

“emang gue pernah bilang gak mau?” tanya Yuni menyambut.

“jadi lo mau?”

“lo nembak gue?” tanya Yuni bingung.

“iya gue nembak lo” kata Abeng jujur

“gak romantis ih” celetuk Yuni

“Aduh kalau nunggu romantis kapan jadiannya, yang pentingkan selama lo jadi pacar gue lo happy dan nyaman. Percuma dong gue nembak romantis kalau nantinya lo gak nyaman sama gue”

“hmm”

“jadi gimana?”

“iya deh” jawab Yuni malu-malu.

“yessss udah RESMI” kata Abeng saking bahagianya sampai memeluk Yuni.

***

Hari masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas dikantor, tapi orang itu sudah duduk menunggu bosnya diruang kerjanya. Dengan ditemani secangkir kopi ia menunggu dengan tak sabar, berharap info yang dibawanya membuka celah baru.

Elang menekan tombol lift, menuju lantai tempat ruangannya bekerja.

“Eh lo son” sapa Elang saat sadar ada Sony didalam ruangannya. Sony membalas sapaan Elang dengan lambaian tangan sekaligus senyumnya yang manis.

“gue nungguin lo dari tadi” Elang menghampiri Sony yang duduk disofa didepan meja kerjannya, Elang ikut duduk menyesuaikan posisi Sony.

“oh ya? Ada apa?” tanya Elang.

“tentang Dian” Mata Elang langsung terfokus pada Sony ketika mendengar kata-kata itu, ia langsung memasang wajah serius. Siap mendengarkan semua informasi yang didapat.

Sony seperti paham isi hati Elang, ia lantas menjelaskan informasi baru yang didapatkannya. “sebelumnya gue harap lo bisa menerima informasi ini” kata Sony sebelum menjelaskan semuanya.

Elang menelan ludah kaku, seolah takut dengan informasi yang akan diketahuinya. Tapi ia mencoba menyakinkan diri agar bisa menerima kenyataan yang ada.

“orang tua Dian sudah lama meninggal dunia, mungkin sejak beberapa bulan dia pindah. Dian dan keluarganya mengalami kecelakaan saat disana. Cuma Dian yang selamat.”

Seperti ditikam rasa bersalah yang makin lama makin tajam layaknya belati, rasa bersalah itu menusuk hati Elang. Elang tidak pernah menyangka hidup Dian akan sehancur ini setelah kejadian itu.

Elang tertunduk lesu, tak mampu menutupi kesalahan pada dirinya sendiri dan tak mampu menahan rasa malu atas rasa bersalah yang terus menghantuinya.

“jadi bagaimana keadaan Dian sekarang?” tanya Elang sangat pelan.

“setelah itu Dian diadopsi orang Indonesia. Orang tua yang mengadopsi Dian sebelumnya tinggal di California juga. Tapi sekarang sudah pindah. Gue gak tau Dian pindah kemana? entah ke Indonesia atau ke negara lain.”

“Dian Cuma sempat beberapa bulan disana, selama disana Dian juga gak sekolah disekolah manapun yang ada disana. Kemungkinan Dian homeschooling.”


“mungkin bakal perlu waktu lama buat gue nyari keberadaan Dian, ditambah lagi kita gak tau siapa yang mengabdosinya dan kemana sekarang mereka pindah. Apalagi kalau sampai orang tua angkatnya mengganti nama Dian”

Elang sama sekali tak bersuara, ia hanya terdiam. Perasaannya sudah terlalu kalut tak yakin harus berekspresi bagaimana.

“tapi tenang aja Lang, gue bakal nyari keberadaan Dian lagi. Semoga aja gue cepat dapatin info. Lo jangan sedih ataupun terpukul. Ini bukan salah lo Lang, ini sudah jadi jalan hidup Dian. Lo gak bisa menyalahkan diri lo sendiri untuk apa yang terjadi pada Dian.” Kata Sony mencoba menguatkan Elang. Elang hanya membalas dengan anggukan pelan dan tersenyum tipis, senyum penuh kesedihan.

Sebuah ketukan pintu, menyadarkan keduanya dari suasana suram yang tercipta. Elang dan Sony cepat-cepat mengubah ekspresi wajah mereka, berharap orang yang datang tidak menyadari keadaan yang terjadi.

Setelah mempersilahkan, orang itu masuk membawa dua cup kopi. Dia adalah Dio, ia membawa kopi yang tadi sempat dipesan oleh Elang, ia datang dengan tatapan lesu serta wajah yang tertutup separuh oleh masker.

Dio meletakkan kedua cup kopi diatas meja dihadapan Elang dan Sony, ia meletakkan kopi itu berbarengan dengan sebuah nota berisikan harga kedua kopi itu.

Dio masih dalam keadaan berdiri menunggu bayaran dari Elang. Tatapan Dio menjelajah tak menentu, menatap ke semua arah seperti kamera pengintai. Sampai akhirnya tatapan itu terhenti kehadapan Sony yang juga tanpa sengaja menatap kearahnya.

Kontak mata mereka saling bertemu, saling menatap satu sama lain. Sony menyunggingkan senyum ramah kearah Dio, yang hanya dibalas anggukan. Karena walapun Dio tersenyum mana mungkin terlihat karena tertutup oleh masker.

“kayak teroris aja lo, pakai masker pakai topi juga” ledek Elang menyadari penampilan Dio.

Dio hanya menatap sinis, menatapnya dengan tatapan tak suka, sama sekali tak menjawab. Seperti orang yang sedang puasa bicara.

“santai kali ngeliatinnya, gue Cuma bercanda” kata Elang kembali. Dio Cuma buang muka tak mau mengehiraukan Elang.

Sekali lagi Dio menatap tajam kearah Sony, menatap langsung mata laki-laki itu. Seperti ada hal yang membuatnya penasaran tentang Sony, tapi ia belum terlalu yakin ini tentang apa.

“kenapa?” tanya Sony bingung

Tanpa mengeluarkan suara, Dio hanya menggelang pelan lalu mengalihkan pandangannya ketempat lain. Elang memberikan bayaran harga kopi ke Dio, lalu Dio pergi begitu saja meninggalkan mereka, tanpa mengucapkan satu patah katapun sejak tadi. Membuat heran Elang dan Sony.

“kenapa sih tu anak? Kayak kesambet setan aja” celetuk Elang tanpa sadar seperginya Dio.

***

“gimana pekerjaan lo?” tanya Elang pada Raja saat dimeja makan.

“ya gitu deh” jawab Raja sembarang sambil sesekali menyuapkan makanan kemulutnya.

Sudah tidak seperti sebelumnya, kini mereka lambat laun menjadi dekat layaknya seorang kakak beradik pada umumnya. Masalah lama yang sempat menjadi dinding besar bagi mereka perlahan hancur menciptakan jarak yang tanpa sadar mulai mendekat tiap langkahnya.

Obroloan dikala sarapan ataupun makan malam sudah seperti rutinitas bagi mereka, walaupun jarang bertemu karena kesibukan masing-masing masih ada saja waktu yang tercipta untuk mereka isi bersama.

“banyak cewek yang mepetin gue, semenjak kerja disana” kata Raja dengan tawanya, merasa lucu dengan keadaanya.

Walaupun bukan pertama kalinya ia didekati oleh para perempuan, tapi hal ini masih menjadi hal lucu baginya. Bagaimana bisa dengan mudah baginya menarik perhatian para perempuan hanya dengan tampangnya, yang bisa dibilang tampan.

“lumayan kan nambah pelanggan dicafe” kata Elang membalas Raja dengan gurauan.

Raja tertawa ringan sebelum menjawab Elang. “iya juga sih, tapi jadi banyak yang minta nomor gue, menuh-menuhin kontak hp aja” celetuknya.

“gak usah disimpan lah”

“tapi sayang bro, cantik-cantik sih tapi sayang murahan” katanya bergurau sambil meledek peremupuan yang biasa menggodanya dicafe.

“omongan lo dijaga, jangan gitu”

“tapi emang benarkan?”

“kalaupun benar seharusnya lo gak gitu, kalaupun cewek itu murahan tugas kita sebagai laki-laki yah menaikkan harga diri mereka. Membuat mereka berfikir kalau mereka itu makhluk Tuhan yang paling mahal yang gak bisa sembarangan dipermainkan apalagi dibeli dengan uang”

“iya bang, kok jadi serius gini yah?”

“sorry..sorry..kebawa perasaan gue wkwk”

“Lo kenal Dio dari mana?” tanya Raja mengalihkan pembicaraan.

“gue sempat ketemu dia dikantor, waktu dia ngantarin orderan kopi. Waktu di lift dompet gua jatuh dan Dio yang nemuin. Itu awal mula gue ketemu dia.”

“ohh setelah itu kalian berteman?”

“awalnya sih belum, dalam beberapa waktu kami ketemu lagi dan ngobrol sejak saat itu kami mulai akrab ya akhirnya sampai kayak gini kondisiya.”

Raja Cuma mengangguk-angguk memahami maksud cerita kakaknya.

“lo kenal Dio sejak kapan?” kini justru Elang yang beralih bertanya.

“sebelum gue jelasin itu, gue mau nanya satu hal sama lo?” Raja memainkan jarinya, seperti memanggil Elang untuk mendekatkan wajah kearahnya.

“apaan?” tanya Elang tanpa sadar dengan nada berbisik seolah sadar kalau Raja akan menjelaskan sesuatu yang bersifat rahasia.


“lo sudah tau kalau Dio cewek?” tanya Raja hati-hati.

“gue tau” Raja tampak kaget, tak menyangka kalau Elang juga tau hal itu.

“KAPAN?” tanya Raja saking kagetnya sampai meninggikan suaranya membuat sakit telingan Elang karena dia yang tiba-tiba bertanya sambil teriak.

“waktu itu Dio pernah pingsan karena kecapean jadi gue bawa dia ke dokter yang juga teman gue, disitu gue baru tau kalau dia perempuan.”

“Dio pingsan? Kok gue gak tau?”

“gue sengaja rahasian itu, dari orang lain selain keluarganya. Gue takut Dio gak suka kalau gue ngumbar kenyataan kalau sebenarnya dia cewek”

“oh gitu”

“lo juga tau sejak kapan?” tanya Elang tersadar. “dari awal gue ketemu dia” jawab Raja santai

“kok bisa?”

“tau aja, feeling gue bilang kalau dia cewek”

“gue aja gak tau kalau dia cewek”


“lo gak peka sih, gak cocok jadi detektif”

“yang mau jadi detektif juga siapa?!”

“jadi lo ketemu dan kenal Dio sejak kapan?” tanya Elang lagi menuntut jawaban dari pertanyaannya yang tadi.

“lo ingat cewek yang waktu itu sempat gue ceritain? Yang pernah nonjok gue?” kata Raja mengingatkan Elang.

“iya gue ingat”

“nah Itu Dio, maksud gue Clarissa” jawabnya.

“jadi cewek yang waktu itu bikin lo penasaran itu Clarissa? Cewek yang menarik perhatian lo?”

“ya gitu deh”

“lo suka?”

“awalnya gue Cuma penasaran aja, tapi kayaknya sekarang gue suka sama Clarissa” jawab Raja berterus terang tentang perasaannya.

Elang Cuma tersenyum masam, tak bisa merespon apa-apa. Padahal seharusnya tak masalah siapa yang disukai oleh Raja, tapi anehnya ketika ia tau orang yang Raja suka adalah Dio atau lebih tepatnya Clarissa hatinya serasa sakit tak bisa menerima keadaan yang ada.

Ada penolakan yang terjadi disana, entah penolakan macam apa dan penaolakan karena apa. Mungkin karena tanpa sadar Elang juga mulai menaruh perhatiaan pada Clarissa? Atau mungkin karena ia tak bisa menerima kenyataan kalau adiknya juga menyukai orang yang mulai disukainya?

***

Ada bunyi ketukan terdengar dai pintu ruang kerja Sony, orang yang melakukannya adalah Dio. Sambil membawa satu cup kopi Dio masuk setlah mendapatkan izin.

Padahal sudah larut malam, tapi Sony masih sibuk mengerjakan berkas-berkas kantor yang sepertinya harus selesai malam ini juga. Dio meletakkan kopi dimeja kerjanya Sony sambil menyerahkan nota harga kopi.

“lembur?” tanya Dio memecah kehinangan.

Sony tersenyum mendengar pertanyaan Dio “iya, tapi sebentar lagi selesai” Dio Cuma mengangguk.

“lo lagi sakit?” tanya Sony kini, mungkin ia penasaran karena sejak bertemu pagi tadi Dio selalu memakai Masker.

“kayaknya sih” jawab Dio juga bingung dengan kondisinya.

“kok?”

“soalnya dari pagi tadi gue bersin mulu, daripada bikin gak enak orang lebih baik pakai masker” jelasnya seolah paham kalau waktu itu Sony sedang bertanya.

“oh gitu” Sony beralih pada salah satu laci yang ada didekatnya seperti mencari sesuatu. “ini” katanya setelah mendapatkan apa yang dicarinya. Diberikan barang itu ke Dio.

Dio mengerutkan dahi karena bingung “untuk apa?” tanya Dio.

“buat lo, katanya lo sakitkan? Biasanya kalau gue flu gue selalu makan itu. Bisa sedikit meringankan” jelas Sony. Dia memberikan permen jahe ke Dio, satu bungkus diberikannya kira-kira ada 5 permen didalam bungkus itu.

Dio menerima permen itu lalu mengangguk-angguk.

“lo tungguin gue yah. Sekalian antar gue pulang.” Kata Sony kembali duduk dan sibuk dengan pekerjaannya.

“iya”

“sebentar lagi, kerjaan gue selesai” kata Sony lagi. Dio mengiyakan, lalu duduk disalah satu kursi yang ada disana. Dio yang kebetulan duduk menghadap Sony jadi melihatinya sejak tadi, ntah melamun atau mmang sedang mentapa kearah Sony. Sebab pandangannya tak lepas dari Sony.

“lo-“ kata Dio terputus, membuat Sony kini menatapanya penasaran menunggu kelanjutan cerita.

“gue pernah ketemu lo sebelum kita kenal gak sih?” tanya Dio

“mungkin pernah, dijalan atau ditempat lain”

“iya sih mungkin aja” jawab Dio yang sebenarnya masih belum puas dengan jawaban sony.
“kenapa?”

“gue ngerasa familiar banget sama muka lo”

“muka kayak gue memang sedikit pasaran” jawab Sony dengan gurauan.

--Tbc--

But, Who I Am?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang