Puzzle

295 12 1
                                    

Kebiasaan lama mbo Yun membangunkan Raja sewaktu kecil kembali terlulang, ketukan pintu kamar Raja masih berhasil membangunkannya layaknya dulu. Raja mengacak kasar rambutnya sambil memaksa tubuhnya untuk bangkit dari kasur menuju pintu kamar.

“kenapa mbo? Masih pagi nih, Raja kan gak sekolah kayak dulu, kenapa pagi banget dibanguninnya” tanya Raja lesu masih dalam keadaan mengantuk.

“Mbo mau kepasar, kalau aden mau makan udah Mbo siapin.”

“ya elah kirain ada apa. Iya mbo nanti Raja sarapan kok” celoteh Raja sambil kembali masuk kemar, melanjutkan tidurnya. Mbo Yun tetawa geli melihat kelakuan Raja yang nampak lucu.

Tok...tok..tok... bunyi itu kembali terdengar mengusik kenyamanan Raja. Dengan berat hati Raja kembali bangun untuk membuka pintu.

“apaan lagi sih mbo?” tanya Raja langsung tanpa menyadari bahwa kali ini bukan mbo Yun yang mengetuk pintu melainkan Elang lah yang melakukannya. Raja tersentak kaget saat menyadari orang lain yang melakukannya.

“apa lagi?” tanya Raja kasar.

“gue mau ngomong sama lo” kata Elang langsung keinti.

“males gue” Raja menutup paksa pintu kamarnya namun tertahan oleh tangan Elang.

“Gue minta maaf, gue benar-benar minta maaf. Gue menyesal untuk semua perbuatan bodoh gue dimasa lalu. Gue tau, gue gak tau diri Cuma bisa bilang maaf. Gue cuman gak mau masalah ini terlalu berlarut-larut” kata Elang langsung sebelum Raja benar-benar berhasil menutup pintu. Gerakkan Raja berhenti mendengar dan mencerna baik-baik permohonan maaf Elang.

“gue maafin lo, tapi bakal sulit bagi gue menerima lo lagi. Beri gue waktu dan ruang untuk menata perasaan gue yang hancur. Jadi bantu gue? Tolong” kata Raja berdamai, Raja yang sejak awal memang berniat ingin berdamai akhirnya punya keberanian untuk mewujutkan niat itu.

Ada senyum puas dan lega tergambar dari paras Elang, bebannya perlahan hilang setelah mendengar permohonan maafnya diterima.
Walaupun masih ada hal yang harus diselesaikan secara perlahan, ada suasana yang harus diperbaikinya.

“iya gue bakal bantu lo, gue juga gak terlalu memaksa lo untuk buru-buru menerima gue sepenuhnya. Gue akan perlahan-lahan melakukannya.” Ucap Elang senang.

“lo gak sarapan? Tanya Elang ramah, memulai perbaikan keadaaan.

“gak, gue mau tidur aja masih ngantuk” jawab Raja santai lalu masuk kekamar meninggalkan Elang seorang diri dibalik pintu kapar yang tertutup.

***

Suasana cafe sudah mulai ramai oleh pengunjung, beberapa pelanggan hilir mudik kasir memesan makanan dan minuman yang ingin mereka beli. Suasana dapur cafe juga sudah riuh dipenuhi kesibukan masing-masing karyawan.

Dio yang kebetulan sedang datang rajinnya membantu melayani pembeli. Ia hilir mudik dari satu meja kemeja lain untuk mengambil pesananan sekaligus mengantarkannya.

Raja memasuki cafe itu dengan senyum manisnya, merasa senang orang yang ingin dicarinya ternyata sudah ada disekitar cafe. ia memilih salah satu meja lalu meminta pesanan, yang kebetulan Dio yang melakukannya.

“datang lagi?” sapa Dio

“kenapa? gak boleh gue kesini?” jawab Raja

“baperan  lo, kayak anak alay” celoteh Dio asal dibalas tawa pendek dari Raja.

“latte dong satu” kata Raja akhirnya.

“tunggu aja” jawab Dio singkat. Dio kembali keaktivitas semula melayani pembeli yang lain. Diam-diam Raja memperhatikan gerak-gerik Dio yang tampak sibuk.

Ia bahkan tidak terlalu memperhatikan keberadaa Raja, layaknya pelanggan biasa beberapa kali ia melewati Raja begitu saja.  Sesekali Raja tersenyum  melihat kegiatan Dio, yang sebenarnya tidak hal yang spesial. Setelah lama bermondar-mandi kayak setrikaan Dio mendatangi Raja dengan secangir latte.

“nih” ucap Dio singkat, seraya mendudukkan tubuhnya kesebuah kursi kosong didepan Raja. Suasana Cafe yang sejenak renggang oleh pembeli, membuat Dio mengistirahatkan sejenak kelelahannya.

“tumben rame banget cafe?” tanya Raja

“gak tau, cape gua” jawab Dio yang memang nampak kelelahan.

“istirahat lah, payah gitu aja ngeluh” celetuk Raja memancing kekesalan Dio.

“tau apa lo? Duit biasa minta orang tua sok nasihatin orang segala. Lu tuh yang lebih payah dari gue” sindir Dio sejadi-jadinya berhasil membungkam Raja.

“gila, kalah telak gue” canda Raja menanggapi sindiran Dio. Dio hanya menatap Raja dengan wajah datar, tanpa ekspresi apalagi jawaban.

“gue sudah baikan sama abang gue” kata Raja berterus terang tujuannya datang menemui Dio.

“bagus deh” jawab Dio singkat tapi ada segaris kecil senyum disana.

“tapi gue masih belum bisa nerima keberadaan dia, gue minta sama abang gue buat perlahan bantu gue buat nerima gue” tambah Raja lagi.

“semua butuh proses, gak ada yang instan” ucap Dio menyemangati.

“terima kasih” ucap Raja pelan namun cukup untuk didengan Dio.

Mata Dio bertanya apa maksud dari pernyataan tersebut. “untuk?” tanya Dio bingung

“terima kasih lo sudah ngasih saran waktu itu” jelas Raja.

“yang manggil gue waktu itu kan lo”
“iya tapi waktu itu kan lo juga ngasih gue saran sampe emosi gitu, jadi gue sangat berterima kasih karena saran lo gue punya keberanian buat maafin abang gue” Dio membuang muka, merasa malu karena dirinya menjadi alasan Raja memulai sesuatu.

“gue kesal aja, sama kekonyolan lo yang menyelesaikan masalah dengan berdiam diri dan meratapi itu semua. Lo gak ada bedanya sama sampah kalau Cuma menghadapi masalah dengan masalah lain” celetuk Dio kasar.

“sumpah lo ngomong kasar banget, walaupun memang ada benarnya. Tapi cara bicara lo itu bisa nyakitin perasaan orang” kata Raja membalas kekasaran Dio.

“lo kalau gak suka cara bicara gue silahkan, gue juga gak minta lo nerima itu”

“yaelah santai kali gue bercanda, gak usah tersinggung”

“terserah lo aja” jawab Dio malas.
***

Seorang laki-laki berjas dokter, duduk disebuah ruang periksa yang memang menjadi tempat prakteknya, ia menhabiskan jam istirahatnya sambil membaca jernal kesehatan berbahasa asing. Tok...tok..tok.. bunyi ketukan pintu ruangan mengejutkan Bayu yang sejak tadi sibuk.

“hai bro” sapa seseorang setelah masuk keruang praktek Bayu.

“eh sudah sampai?” jawab Bayu.

“kenapa lo kemari? Sakit apa?” tanya Bayu setelah  Elang mendudukan badanya kesebuah kursi didepan Bayu.

“mau periksa aja? Akhir-akhir ini gue susah tidur kepala gue juga pusing” keluh Elang.

“lo kebanyakan begadang aja. Jangan terlalu stress mikirin pekerjaan. Dibawa istirahat juga paling sembuh” kata Bayu.

“kalau gak sembuh?” tanya Elang usil.

“mati aja lu” jawab Bayu ngasal.

“kampret lu, masih aja tengil kayak dulu” omel Elang pada Bayu. “yaelah bercanda kali”

“lo semenjak jadi dokter, jadi makin keliatan berwibawa sob” puji Elang.

“apa bedanya gue sama lo? Lo juga makin berwibawa sekarang apalagi semenjak sering pake setelan jas gitu” puji balik Bayu.

“lo apa kabar sekarang lang?” tanya Bayu lagi

“sejauh ini baik, lo?” tanya Elang

“keliatannnya gimana?” ujar Bayu justru bertanya balik sambil mencondongkan badan seolah memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.

“lo lagi ada hal membahagiakan apa? Atau  sekarang lagi dekat sama seseorang?” tanya Bayu menimbulkan raut kebingungan dari Elang.

“maksud lo?” tanya Elang.

“muka lo keliatan lebih fresh dari biasanya, muka-muka orang lagi bahagia gitu” jelas Bayu.

“masa sih? Perasaan sama aja”

“lo lagi dekat sama seseorang ya? Lagi ada yang lo PDKT in?” tanya Bayu menebak.

“gak tuh, apaan sih lo nanya gitu segala” Elang merasa sedikit risih dengan pertanyaan iseng temannya.
“aneh, muka lo itu muka orang kasmaran. Beda banget, gue kenal lo udah lama gue hapal betul ekspresi lo” kata Bayu menyelidik. Ada kebingungan yang juga menyelimuti Elang, karena pertanyaan konyol Bayu, mendadak Elang terpikirkan satu orang yaitu ‘DIO’.

Berkali-kali ia menghentikan pikiran bodohnya yang tertuju pada satu orang, betul memang semenjak ia bertemu dengan Dio ada perasaan senang dan bahagia yang tak tau dari mana datangnnya.

Elang merasa seperti orang gila karena terus memikirkan orang itu, semua itu diluar kendalinya. Elang yang terlanjur meyakini bahwa Dio adalah seorang laki-laki beranggapan kalau ini perasaan yang salah. Bahkan kini orang terdekat Elang mulai menyadari ada kesenangan yang tampak disana.
Seperti ada diri lain dari Elang yang menemukan kebahagian ketika bertemu Dio, orang yang selama ini masih dianggapnya sebagai orang asing, orang yang berhasil mencuri perhatiannya, dan orang yang berhasil membuatnya penasaran akan segala hal tentang dirinya seakan-akan pusat bumi hanya berputar mengitari orang itu.

Ini seperti perasaan menjijikan yang selalu muncul tanpa sebab, perasaan aneh yang terkesan bodoh, ia datang tanpa alasan yang jelas.

Walaupun disaat memikirkannya ini terasa sangat gila namun saat bertemu langsung dengan Dio ini justru terasa sangat wajar dan masuk akal.

“berhenti ngaco deh lo” elak Elang rada kesal.

“eh lang?”

“apaan lagi?”

“lo sudah nyari Dian?” tanya Bayu dengan nada suara yang lebih serius. Elang juga turut menanggapi pertanyaan itu dengan serius.

“sudah” jawabnya singkat dengan wajah yang amat serius.

“jadi lo sudah minta maaf?” tanya Bayu lagi.

“belum” jawab Elang sedikit putus asa merasa usahanya mencari Dian terlalu banyak halangan.

“kenapa belum?” tanya Bayu kembali.

“gue sudah nyari keberadaan Dian, tapi gak mudah. Gue sudah ketemu Ayu juga tapi kata Ayu dia juga kehilangan kabar dari Dian semenjak 3 Bulan dia pindah” jawab Elang lesu.

“Dian pindah kemana?”

“California, tapi gue gak tau pasti sekarang dia dimana, karena Ayu yang teman baiknya juga sudah kehilangan kabar dari Dian sudah lama banget.”

“gue gak nyangka masalahnya jadi bakal serumit ini”

“coba aja waktu itu gue gak langsung nuduh dan menghakimi Dian, mungkin keadaannya gak bakal separah ini”

“lo jangan ngomong gitu, jujur memang gue akuin lo itu salah tapi menyalahkan diri sendiri juga gak akan memperbaiki keadaan.”

“gue hampir putus asa”

“kalau lo putus asa, lo mungkin aja bakal memperpanjang masalah ini. Setidaknya lo harus bertanggung jawab dan minta maaf.” Bujuk Bayu

“tapi makin gue cari Dian makin sulit gue cari jejak dia Bay” kata Elang lesu tak bersemangat.

“lo harus tetap berusaha lang, masalah lo sama Raja aja sampai separah itu karena lo nuduh dia sebagai penyebab kematian nyokap lo. Apalagi perasaan Dian mungkin dia bisa lebih hancur dari yang kita bayangkan.” Kata Bayu mengingatkan masalahnya dengan Raja yang kebetulan juga diketahui oleh Bayu.

Elang hanya diam  membisu tak berbicara apa-apa. “lo harus minta maaf, mengembalikan perasaan Dian yang hancur lebur. Lo bisa liat kan Raja aja bisa trauma gitu apalagi Dian lang, sudah pasti dia juga bakal trauma. Trauma yang dialami seseorang bisa menghancurkan orang itu sendiri. Jadi lo harus temuin Dian, pastiin kalau gak ada hal buruk yang terjadi sama dia semenjak kejadiaan itu. Lo harus memperbaiki keadaan sekarang, bukan hanya diam”  saran Bayu mencoba menguatkan tekad temannya untuk tetap mencari Dian.

Yuni melewati tiap lorong rumah sakit mencari ruangan milik Bayu untuk menyusul Elang, disebuah lift ia melihat seseorang yang seperti ia kenali berada satu ruangan dengannya.

“hai” sapa Yuni ramah pada orang itu, yang juga membalas dengan senyuman hangat

“hai juga” kata Abeng sopan membalas sapaan Yuni.

“lo abangnya Dio kan?” tanya Yuni lagi.

“iya, lo siapa yah? Teman Dio?” tanya Abeng heran.

“oh kenalin gue Yuni-” ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan yang disambut oleh Abeng “gue Abeng”

“jadi lo siapa?” tanya Abeng lagi berusaha tetap sopan.

“oh gue bukan siapa-siapa kok gue Cuma pelanggan cafe lo aja, cuman beberapa hari yang lalu gue empat ketemu adek lo disalah satu bengkel” balas Yuni dengan nada sangat bersahabat.

“oh” jawab Abeng singkat. “lo sakit?” tanya Abeng lagi sengaja mencari bahan pembicaraan.

“enggak, gue mau nyusul teman gue dia lagi periksa disini. Lo sendiri?” tanya Yuni

“ohh gue Cuma mau jenguk teman gue”

Tingggg.....bunyi bel tanda pintu lif terbuka menujukan lantai yang dituju oleh Yuni.

“gue duluan yah” kata Yuni dibalas anggukan manis yang diiringi senyuman disana.

“oh iya salam kenal ya Yun. Jangan lupa mampir lagi ke cafe!” kata Abeng spontan sebelum pintu lift tertutup sempurna.

***

“Haloo...kenapa dad?” tanya Dio sadar bahwa handphone ya sejak tadi berbunyi.

“pulang dulu, ada orderan kopi yang terakhir.” Jelas Juno kepada Dio dari balik telepon.

“oke, on the way dadd” Dio menuruti perintah ayahnya.

Hanya perlu beberapa menit bagi Dio menyusuri padatnya jalanan untuk menuju cafe, Dio yang memang kebetulan berada tidak terlalu jauh dari lingkungan rumah tidak perlu waktu lama untuk balik.

“disini?” tanya Dio sedikit tak yakin dengan alamat yang diberikan ayahnya, alamat orang yang memesan dua gelas kopi.

“iya disini” jawab Juno.

“Elang yang mesan? biasanya bos kan ruang kerjanya dilantai paling atas” gumam Dio seorang diri sambil memegang kertas berisi alamat sambil menunggu ayahnya mengemas kopi pesanan.

“lo ngomong apa?” tanya Abeng sedikit peka dengan ucapan Dio yang samar-samar.

“apaan sih lo?” jawab Dio cuek. “ anjir, gue Cuma nanya santai kali” jawab Abeng geram.

“Bodo” jawab Dio mengompori emosi Abeng, sebuah pukulan kecil mendarat dikepalanya. Abeng tak bisa menahan lagi kekesalan itu, Juno hanya menatap tajam keduannya memperingatkan untuk berhenti ribut.

Dio membawa dua cup kopi, satu americano dan satu lagi latte. Ia memutuskan berjalan kaki sekaligus ingin berjalan-jalan. Sebuah earphone membungkam telinga dengan musik yang amat keras sampai-sampai orang yang berada didekatnya mungkin saja bisa mendengar.

Dalam lamunan ia terus mendikte otaknya untuk menuju alamat yang diberikan Juno takut-takut jika terlau asik melamun  Dio justru berjalan tak jelas kemana tujuannya, tanpa sadar sebuah bangunan besar sudah berada didepannya.

Ada sedikit orang disana hampir terlihat sepi bahkan hanya ada beberapa satpam yang berjaga-jaga. Setelah meminta izin dengan satpam Dio langsung menuju tempat yang memang betul rupanya milik Elang. Dengan intrupsi dari satpam Dio menuju ruang kerja orang itu.

Tok...tok...tok...

Tangan Dio membentur pelan membuat suara ketukan, setelah mendapat perintah dari orang didalam ia masuk membawakan pesanan.
“lo sudah datang?” sambar Elang langsung memulai pembicaraan.

“sesuai dugaan” Dio berbicara pada dirinya sendiri saat sadar siapa yang memesan kopi.

“ini pesanan lo, harga ada nota! Duitnya mana?” jawab Dio langsung meminta bayaran, tak ada lagi kesungkanan antara keduannya semua mencair seperti es menciptakan keakrapan ala teman.

“nanti dulu kali, temanin gue minum itu kopi” kata Elang

“lo mesan dua satunya untuk gue?” Alis Dio naik sebelah mendengarkan pernyataan Elang. “iya” jawab Elang tanpa malu.

“kenapa lo baik sama gue?” tanya Dio curiga namun tangannya bergerak mengambil secangkir latte sambil mengambil posisi berdiri bersebelahan dengan Elang menghadap pemandangan malam ibukota dari balik jendela besar.

“gak usah jawab, paling lo juga bakal jawab ‘mau lo apasih? Gue baik salah? Gue jahat tambah salah’ iya kan?” Tebak Dio dengan nada mengejek sebelum  Elang membuka suara. Ada tawa kecil dari sana, seolah tak percaya dengan tanggapan Dio.

“lo dukun yah? Tau aja gue mau ngomong apa”

“gue paranormal” jawab Dio asal menambah gurauan Elang. Kembali tawa itu terdengar lebih keras dari sebelumnya.

“masalah lo sudah kelar? Kayaknya muka lo udah gak ada beban” ucap Dio lagi setelah Elang berhenti tertawa.

“keliahatan dari muka gue yah?” tanya Elang.

“iya” jawab Dio singkat, ia menyeruput latte yang diberikan secara gratis. Sesekali Elang menatap kearah Dio, memperhatikan tiap gerak gerik dan ekspresi orang itu.

“terima kasih” ucap Elang ditengah diam antara keduannya.

“untuk saran waktu itu?” tanya Dio menebak.

“tuh tau” jawab Elang singkat. “sama-sama” jawab Dio menerima ucapan terimakasih.

“lo tau gak?” kata Dio lagi

“apaan?” tanya Elang penasaran.

“kalau lo aja gak tau apa lagi gue” ledek Dio sambil tertawa puas. “kampret lu, gue kira apaan?”

“sorry, sorry, gue bercanda! Jangan serius mulu dong hidup lo, gila nanti” kata Dio.

“apaan sih lo? jadi tadi lo bercanda? Atau memang mau bilang sesuatu?” tanya Elang lagi.

“hari ini ada dua orang yang bilang terima kasih sama gue, karena saran gue. Apa gue jadi psikiater aja kali yah? Buktinya saran gue berhasil dan mujarab” kata Dio terkesan curhat.

“lo kira obat, mujarab segela. Siapa orang selain gue yang bilang terima kasih?”

“KEPO amat sih lo sama urusan gue” kata Dio lagi mempermainkan Elang. Elang sempat sedikit kesal tapi akhirnya ia justru tertawa yang diikuti oleh Dio.

“tempat lo enak juga buat menyendiri” ujar Dio.

“lo bisa main kesini kalau pengen menyendiri” tawar Elang tanpa sadar.

“tempat lo emang enak, tapi terlalu elit. Gua gak suka tempat beginian, lebih suka tempat yang simple dan sederhana” jawab Dio.

“cafe bokap lu juga termasuk elit juga tuh” Elang mencoba meledek Dio.

“beda lah, itu kan tempat bisnis wajar didesain seperti itu untuk menarik perhatian pengunjung. Yang gue omongin tempat menyendiri, bukan tempat usaha. Tapi kayaknya boleh tuh kapan-kapan gue main kesini”

“oh iya thanks lagi”

“kali ini untuk apa?” tanya Dio bingung. “sudah nemenin gue malam ini” jelas Elang.

“it’s OK. Gue juga belum ada orderan jadi gak masalah”

“kalau gitu sebagai penglaris lo antarin gue pulang sekarang, kebetulan kerjaan gue sudah selesai.”

“Oke, bayaran bisa diaturkan?”

“Dua kali lipat” jawab Elang membuat Dio bersemangat.

“oke ini baru pelanggan yang gue suka.”

***

Hari itu sudah sangat gelap, orang-orang pun sudah mengitirahatkan diri sedangkan Dio baru sampai dirumah sekitar jam 00:00, lebih awal dari biasanya. Dio membuka pintu rumah pelan berharap ia tidak menimbulkan suara berisik yang akan membangunkan Daddy dan Abangnya.

Sesaat ia ingin memasuki kamar, LCD TV masih menyala. Dilihatnya dibalik sofa Juno sedang duduk menonton film dengan sangat serius sampai tak menyadari kedatangannya.

“Belum tidur dadd?” tanya Dio sekedar berbasa-basi, ia duduk teat disamping ayahnya menyandarkan kepalanya kebahu kekar milik laki-laki bernama Juno. Mengeluarkan sisi manja yang tak mungkin dilihat oleh orang lain.

“baru pulang de?” jawab Juno dengan pertanyaan Dio mengangguk.

“Ade gak cape kerja gini terus?” tanya Juno.

“cape, tapi clarissa suka kerja gini dadd” jawabnya dengan mengeluarkan nama asli miliknya.

“daddy selalu khawatir setiap Ade pulang larut malam? Takut ade kenapa-kenapa. Daddy tau, ade sudah pintar banget menjaga diri tapi bagi daddy ade masih anak polos daddy yang dulu, anak yang penakut dan pendiam.” Ayah dan anak itu saling mengutarakan keresahan masing-masing.

“Clarissa bakal terus hati-hati dadd” jawabnya singkat tidak ingin menyangkal keresahan ayahnya.

“kalau daddy suruh berhenti kerja pasti gak mau” keluh Juno, sementara Dio hanya tertawa ringan menyadari apa yang diungkapkan ayahnya memang betul.

“dadd” panggil Dio pelan. “kenapa?”

“akhir-akhir ini aku ngerasa ada yang aneh dengan diriku sendiri dadd” keluah Dio.

“aneh kenapa? Ade sakit?” tanya Juno panik.

“bukan sakit,”

“terus?”

“seperti ada orang lain dalam diriku yang memaksa bertemu dengan satu orang yang sama. Sisi lain itu terus bergerak diluar kendali, memaksa ade untuk terus berinteraksi dengan orang itu. Sisi itu kayak bagian dari diri ku sendiri dadd, hanya sajaa....sisi itu aku gak bisa kenali dadd” Juno menyimak cerita Dio.

“gimana perasaan ade waktu didekat orang itu?”

“nyaman, rasanya itu seperti perasaan yang gak asing seolah-olah dulu aku juga pernah merasakan perasaan itu.”

“laki-laki de?” tanya Juno menyelidik anaknya dengan tatapan usil. “iy...aaa...a..” jawab Dio malu-malu.

“mungkin ade jatuh cinta. Orang itu berhasil merobohkan tembok pembatas ade dengan laki-laki” jawab Juno bahagia menyadari anak peremuan kesayangannya sudah dewasa.

“apaan sih dadd? Gak lucu tau” jawab Dio mengelak.

“daddy serius tau, ade sekarang mungkin bisa mengelak tapi suatu saat ade bakal benar-benar menyadari itu”

“tau ah dadd” jawab Dio pura-pura acuh.


“siapa? Raja?” tanya Juno lagi mengusil anaknya. “bukan” jawab Dio singkat, ia terlanjur malu karena diusili ayahnya terus-terusan.

“ohh orang lain, daddy pengen dong ketemu sama orang yang bisa bikin putri daddy kasmaran” goda Juno sambil tertawa nakal.

“ihh tau ah, gua masuk kekamar aja, ngantuk!” kata Dio kembali sangar kayak biasanya. Ia betul masuk kekamar meninggalkan ayahnya yang tertawa bahagia.

Tbc~~
Happy Reading

But, Who I Am?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang